Menggali Nilai Kekesatriaan dan Kemanusiaan Gus Dur dalam Film “Miracle in Cell No.7”

Beberapa hari terakhir ini medsos penulis dipenuhi oleh postingan film yang berjudul Miracle in Cell No.7. Dari beberapa highlight yang berseliweran, ada dua hal yang menarik perhatian penulis untuk menontonnya, yaitu premis dan ulasan seorang penonton.

Film tersebut bercerita tentang perjuangan seorang ayah yang memiliki gangguan mental, tetapi ia memiliki semangat untuk berjuang hidup bahkan menjaga dan merawat anak semata wayangnya di tengah keterbatasan yang dimilikinya. Seorang penonton pun memberi ulasan atas film tersebut. “Jika kita baik, maka orang lain pun akan baik sama kita,” kira-kira seperti itulah kalimatnya.

Penulis pun akhirnya tertarik untuk menonton film tersebut dan menuangkannya dalam tulisan ini. Gangguan kesehatan mental adalah kondisi di mana seorang individu kesulitan untuk menyesuaikan keberadaan dirinya di lingkungan sosial (Adisty Wisma Putri dkk, Prosiding KS: Riset dan PKM, 2015). Dalam film Miracle in Cell No.7, sosok ayah yang mengalami gangguan kesehatan mental bernama Dodo Rozak harus mengalami nasib nahas, yakni dihukum mati atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak seorang pemimpin partai politik sekaligus gubernur di kota tersebut.

Film ini menarik sebab seorang ayah yang memiliki gangguan kesehatan mental justru mampu meraih empati manusia di sekitarnya dengan kepolosan dan tingkah lakunya yang tulus tanpa ada kepura-puraan. Hal itu membuat manusia yang dulunya membencinya serta sering memukulinya di penjara justru berbalik untuk membelanya. Mereka bertekad untuk membebaskannya sebab Dodo tidak bersalah atas kasus yang menimpanya. Inilah mungkin maksud perkataan Gus Dur bahwa kita memang seharusnya membela semua manusia atas nama kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang agama, budaya, sosial, bahkan pada hal-hal seperti gangguan mental atau keterbatasan fisik sekalipun.

Film ini juga menyiratkan pesan moral berupa politik atas nama kekuasaan yang sangat jauh dari kemanusiaan. Mengapa demikian? Lihat saja pada film yang disutradarai Hanung Bramantyo tersebut, bagaimana seorang pemilik kuasa dengan segala privilese yang dimilikinya dengan bebasnya menekan hukum hanya untuk membalaskan dendam atas kematian anaknya. Bagi si politikus, dendam tersebut dibalut dengan kedok menegakkan keadilan bagi pelaku kejahatan seksual.

Gus Dur adalah sosok yang selalu mendengungkan bahwa politik jangan jauh dari kemanusiaan. Gus Dur pun selalu menyuarakan gerakan kekesatriaan atas ketidakadilan yang terjadi, bahwa untuk membela kebenaran kita harus memiliki jiwa pemberani tanpa pandang bulu meskipun nyawa dan jabatan jadi taruhannya.

Pada film tersebut kita diperlihatkan adegan seorang kepala lapas yang awalnya sangat membenci sosok Dodo Rozak kemudian justru rela mempertaruhkan jabatannya demi sang ayah tersebut. Hal itu tak lain karena sang kepala lapas pernah merasakan hal yang sama atas kematian putrinya. Selain itu, adegan paling epik antara kedua karakter tersebut adalah ketika terjadi kebakaran di lapas dan tidak ada yang menolong sang kepala lapas selain seorang Dodo Rozak sendiri, hingga Dodo mendapatkan luka yang lebih parah.

Film ini sangat menarik untuk menstimulasi kembali semangat ber-Gusdurian kita, terutama untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keksatriaan dari seorang Gus Dur. Kita tahu bersama bahwa Gus Dur pernah membela sosok almh. Dorce Gamalama, Inul Daratista, dan banyak kelompok minoritas lainnya. Semua dilakukan Gus Dur bukan karena pujian atau mengharap materi, melainkan atas nama kemanusiaan.

Begitu banyak orang-orang disabilitas, mereka yang memiliki gangguan mental, dan sebagainya tentunya butuh untuk di-support dan dilindungi hak-haknya. Dan menurut penulis, GUSDURian adalah garda terdepan yang paling tepat untuk itu. Terakhir, penulis menyarankan agar film ini menjadi rekomendasi bagi teman-teman penggerak untuk dijadikan bahan refleksi gerakan sosial. Barangkali, komunitas GUSDURian bisa melakukan nonton bareng dan bedah film agar ngopinya selain berisi kafein juga berisi nilai-nilai pengetahuan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.