Bagi seseorang yang nyantri, pesantren menjadi rumah kedua baginya. Pesantren identik dengan kehidupan bersama-sama, di bawah gedung yang sama dan dalam niat yang sama, yaitu untuk ngaji. Karena banyaknya santri yang tinggal di pesantren, maka kebersihan lingkungan menjadi masalah yang serius. Tanggapan miring bahwa pesantren merupakan tempat yang kotor dan kumuh, sarang penyakit, bahkan ada yang mengidentikkan pesantren dengan penyakit kulit, di kalangan masyarakat Jawa disebut gudik (bahasa medisnya scabies).
Di sisi lain, penulis sering menemukan justru istilah gudik tersebut biasa dijadikan guyonan semata, “ojo ngaku dadi santri nek durung ngerasakno gudiken” (jangan mengaku santri kalau belum terkena scabies), atau “santri nek durung ngerasakno gudiken, berarti bocah iku durung kerasan mondoke” (santri kalau belum pernah terkena scabies, berarti anak tersebut belum betah di pondok), meskipun mungkin memang ada beberapa santri yang terkena penyakit kulit tersebut dan betah-betah saja.
Dengan demikian, stigma bahwa kebersihan lingkungan pesantren tidak menjadi prioritas, tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, menjaga kebersihan pesantren merupakan hal yang sangat penting, sebagai upaya hidup sehat sekaligus penanaman karakter dalam diri para santri untuk peduli terhadap lingkungan.
Tentu kita tidak asing lagi dengan istilah roan. Tradisi roan merupakan tradisi yang telah melekat dan meng-adat pada jati diri pesantren, berupa kegiatan bersih-bersih bersama di lingkungan pondok pesantren yang diikuti oleh seluruh santri. Aktivitas roan atau kerja bakti ini memiliki esensitas yang majemuk. Sebab tidak hanya melatih para santri untuk sekadar menyulap pesantren menjadi bersih dari dlohir-nya saja, tetapi juga secara batin (kebersihan hati). Bisa dikatakan tidak sekadar olahraga fisik tetapi juga riyadhoh hati.
Tradisi roan merupakan pengejahwantahan dari korelasi nilai-nilai hablum minallah (tentang hakikat Tuhan) dengan hablum minannas (dengan umat manusia), sekaligus memiliki keterkaitan erat dengan hablum minal ‘alam (juga alam atau lingkungan). Ketiga nilai tersebut membentuk sebuah relasi yang kuat, sebagai bentuk rasa syukur dan menghormati Allah sebagai sang pencipta. Fokus di sini, interaksi manusia dengan alam memiliki etika khusus yakni tidak semena-mena dan menjaga alam agar tetap lestari.
Interaksi manusia dan alam dicontohkan oleh KH. Ali Maksum, Krapyak. Beliau sangat menekankan pada santrinya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kiai Ali merupakan sosok pribadi yang sangat menyayangi dan memperhatikan lingkungan. Dari pelbagai cerita yang bersumber dari santri beliau, Kiai Ali selalu menunjukkan keteladanan salah satunya terkait kebersihan lingkungan. “Kiai Ali tidak hanya memerintahkan santri untuk membersihkan sampah, tetapi memberikan contoh dengan terjun sendiri mengambil sampah atau dedaunan tersebut di sekitar pondok pesantren”, ungkapnya.
Lebih lanjut, mengutip dawuh salah satu bu nyai di Krapyak bahwa menjaga lingkungan pesantren adalah kewajiban seluruh santri, dalam rangka menjalankan ajaran Islam. Jika lingkungan bersih, maka semangat ngaji para santri akan bertambah. Terlepas dari itu semua, roan harus dilakukan dengan dilandasi hati yang ikhlas.
Di tengah isu berkurangnya interaksi sosial, solidaritas, kepedulian terhadap sesama, tradisi roan tetap membudaya di kalangan pesantren. Hal ini sebagai upaya memupuk kembali karakter santri, karakter yang memiliki rasa kepedulian, kesadaran, solidaritas terhadap sesama, rela berkorban, dan keikhlasan yang mengakar. Roan menjadi ruang bagi para santri untuk saling tolong menolong, sebagai wujud gotong royong. Sambil berbincang, bersosial, dan berkomunikasi sehingga terjalin relasi yang semakin erat satu sama lain.
Penulis mengamati salah satu pondok pesantren di Yogyakarta yakni PP Al-Munawwir, Krapyak masih melanggengkan budaya tersebut. Tradisi roan di pondok Krapyak biasanya dilakukan satu minggu sekali pada hari Jumat atau hari Ahad, tergantung kebijakan masing-masing komplek. Juga setiap ada acara besar, haul misalnya. Kegiatan ini mewajibkan keterlibatan seluruh santri, dan jika pun ada yang mungkir dari kegiatan ini maka akan dikenakan takziran atau sanksi.
Di hari yang telah ditentukan, para santri tidak hanya piket kamarnya saja. Pada roan rutin setiap minggu sekali, tiap-tiap kamar diberi tugas tertentu, seperti menyapu, mengepel, mengumpulkan baju atau barang yang terbengkalai, membuang sampah, dan lain-lain. Sementara itu jika menjelang acara haul atau acara besar lainnya, lokasi roan sedikit diperluas. Selain membersihkan lingkungan pesantren juga lingkungan masyarakat sekitar, dengan masing-masing tugas yang harus diselesaikan perkelompok atau per komplek.
Para santri tidak menganggap roan sebagai beban, justru mereka menyambut dengan riang gembira. Sebagai wujud peduli lingkungan, juga mereka yakini sebagai upaya ngalap berkah dari kiai. Roan menjadi wadah yang unik dan memiliki khas tersendiri. Sebab menjadi agenda bersama seluruh santri, bahkan santri yang hobi rebahan pun akhirnya akan mengikuti kegiatan ini, meski tak jarang niatnya sebatas ngumumi sanak (menyesuaikan yang lain) saja.
Di tambah lagi, ketika di tengah-tengah aktivitas terdengar kelakar beberapa santri. Dari sekadar guyonan, kemudian merambah ke perbincangan ringan hingga masalah-masalah kecil seputar kehidupannya di pesantren. Hal ini yang membentuk interaksi sosial, rasa peduli, dan kekeluargaan yang tumbuh tanpa mereka sadari.
Walau sederhana, roan memiliki makna yang begitu dalam bagi para santri. Roan sangat bermanfaat bagi pondok pesantren dan memberikan dampak positif bagi santri itu sendiri. Dengan demikian, roan diharapkan juga bisa berpengaruh baik bagi kehidupan santri di kemudian hari setelah menyandang gelar sebagai alumni. Artinya, mereka mampu menerapkan tradisi roan di dalam kehidupan sehari-hari, seperti hidup disiplin, gotong-royong, tolong menolong, dan sikap peduli lingkungan dalam lingkup kemasyarakatan sebagai wujud cinta terhadap alam.