Saya bergabung dengan Jaringan GUSDURian pada 2013 silam melalui Sekolah Pemikiran Gus Dur (kini bernama Kelas Pemikiran Gus Dur). Agenda tersebut diadakan oleh Jaringan GUSDURian dan LKiS. Sejujurnya, saya tertarik ikut acara yang dibatasi 30 peserta ini karena logo LKiS yang sangat familiar. Sementara GUSDURian? Saya belum pernah mendengarnya.
Awal keterlibatan saya di kelas ini karena rasa penarasan yang tinggi—cenderung membenci—sosok Gus Dur. Pasalnya, saya kadung terdoktrin sebuah buku yang menyajikan informasi buruk tentangnya, bahkan menyesatkannya. Meski, saya tumbuh di pendidikan tradisional yang secara garis keturunan dan keilmuan sejalan dengan Gus Dur. Tapi pada saat itu siapa yang tahu?
Kelas tersebut membuka mata saya mengenai beberapa hal terkait perjalanan kehidupan Gus Dur dan pemikirannya, seperti hubungan antara Islam dan demokrasi, Islam dan kebudayaan, dan pribumisasi Islam. Ternyata, wacana penyesatan Gus Dur dari sebuah buku itu terlalu terburu-buru. Ada banyak aspek yang awalnya saya mengira Gus Dur bertentangan dengan prinsip keagamaan, ternyata sangat selaras dengan Islam ‘yang saya kenal’. Saya juga baru tahu bahwa Gus Dur dan Kiai Sahal Mahfudz—guru saya—sangat dekat. Dari situlah bibit-bibit kecintaan saya tumbuh.
Dari situ pula saya baru ‘ngeh’ bahwa isu yang dilekatkan pada Gus Dur bukan sebatas toleransi, tetapi juga keadilan ekonomi, hak asasi manusia, kewarganegaraan, korupsi, konflik sumber daya alam, kerusakan lingkungan, kemiskinan, pelayanan publik, keadilan gender, dan pribumisasi Islam.
Satu pembahasan yang sangat menarik adalah ketika seorang narasumber menyebut perbedaan antara akademisi dan intelektual organik. Akademisi kebanyakan hanya melihat suatu permasalahan dari kaca mata kampus. Dalam istilah lain: menara gading. Sementara intelektual organik bisa mengintegrasikan wacana dan gerakan secara bersamaan. Gerakan ini meliputi level akar rumput (resillience), jejaring (respect), dan kebijakan (rights).
Hal ini mendasari tindak tanduk Gus Dur. Ia bisa dekat dengan budayawan dan bahkan menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta. Ia bisa bergaul dengan tokoh lintas iman dengan membawa wajah keislaman yang ramah, bukan marah. Ia bisa menjadi rumah aman bagi Inul Daratista, Dorce Gamalama, Arswendo Atmowiloto, warga Ahmadiyah, dan banyak lainnya. Ia juga menjadi tameng bagi warga Kedungombo yang diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Orde Baru saat kampung mereka ditenggelamkan. Ketika menjadi presiden, ia mencabut beberapa peraturan diskriminatif dan mengeluarkan peraturan yang berujung pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Embrio Komisi Pemberantasan Korupsi pun lahir di era kepemimpinannya.
Ternyata, seluas itu spektrum perjuangan Gus Dur!
Setelah selesai mengikuti kelas, saya dan para alumnus yang lain kemudian menginisiasi Komunitas Santri Gus Dur, sebagai salah satu ruang untuk berkumpul para GUSDURian yang ada di Yogyakarta. Kegiatan kami sebatas ngopi-ngopi, diskusi buku, dan menghadiri pertemuan bersama lembaga lain yang juga concern di lintas isu yang digeluti. Sesekali, jika ada tokoh yang kami tahu pernah bersinggungan dengan Gus Dur—seperti Hisanori Kato hingga Filep Karma—sedang di Yogyakarta, kami ‘culik’ untuk mengisi diskusi terbatas.
