Gagasan demokrasi Gus Dur boleh dibilang bermula saat ia aktif mengutarakan pandangan politiknya, baik dalam bentuk tulisan maupun wawancara khusus yang dimuat di berbagai media cetak. Mewacanakan demokrasi tentu bukan perkara mudah saat itu, apalagi di tengah kekuasaan Orde Baru yang sangat otoriter, bahkan tidak segan-segan meminggirkan kelompok atau oknum yang bersebrangan dengannya.
Karenanya, Gus Dur pun sering kali mendapat ancaman dan intervensi penguasa. Meski demikian, hal itu tidak lantas membuatnya putus asa. Ia terus berjuang menghadapi berbagai macam tantangan dan ancaman, hingga akhirnya, Gus Dur beserta koleganya berhasil mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sebagai wahana desiminasi gagasan dan sekaligus sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai-nilai demokrasi.
Olehnya itu, saat Gus Dur menjadi presiden, ia dengan mudah memperlihatkan praktik demokrasi yang sebelumnya hanya sekadar wacana. Kekuasaan menjadi momentum untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang sudah lama didambakan. Hal itu bisa diamati pada sistem pemerintahannya yang terbuka dan akomodatif. Bahkan kelompok atau orang-orang yang dipinggirkan oleh Orde Baru dirangkul dan dipulihkan haknya sebagai warga negara.
Kebijakan politik tersebut bertujuan untuk menghilangkan dendam dan kebencian antarsesama anak bangsa. Kebencian dan dendam antarsesama tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena ia bisa menjadi sampah peradaban dan sekaligus penghalang terwujudnya cita-cita luhur bangsa yang adil dan makmur. Karena itu, rekonsiliasi berbasis keadilan menjadi salah satu strategi untuk memulihkan hak-hak warga dan sekaligus mengokohkan keutuhan NKRI.
Tak hanya itu, saat Gus Dur menjadi presiden, ia juga mengaktifkan perangkat-perangkat demokrasi seperti partai politik, pemerintah, penataan kelembagaan TNI-Polri, terbukanya ruang kebebasan bagi kelompok sipil untuk bersuara, mengaktifkan institusi negara untuk keperluan demokratisasi. Alat-alat negara diarahkan untuk bekerja secara demokratis. Salah satunya adalah mengubah mental model birokrasi pemerintahan, dari mental dilayani menjadi pelayan publik dan anti-korupsi.
Keteladanan kepemimpinan tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwasanya Gus Dur sebenarnya bukanlah orang yang gila kekuasaan. Baginya, kekuasaan hanya sekadar alat, bukan tujuan, sebab jika kekuasaan masih menjadi tujuan, bukan sebagai sarana untuk membangun kesejahteraan, maka selama itu pula penghuni bangsa ini tidak akan menemukan wujud demokrasi yang sesungguhnya.
Karena itu, saat Gus Dur tak lagi menjabat presiden, ia tidak lantas memilih pensiun dari garis perjuangan. Justru di tengah kondisi kesehatannya yang tidak lagi stabil, ia terus menyuarakan demokrasi. Pilihan Gus Dur tersebut sekaligus mengisyaratkan keteladanan perjuangan, bahwasanya tidak semestinya seseorang terlebih dahulu berkuasa baru bisa menyuarakan kebenaran, sebab kebenaran adalah hak milik setiap anak bangsa yang dijamin oleh undang-undang.
Prinsip inilah salah satunya yang mendasari semangat Gus Dur dalam menyuarakan keadilan, kemanusiaan dan kebebasan sebagai bagian dari esensi demokrasi. Pada diri Gus Dur tidak hanya ditemukan gagasan dan keberanian yang mampu bersatu padu, tetapi juga konsistensi. Hal itu terlihat pada keteguhan beliau memperjuangkan nilai-nilai demokrasi hingga akhir hayatnya.
Gagasan, keberanian dan konsistensi menjadi modal utama beliau dalam menghadapi risiko. Baginya, perjuangan tanpa risiko adalah mustahil. Karenanya, demokrasi dalam konteks berbangsa dan bernegara haruslah diperjuangkan dengan penuh kesatria. Tanpa itu, demokrasi hanya sekadar ilusi.