Social Media

Catatan Kecilku tentang 28 September 2018

Hei kamu, terima kasih telah menjadi kuat.

Hei kamu, terima kasih telah menjadi tangguh.

Hei kamu, terima kasih telah bertahan hidup.

Untuk semua orang hebat yang telah berjuang menghapus kesedihannya saat terjadi 28 September 2018 yang meluluhlantakkan Tanah Kelor, Tanah Kaili, Tanah milik kita semua.

*****

Empat tahun sudah berlalu kisah sedih dan pilu yang meluluhlantakkan tempat kita berteduh, tempat kita hidup, tempat kita bersama dalam suka dan duka. Dalam sekejap mata semua hancur tanpa tersisa. Teriakan, tangisan, bahkan doa-doa menjadi satu dalam kegelapan malam itu.

Tak satupun kita saat itu membayangkan kejadian 28 September 2018 saat semua dalam keadaan dan situasi masih di jalan, saat bersama keluarga, ataupun masih kerja. Tak satupun dapat menghentikan semua karena yang ada di pikiran saat itu adalah ketakutan, kesedihan, dan perasaan lainnya yang tak dapat diucapkan bahkan dilukiskan seperti indahnya pelangi.

Hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahun berganti tentu kita semua belajar dan berproses bagaimana untuk bertahan dan berjuang untuk hidup dan kehidupan yang baru, setelah dengan nyata melihat betapa Kuasa-Nya tak dapat satu pun manusia dapat menahan bahkan menolak. Dengan kata lain, Kehendak-Nya yang berotoritas dalam kehidupan manusia.

Dari peristiwa ini aku pun belajar untuk lebih banyak melihat bahwa hidup dan kehidupan ini adalah sebuah KESEMPATAN. Tuhan telah memberikan waktu pada masing-masing manusia untuk kita pakai dan kita gunakan dengan tidak sia-sia.

Ya Tuhan, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku! Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku; bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa. Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan!” (Mzm 39: 5-6).

Ungkapan Mazmur Daud dalam doa meminta tolong atas ajal dan umur tersebut adalah dua hal yang tidak bisa diketahui oleh siapa pun kita manusia. Kematian adalah sebuah kepastian yang akan terjadi, namun tak satu pun mengetahui cara kematian kita secara pasti kapan akan terjadi. Raja Daud berdoa tentang bagaimana realita kehidupan di dunia ini. Kefanaan dan kesia-siaan adalah kenyataan yang selalu diperhadapankan dalam hidup manusia. Dan selalu datang saat keadaan itu lemah dan tak berdaya.

Peristiwa 28 September 2018 merupakan salah satu misteri yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupan ini, di mana tak satu pun mengetahui batas ajal dan umur kita sampai di mana. Tuhan Yang Maha Esa itulah sang Khalik yang menetapkan berapa durasi perjalanan hidup manusia dalam berziarah di bumi ini. Tuhan dalam rencana-Nya pasti punya ‘daftar’ tentang batas usia setiap orang di dunia ini. Bisa saja bersifat ‘tentatif ‘, tidak ‘definitif‘. Artinya atas kemurahan Tuhan jumlah itu bisa berubah atau bertambah sesuai ‘KEHENDAK TUHAN‘ yang tak satu pun dapat mengubahnya.

Peristiwa 28 September 2018 mengajarkanku arti kuat, tangguh, dan bertahan hidup di tengah gelombang kehidupan yang tak menentu. Pasang surut air kehidupan ini yang membawaku dalam suatu proses hidup yang panjang setelah aku dapat bertahan melewati pasca Konflik Poso 2008 yang juga meluluhlantakkan setiap hati dalam kesedihan, kecewa dan marah. Bahkan aku dan mereka harus belajar menerima dan kuat untuk berdiri sampai hari ini dalam kehilangan orang-orang yang kami cintai dalam dekapan KASIH Tuhan.

Dalam rentan waktu itu juga aku harus belajar bagaimana menjadi seorang Kristen yang ‘pluralis’, belajar menerima perbedaaan, belajar menerima keberagamaan yang sebanarnya tidak asing bagi keluargaku. Karena aku dibesarkan oleh rahim ibu Bugis yang berlatar belakang perempuan Muslim dan hidup di tengah keluarga Muslim. Tak mudah menerima sesuatu yang ‘beda’ untuk menjadi ‘sama’, tak mudah untuk mengatakan aku adalah seorang Kristen yang menerima perlakuan orang-orang yang tak bertanggungjawab dengan mudah menghilangkan nyawa orang lain dengan sekejap.

Tapi ada hal yang kini aku mulai sadar sejak mulai membuka diriku masuk dalam dunia toleransi, dunia moderasi. Bahkan saat mengenal dan menjadi bagian dari GUSDURian bahwa “Tak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu”. Sebuah kutipan dengan makna sederhana tetapi memberi arti yang dalam tentang arti KASIH yang ingin disampaikan oleh Gus Dur dalam versi berbeda melihat KASIH Kristus dari kacamatanya.

Akhirnya aku pun kini memahami bahwa KASIH itu adalah saat kita mampu menerima keberadaan perbedaan orang lain di sekitar kita dengan cara membuka diri dan bertoleransi dalam KASIH KRISTUS.

Terima kasih untuk semua pengalaman indah dan kebersamaan dalam kasih untuk teman-temanku GUSDURian yang memberi warna pelangi sehabis hujan.

Alumnus Workshop Religious Leader Jaringan GUSDURian.