Di tengah sesaknya kerumunan pasar tradisional, pernah suatu ketika seorang anak menarik-narik baju ibunya sambil menunjuk baju bergambar Spiderman, minta dibelikan. Hal sederhana tersebut menggambarkan betapa anak itu sangat menyukai superhero yang ia saksikan di layar kaca.
Saya juga pernah mengalami hal yang sama dulu. Saat kecil saya memaksa ibu untuk membelikan sayur bayam yang kemasannya juga harus persis sama seperti yang dipakai oleh Popeye si Pelaut, hanya karena tiba-tiba saya ingin punya kekuatan dahsyat dan melakukan banyak hal.
Dalam banyak film, superhero selalu tampil gagah dan perkasa. Ia datang sebagai penyelamat, melindungi kaum tertindas, dan pastinya membela kebenaran. Karakter pahlawan ini tentu sangat disukai, dinikmati dan membekas di ingatan anak-anak. Jika mereka diajukan pertanyaan tentang siapa idolanya, tidak sedikit di antara anak-anak itu yang mengidolakan superhero di film yang mereka tonton.
Sedari kecil, sadar atau tidak, kita dikenalkan dengan profesi-profesi yang kelihatan keren dan tampil bak superhero. Seperti dinding-dinding sekolah yang dihiasi wajah para pejuang kemerdekaan, media sosial yang dipenuhi pengusaha kaya raya, superhero itu juga terlihat di banyak gelanggang olahraga: olahragawan yang berhasil menaikkan sang saka dalam kemenangannya.
Hal-hal seperti tadi telah membentuk stigma masyarakat bahwa kata ‘sukses’ hanya melekat kepada profesi tertentu. Konsekuensi yang harus kita terima adalah beberapa profesi lain dianggap tak penting, murahan, dan tentunya jauh dari kata superhero. Salah satunya adalah tukang sampah. Jika ditanya, adakah anak-anak yang mau bercita-cita menjadi tukang sampah? Atau adakah ayah yang mau jika anaknya berprofesi sebagai tukang sampah?
Beberapa waktu yang lalu, saya ditampar oleh sebuah video yang memperlihatkan jawaban seorang anak di Jerman ketika ditanya tentang cita-citanya. Ia tidak menjawab ingin menjadi aparatur negara yang menjaga kedamaian, atau pilot yang terlihat keren. Ia justru ingin menjadi pemadam kebakaran dengan alasan bisa membantu orang dan tentunya gagah karena terlihat seperti superhero.
Mungkinkah anak Indonesia bercita-cita menjadi tukang sampah dengan alasan penyelamat lingkungan? Atau jangan-jangan mayoritas ingin seperti Bonge yang berlenggak-lenggok di Citayam Fashion Week?
Cuaca mendung agak gelap terlihat di sebuah kota, seorang tukang sampah dengan baju lusuh, sedikit sobek dan dibasahi keringat berhenti di depan gedung. Tanpa tukang sampah itu, hujan yang sebentar lagi akan turun akan menjadi bencana.
Aktivis lingkungan boleh saja berdebat tentang lingkungan hidup setinggi langit. Namun, tukang sampah itu tanpa panjang lebar, setiap hari turun ke lapangan, berbaur dengan busuknya sampah, berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan kebersihan di tengah kota. Ironinya mereka masih dianggap sebagai profesi rendahan dengan gaji pas-pasan, bahkan di beberapa daerah gajinya jauh di bawah rata-rata.
22 April lalu, Elon Musk membuat sayembara untuk siapa pun yang mempunyai misi menyelamatkan bumi. Musk menjanjikan hadiah senilai 100 Juta Dollar AS bagi siapa pun yang mampu menemukan cara-cara menghilangkan emisi karbon dari muka bumi. Tidak hanya itu, wacana soal rumah baru di Mars bukanlah berita baru yang kita dengar, yang seakan-akan mengamini bahwa sejuta cara akan dilakukan untuk menylamatkan umat manusia dari ancaman pemanasan global yang membuat bumi semakin tidak layak dihuni.
Namun, pedulikah tukang sampah dengan berita tersebut? Sayangnya seiring dengan perkembangan itu, umat manusia juga dihantui oleh berbagai macam ketidakpastian soal lingkungan hidup. Salah satu isu yang hangat dan selalu dibahas belakangan ini adalah soal global warming atau pemanasan global. Dalam bahasa yang sederhana kita simpulkan bahwa bumi semakin panas.
Lalu, apa semestinya yang bisa kita lakukan?
Saya akan memulai ini melalui sebuah data yang menunjukkan bahwa agama masih melekat dalam pribadi orang Indonesia. Majalah CEOWORLD merilis negara paling religius di dunia. Dalam laporannya pada tahun 2021 itu Indonesia berada di posisi ke-7. Pancasila telah membentuk masyarakat menjadi religius. Dalam sila pertama saja Pancasila sudah menekankan aspek ketuhanan. Selain karena kultur, mungkin inilah salah satu alasan kenapa suara ahli agama di Nusantara ini bak berlian yang amat mahal harganya, sehingga apa pun yang di lontarkan agamawan akan diikuti banyak orang.
Oleh karena itu, peranan agamawan menjadi penting untuk menyuarakan pentingnya menjaga alam ini, merawat lingkungan hidup. Sangat sedikit sekali para pendakwah yang berbicara soal isu ini. Padahal krisis ini ada di depan mata kita. Jika direfleksikan ke lingkungan sekitar, kapan terakhir kali kita mendengarkan ceramah pemuka agama soal lingkungan hidup?
Saya membayangkan, dari masjid ke masjid, Ulama-ulama itu membahas isu lingkungan hidup, dari gereja-gereja, para pendeta menyuarakan betapa tidak bolehnya kita merusak alam, begitu pula dari rumah ibadah lainnya yang juga akan bernada sama. Sebagaimana tukang sampah yang tak pernah naik podium dakwah, dipuja-puji banyak netizen dengan tagar yang beragama, tapi hari-harinya bergerak menjaga lingkungan hidup secara langsung.
Pembicaraan soal “surga dan neraka” saja berabad-abad lalu telah selesai dibahas, dan barangkali umat sudah mengetahui itu. Hal yang paling saya takutkan adalah saat umat rebutan perihal surga yang amat jauh itu, tapi ia melupakan surga di depannya yang itu juga adalah anugerah Tuhan pada kita.
Al-A’raf ayat 85 merupakan bukti bahwa Islam memiliki komitmen untuk menjaga bumi. Tidakkah cukup tukang sampah di sekeliling, kita jadikan teladan yang tak bertepi untuk merawat lingkungan hidup ini. Beragama bukan hanya soal surga dan neraka, beragama tak hanya tentang duduk lama di atas sajadah, sifat keterbukaan untuk menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari cara beragama yang baik.
Jika kembali pada cita-cita anak-anak yang saya ceritakan tadi, tukang sampah sesungguhnya telah menjadi superhero lingkungan hidup yang nyata. Bahkan agamawan dengan segala kekuatan yang ia miliki masih kalah jauh soal aksi nyata menjaga lingkungan hidup. Di masa depan kita akan menganggap profesi ini sama dengan profesi lainnya: tukang sampah itu pahlawan, mereka gagah dan keren, merekalah superhero sesungguhnya.
Namun isu mengenai menjaga lingkungan hidup ini akan menjadi lebih efisien bilamana banyak Agamawan yang turun gunung, umat ini akan kita bersatu, bahu membahu dalam menjaga lingkungan kita ini. Sekeping surga yang dijatuhkan Tuhan ke muka bumi ini.