Pada 2016, saya mengikuti forum pertemuan besar GUSDURian yang pertama bernama Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di PP Sunan Pandanaran, Yogyakarta. Dari sana saya baru mengetahui ternyata ada banyak sekali orang-orang seperti kami. Pada pertemuan ini dibahas berbagai persoalan keorganisasian dan juga isu prioritas. Di forum tersebut lahir kode etik Jaringan GUSDURian yang ditandatangani sekitar 60 komunitas dari seluruh Indonesia dan di Kuala Lumpur, Malaysia, serta Tehran, Iran.
Temu Nasional
Istilah ‘GUSDURian’ sebenarnya sudah muncul sejak lama. Konon mulai ada pada 80-an akhir, sekurun dengan istilah ABG alias ‘Anak buah Gus Dur’ yang waktu itu populer. Setelah Gus Dur wafat, istilah ini digunakan untuk menyebut jejaring keluarga, sahabat, murid, pengikut, dan pengagum Gus Dur. Mereka bersepakat bahwa GUSDURian digunakan sebagai ‘bendera’ untuk meneruskan perjuangan Gus Dur di banyak spektrum, non-politik praktis. Landasannya? Sembilan nilai utama Gus Dur. Sembilan nilai ini dirumuskan pada saat simposium pemikiran Gus Dur pada 2010 silam.
“Lho, bukannya Gus Dur adalah politikus?” Ya jelas. Ia pernah jadi presiden. Ia mendirikan partai. Namun jaringan ini memiliki konsensus bahwa ruang politik praktis bukan wilayah GUSDURian. Bagi yang berpolitik, dipersilakan. Namun tidak menggunakan nama GUSDURian. Belakangan muncul Barisan Kader (Barikade) Gus Dur yang menjadi ruang partisipasi politik praktis bagi para pengikut Gus Dur. Makanya, Alissa Wahid—putri sulung Gus Dur sekaligus Koordinator Jaringan GUSDURian—sering berkelakar tentang adanya dua jenis GUSDURian.
Pertama, GUSDURian sejati yang tidak mengkapitalisasi sosok Gus Dur untuk kepentingan politik elektoral. Mereka berusaha melanjutkan perjuangan Gus Dur pada spektrum yang berhubungan pada kemanusiaan. Kedua, GUSDURian musiman yang muncul jika hanya ada pemilihan umum. Biasanya, mereka akan menyeret nama GUSDURian untuk mendukung Si A atau Si B.
Komunitas GUSDURian terus tumbuh dan berkembang. Mereka muncul secara organik. Bukan dideklarasikan. Karenanya, perlu ada forum untuk menyelaraskan kerja-kerja GUSDURian. Pada kopi darat (Kopdar) pertama GUSDURian di tahun 2014, jumlah komunitas sekitar 30-an. Pada Rakornas 2016 jumlahnya bertambah 60-an. Jumlah ini semakin meningkat pada pertemuan 2018 (110 komunitas), 2020 (130 komunitas), dan 2022 ini menjadi 155 komunitas.
Sejak 2018 nama Rakornas diubah menjadi Temu Nasional (TUNAS). Perubahan nama ini memiliki makna filosofis. Ada kecenderungan bahwa komunitas-komunitas yang tersebar di ratusan titik digerakkan oleh pemuda 18-30an tahun yang bahkan tidak pernah bertemu langsung dengan Gus Dur. Mereka hanya mengenal Gus Dur melalui cerita dan tulisan. Di sinilah forum seperti TUNAS berperan dalam mempertemukan para GUSDURian muda dengan orang-orang yang pernah bersinggungan langsung dengan Gus Dur. Di forum TUNAS-lah, para tunas-tunas muda ini diberi ‘treatment’ agar bisa bertumbuh dan berkembang secara ‘Gus Dur’.
