Ulama yang Komunikatif: Mengenang Dua Tahun Wafatnya Dr. KH. Mochtar Husein

Al Ulama Warasatul Anbiya

Salah satu fungsi dari seorang ulama adalah sebagai mediator informasi-informasi yang telah disampaikan oleh Nabi. Memberikan pencerahan terhadap masyarakat, pencerahan yang menyejukkan, dengan bahasa yang mengandung hikmah, nasihat-nasihat yang baik, dan memberikan argumentasi yang rasional berdasarkan dalil-dalil yang mengedepankan moralitas. Sebagaimana yang sering dikutip para mubaligh tentang metodologi dalam menyampaikan pesan-pesan ketuhanan, “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat-nasihat yang baik, dan berilah argumentasi yang terbaik.

Tulisan ini ditujukan untuk mengenang wafatnya KH. Mochtar Husein yang memasuki tahun kedua, salah seorang ulama yang berasal dari Tanah Mandar, tepatnya di Pambusuang, Kec. Balanipa. Beliau lahir pada 1940 dari keluarga sederhana dan sangat mengedepankan nilai-nilai agama. Di kampungnya beliau dipanggil dengan panggilan “Muda'”, panggilan yang sangat familier terhadap Kiai Mochtar.

Sejak kecil beliau sangat cinta terhadap ilmu. Beliau betul-betul memanfaatkan desa kelahirannya sebagai kampung ulama, tempat pengkaderan ulama, Kampung Pambusuang yang sangat terkenal dengan tradisi membaca kitab kuning. Banyak kiai-kiai kampung yang mengajarkan kitab kuning. Di situlah Mochtar Husein kecil memanfaatkan momentum untuk belajar agama khususnya dalam kajian kitab kuning. Dan itulah yang menjadi ciri khas dari Kampung Pambusuang dari dulu sampai sekarang.

Penguasaan terhadap kitab kuning adalah sesuatu yang menjadi ciri khas dari ulama-ulama yang belajar di Pambusuang, sehingga Kiai Mochtar sebelum pergi melanjutkan pendidikannya di Makassar, sudah sangat matang terhadap ilmu-ilmu alat, sebagai pintu masuk untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan lain lain. Untuk dapat mengkaji ilmu-ilmu keislaman yang berbahasa Arab dan tidak punya baris tersebut. Adalah suatu keniscayaan terhadap penguasaan ilmu-ilmu bantu yakni ilmu nahwu dan sharaf serta ilmu-ilmu bahasa lainnya.

Salah satu kelemahan ulama-ulama kita di Sulsel adalah kurangnya memanfaatkan media untuk menulis atau memproduksi karya-karya intelektual. Padahal mereka sangat punya kapasitas yang sangat luar biasa di bidang keilmuan mereka. Ini sangat berbeda dengan ulama-ulama yang ada di Sumatra dan Tanah Jawa khususnya di Tanah Minang, mereka itu punya ulama yang kharismatik dan banyak menghasilkan karya-karya tulis.

Katakanlah misalnya Buya Hamka, beliau bukan cuma ahli menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara lisan, tapi beliau juga punya banyak karya intelektual di bidang penulisan, katakanlah karya terbaik dari Buya Hamka yaitu Tafsir Al Azhar yang berjilid-jilid. Berbeda dengan kita di Sulawesi, tradisi di bidang penulisan waktu itu masih sangat langka, sehingga kita sulit mendapatkan hasil karya ulama-ulama dahulu yang begitu kharismatik.

Berbeda dengan KH. Mochtar Husein, beliau seorang ulama yang dikenal sebagai singa podium, orator, dan juga seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis. Saya teringat ketika saya aktif kuliah di Makassar tahun 90-an, saya sering mengikuti ceramah beliau di masjid-masjid di kota Makassar maupun dialog-dialog keagamaan yang beliau bawakan.

Di samping beliau aktif di dunia dakwah, beliau juga sangat produktif di bidang kepenulisan. Di berbagai media di Makassar waktu itu banyak diwarnai tulisan beliau, khususnya Harian Pedoman Rakyat yang merupakan koran terdepan di Makassar waktu itu. Setiap Jumat beliau menulis di kolom “Mimbar Jumat”. Saya tidak pernah melewatkan tulisan-tulisan beliau di Harian Pedoman Rakyat tersebut.

Di samping aktif di bidang dakwah, Kiai Mochtar dikenal aktif di bidang organisasi keagamaan khususnya Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan. Beliau pernah menduduki Ketua MUI Sulsel. Di bidang keilmuan beliau sangat aktif mengkaji ilmu-ilmu keislaman khususnya di bidang tafsir. Semangatnya dalam mengkaji keilmuan keislaman tidak pernah kendor dalam hidupnya.

Di masa masa tuanya, beliau mulai sakit-sakitan. Namun karena semangatnya di bidang keilmuan, beliau tetap kembali melanjutkan pendidikan S3-nya, yaitu mengambil konsentrasi di bidang tafsir di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang waktu itu belum berubah menjadi UIN. Beliau membuat karya disertasi tentang konsep ulama menurut Al-Qur’an.

Di masa masa udzur, beliau hanya bisa duduk di kursi roda. Namun setiap saya berkunjung ke rumah beliau di Jalan Belibis Makassar, beliau tidak pernah lepas mengkaji kitab-kitab keislaman dan memanfaatkan waktu untuk terus menulis. Beliau selalu memberikan nasihat tentang pentingnya terus belajar dan mencoba mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari.

Bukan hanya sukses di bidang keilmuan dan dakwah, beliau juga berhasil mendidik keluarga dan anak-anaknya yang menjadi orang yang sukses semua di bidangnya. Beliau punya lima orang putra dan dua orang putri. Bahkan salah seorang anaknya yang sukses di bidang hukum, pakar hukum tata negara, sering tampil di TV nasional dalam berbagai dialog yang bertemakan tentang hukum dan politik.

Pernah suatu ketika Prof. Umar Shihab, kakak kandung dari Prof Quraish Shihab, bertanya pada Kiai Mochtar, “Apa resep Pak Kiai Mochtar sehingga berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang hebat semua?” Jawaban Kiai Mochtar waktu itu ke Prof. Umar adalah, “Saya banyak berdoa dan mendidik dengan baik dan saya tidak pernah memberikan makanan yang haram terhadap anak-anak saya,” jawab Kiai Mochtar ke Prof. Umar Shihab.

Kita dari generasi muda perlu mencontoh beliau dalam hal semangat menuntut ilmu. Beliau tidak mengenal tua dan tetap semangat dalam mengkaji ilmu yang sampai di akhir hayatnya tetap fokus dalam belajar. Amal-amal jariyahnya yang menjadi amalan-amalan yang tak pernah putus, baik dari karya-karya intelektual beliau berupa buku-buku maupun anak-anak beliau yang telah sukses, yang merupakan hasil didikan beliau.

Alfatihah untuk KH. Dr. Mochtar Husein.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.