Arswendo Atmowiloto adalah seorang jurnalis terkenal era tahun 70-80an. Pria kelahiran Surakarta ini aktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Tak hanya itu, ia juga menulis cerpen, naskah drama hingga skenario film. Pada tahun 1990 pria berambut gondrong ini sempat dipenjara lantaran dianggap melecehkan Nabi Muhammad Saw.
Saat itu, Arswendo Atmowiloto yang menjabat pimpinan redaksi dari Tabloid Monitor menayangkan hasil angket masyarakat, soal siapa tokoh idola yang paling dikagumi. Hasil angket itu lalu dimuat di edisi Nomor 225/IV 15 Oktober 1990 dengan judul “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita”. Hasil angket tersebut menempatkan Nabi Muhammad berada di posisi kesebelas. Urutan pertama diduduki oleh Suharto lalu disusul BJ Habibie, Soekarno, Iwan Fals, Zainuddin MS, Try Sutrisno, Mbak Tutut, dan Harmoko. Nabi Muhammad berada di bawah persis Arswendo yang berada di urutan kesepuluh.
Sontak masyarakat, khususnya umat muslim di Indonesia, berang mengetahui artikel tersebut. Arswendo Atmowiloto dianggap melecehkan Nabi Muhammad Saw atau istilah kekiniannya adalah ‘Penistaan Agama’. Reaksi berang ini bukan saja muncul dari umat Islam saja. Penyeru agama pun turut serta berkomentar atas artikel yang tayang di bawah pimpinan Arswendo Atmowiloto tersebut. Di antaranya adalah pendakwah kondang Zainuddin MZ. “Adanya kasus Monitor ini tampaknya mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina,” ujarnya.
Kasus ini berbuntut panjang, puncaknya pada tanggal 22 Oktober 1990. Sebagian umat Islam menggeruduk kantor Tabloid Monitor, mengobrak-abrik fasilitas-fasilitas kantor. Beruntung, Arswendo sempat melarikan diri dan meminta perlindungan ke kepolisian terdekat. Buntut berikutnya adalah pada pembatalan SIUPP (Surat Isin Usaha Penerbitan Pers) Tabloid Monitor yang dilakukan oleh Menteri Penerangan melalui keputusan Nomor 162/Kep/Menpen 1990. Tabloid Monitor diberedel oleh pemerintah dan Arswendo Atmowiloto pun resmi ditahan polisi pada 26 Oktober 1990.
Berikutnya, saat sebagian umat muslim menyerang Arswendo Atmowiloto, Gus Dur tampil dan nyaris seorang diri yang vokal membela Arswendo. Sebetulnya Gus Dur pun turut menyayangkan angket tersebut. Bahkan Gus Dur ikut marah atas angket tersebut. Hanya saja Gus Dur mempertanyakan sikap arogan umat muslim yang merusak kantor Tabloid Monitor tersebut hingga berujung pada pemberedelan SIUPP. Bagi Gus Dur persoalan tadi harus diselesaikan di pengadilan, lewat hukum, bukan seenaknya sendiri.
“Saya tidak pernah setuju dengan pencabutan SIUUP apa pun. Bawalah ke pengadilan, itulah penyelesaian terbaik. Bung Karno zaman kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam Indonesia Menggugat, dan itu yang menjadi pegangan hidup bangsa kita saat ini” (Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural)
Selain itu, Gus Dur juga berpendapat Nabi Muhammad tidak akan hina hanya karena diangketkan oleh Arswendo Atmowiloto tersebut. Sekalipun Nabi Muhammad berada di urutan sebelas.
“Nabi kita tidak akan rendah hanya karena diangketkan seorang Arswendo. Setiap hari satu miliar manusia sudah membacakan sholawat untuk beliau kok,” ucap Gus Dur.
Sebenarnya pembelaan Gus Dur kepada Arswendo Atmowiloto adalah untuk menunjukan bahwa umat Islam itu tidak diwakili oleh sebagian kelompok yang bersikap arogan, seenaknya sendiri dan marah-marah ke orang lain. Itu bukanlah representasi dari Islam sendiri.
Menurut Gus Dur, suara Islam adalah suara yang diam. Diam-diam tetap bergaul dan bekerja dengan baik kepada semua masyarakat tanpa tersekati oleh agama dan suku. Begitulah yang mesti dilihat. Gus Dur sekali lagi, hendak mengatakan Islam tidak diwakili oleh pelaku-pelaku yang bersifat arogan. Hematnya, reputasi Islam agak tercemar dengan tingkah sebagian muslim yang arogan tersebut.
Selain itu, pada saat yang sama Gus Dur pun hendak memberi pelajaran kepada bangsa Indonesia arti dari sebuah demokrasi. Pemberedelan Tabloid Monitor setidaknya telah mencederai proses demokratisasi bagi bangsa Indonesia. Sekurang-kurangnya Tabloid Monitor ia tetap berada untuk mengawal dan membersamai proses demokrasi di Indonesia.
Pemberedelan Tabloid Monitor berarti juga menghambat proses demokratisasi di Indonesia. Adapun terkait kasus Arswendo, biarlah hukum yang berjalan, serahkan ke pengadilan, itulah jalan yang terbaik. Kalau kata Gus Dur bilang “Bawalah ke pengadilan, itulah penyelesaian terbaik”.