Gus Dur bukan lagi dipandang sebagai sosok, namun ia adalah kata kerja.
Rekomendasi
Perubahan nama membawa warna baru pada agenda pertemuan dua tahunan (kini tiga tahunan). Jika sebelumnya pertemuan menghasilkan ‘oleh-oleh’ untuk komunitas, mulai 2018 TUNAS menghasilkan rekomendasi untuk Indonesia. Pada TUNAS 2022 ada lima poin rekomendasi dan resolusi yang dinyatakan oleh GUSDURian.
Pertama, GUSDURian mendesak pemerintah dan parlemen untuk memperluas ruang demokrasi. Desakan ini, salah satunya bisa dilakukan dengan melakukan revisi berbagai regulasi yang kontraproduktif terhadap keadilan ekonomi dan jaminan ruang hidup yang setara, seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja; serta kebebasan berpendapat dan berekspresi, seperti UU ITE.
Kedua, GUSDURian mendesak pemerintah menegakkan hukum yang mencerminkan keadilan dan pemenuhan hak-hak konstitusional dengan menuntaskan kasus HAM berat dan memulihkan hak-hak korban. Selain itu ia juga menambahkan, desakan tersebut di antaranya dengan memberantas korupsi dan menguatkan institusi KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman hingga mempercepat reformasi TNI, Polri, Kejaksaaan, dan Kehakiman.
Pada poin ketiga, GUSDURian mendesak kepada pemerintah untuk melakukan demokratisasi ekonomi yang inklusif, responsif gender dan penyandang disabilitas. Poin ini bisa dilakukan dengan tiga cara, dari memberikan perhatian yang lebih kuat kepada UMKM, melalui penguatan program inklusi keuangan dan akses pasar hingga mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.
Keempat, GUSDURian berkomitmen mengawal pemilu 2024 untuk terwujudnya rekonfigurasi kekuasaan. Terkait komitmen mengawal pemilu 2024 ini, GUSDURian berencana melakukannya dengan beberapa cara, di antaranya dengan melakukan pendidikan politik untuk mencegah maraknya praktik politik uang dan polarisasi sosial hingga mendesak parpol melakukan reformasi kepartaian menuju accountable programatic-based party.
Terakhir, GUSDURain berkomitmen memperkuat konsolidasi masyarakat sipil untuk perimbangan oligarki kelompok elit. Konsolidasi ini penting mengingat ketimpangan yang terjadi tidak serta merta buah dari ketidakadilan. Ketimpangan dipahami sebagai buah dari sistem yang dikorupsi dan dimanipulasi. Konsolidasi ini berupa ajakan pada seluruh elemen masyarakat sipil untuk melakukan pendidikan politik, pemberdayaan ekonomi, dan advokasi kasus-kasus rakyat. Selain itu masyarakat sipil perlu membangun ruang-ruang dialog antar-elemen untuk memperkuat kohesi dan solidaritas sosial.
Ndakik sekali, bukan? Di saat banyak orang berusaha memikirkan bagaimana agar dirinya terhindar dari dampak buruk resesi 2023, GUSDURian malah ngomong soal bangsa dan kemanusiaan, soal mendampingi warga minoritas, soal perusakan lingkungan, dan sejenisnya. Tapi ya seperti itulah memang GUSDURian. Kenapa begitu?
Saya ingin meng-copas paragraf terakhir dari tulisan Muhammad Al-Fayadl (2011) berjudul “Gus Dur sebagai Kata Kerja”:
Tapi para GUSDURian itu bukan copy-paste dari Gus Dur, bukan pula pengikut dari sebuah isme, atau fans club dari sebuah federasi sepak bola Gus Dur. Buat saya, mereka hanya orang yang ingin mengubah Gus Dur dari “kata sifat” menjadi “kata kerja”. Kata kerja untuk Indonesia, dengan atau tanpa baju Gus Dur.
Saya sepenuhnya sependapat dengan statement ini.