Menyikapi Perbedaan Tidak Harus dengan Konflik: Pelajaran Toleransi dari Tana Poso

Perbedaan adalah penghalang terbesar (di samping semua kendala yang umum) untuk melakukan kerja sama. Ada berbagai bentuk perbedaan yang dapat memicu konflik yaitu agama, budaya, ideologi, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Orang-orang berbeda satu sama lain.

Titik berat dari tulisan sederhana ini adalah perbedaan sebagai salah satu fenomena yang ‘mengganggu’ tatanan kehidupan manusia pada zaman sekarang untuk saling berinteraksi sosial. Menghadapi perbedaan secara positif akan menciptkan kemungkinan tak terbatas dalam melakukan perubahan. Sedangkan menghadapi perbedaan secara keliru sering menyebabkan kekerasaan, bahkan kehancuran terbesar pada hidup kita.

Kita dapat melihat dari sejarah hubungan Kristen-Islam, bahwa aspek-aspek negatif pertemuan ini, sebagian besar telah memproduksi kekerasaan atau dengan kata lain berkonflik. Kedua entitas ini secara sadar dan terencana mendirikan tembok eksklusif tertentu tentang Alkitab dan Al-Qur’an.

Sebagian pendeta di awal masa kekristenan membawa semangat ekslusivisme beragama, sebagaimana disebut dalam Kitab Matius 12:30, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan (tidak ada keselamatan di luar Gereja)”. Kita mendapati hal itu juga ada dalam sejumlah ayat Al-Qur’an yang juga membawa semangat eksklusivisme dan penolakan. Al-Qur’an mengatakan, “Wahai kamu yang beriman, jangan ambil orang Yahudi dan Kristiani sebagai sekutu. Mereka adalah sekutu bagi satu sama lain“ (QS al-Maidah 5:51).((Bernard Adney-Risakotta, Mengelola Keragaman di Indonesia, ICRS-Yogyakarta, hlm. 15.))

Sebagai akibat posisi-posisi kedua belah pihak (Islam-Kristen) dalam memilih pandangan dan sikap eksklusif dalam menentukan hubungan mereka, maka miskonsepsi merusak persepsi-persepsi satu sama lain. Sampai sekarang konflik yang diakibatkan agama tak terhindarkan sehingga dapat mengakibatkan berbagai bentuk kekerasaan agama, budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang mudah ditunggangi.

Perbedaan dianggap ancaman yang perlu direpsons dengan satu-satunya pilihan, yakni melawan dengan kekerasan. Pertanyaannya apakah perbedaaan harus diselesaikan dengan kekerasan? Apakah tidak ada cara lain untuk duduk bersama dalam bereaksi melawan perbedaan itu tanpa harus melakukan kekerasaan atau berkonflik?

Tidak mudah untuk para penganut keduanya untuk menjawab pertanyaan ini. Dibutuhkan waktu dan kajian-kajian yang obyektif dan dengan integritas akademis untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satunya adalah “Mari saling mendengar apa kata orang lain tentang agamamu tanpa harus  mengekslusifkan agamamu“. Sebuah teori yang saya pelajari saat berada bersama teman-teman GUSDURian, yaitu tentang praktik mendengar tanpa harus memberikan sebuah tanggapan dari apa yang diungkapkan.

Tentunya itu adalah hal yang sulit sekali kita lakukan. Tetapi teori ini secara langsung mau mengajarkan saya untuk belajar mendengar setiap perkataan, bersikap sabar, bersikap menghargai pendapatan tanpa harus memberi solusinya, serta bersikap tenang dan berkonsentrasi agar setiap ucapan dapat dicermati dan dicerna dengan obyektif dan positif.

Ini merupakan satu hal baru yang menurut saya perlu kita lakukan, mengingat budaya kita adalah ketika mendengar orang lain berpendapat, maka secara spontan kita akan memberi tanggapan atau sanggahan yang bisa saja tidak obyektif dan tidak akademis. Pada akhirnya, tanggapan ini malah dapat memicu perdebatan, konflik, dan perbedaan yang berujung pada kekerasaan karena tidak dapat menerima pendapat orang lain dengan positif dan menggangap pihaknya yang paling benar.

Karena itu, kita harus menerima orang lain sebagai salah satu bagian dari diri kita untuk menjaga martabat kemanusiaan. Minimal harus selalu ada “dialog antaragama”. Jika kita sesering mungkin melakukan hal tersebut, saya pikir tidak ada lagi perbedaan yang menggiring pada kekerasaan atau yang berujung pada konflik agama.

Contoh, kalau kita mendiskusikan secara akademis tentang sejarah Kristianitas atau orang Muslim dan semuanya saling mendengar, maka akan membuat situasi kita menjadi lebih baik, aman, dan damai. Kita hanya memilki satu dunia untuk ditinggali, dan kita dapat membuatnya menjadi dunia yang damai dan harmonis. Kenapa hal ini perlu?

Pertama, Indonesia adalah negara ketiga paling religius di dunia.((Lihat https://www.realclearworld.com/lists/top_5most_religious_countries/indonesia.html?state.)) Kedua, Indonesia adalah salah satu negara paling beragam di dunia, baik secara agama maupun budaya. Ketiga, Indonesia memiliki sejarah kuno yang panjang dalam menghadapi keragaman dan perbedaan itu.

Sedikit saya ceritakan penggalan sejarah yang secara kebetulan merupakan tulisan (tesis) saya yang tertunda di tahun 2015, yaitu tentang sejarah “Perjumpaan Islam dan Kristen di Desa Mapane, Kabupaten Poso“.

Kala itu, masyarakat Mapane yang sudah lama mendiami kampung tersebut menganut agama Islam, tepat ketika agama Kristen masuk melalui A. C. Kruyt yang datang sebagai misioner untuk memberitakan Injil di Tana Poso. Perjalanan yang panjang membangun kebersamaan dalam keberagaman dan perbedaan di desa itu, juga menciptakan hidup yang saling menerima keberadaan.

Bukan hanya soal keberadaan orang lain, tetapi bagaimana menerima keberadaan agama lain dalam tatanan kehidupan masyarakat Poso yang sangat terkenal dengan kebudayaan dan adat istiadat yang membangun dan merawat kehidupan kekeluargaan atau yang dikenal dengan sebutan Mosintuwu.((Mosintuwu dalam bahasa Indonesia: hidup bersama-sama dalam perbedaan.)) Hidup bersama-sama dalam perbedaan dan dalam perjalanan kehidupan bermasyarakat, saling membantu baik suka maupun duka dikenal dengan sebutan Posintuwu.((Posintuwu dalam bahasa Pamona: perbuatan saling memberi ketika terjadi suka maupun duka dalam keluarga.))

Perjumpaan Islam dan Kristen di Desa Mapane, Kabupaten Poso

Kehadiran Islam di Poso terjadi pertama kali di wilayah Poso Pesisir, pada akhir abad XVI melalui saudagar yang berasal dari Bugis Bone yang berlayar menggunakan kapal tradisional Pinisi (Hasan, 2004:97). Saudagar tersebut bernama Baso Ali dan disebut sebagai tokoh Islam tua yang pertama kali mendarat dan tinggal menetap di Takule (Mapane) sebagai daerah pelabuhan pertama di Poso yang terkenal dengan pantainya yang landai.

Kehadiran Baso Ali sesungguhnya bukan bermaksud menyebarkan agama Islam, terlihat dari pendekatan keislamannya yang tidak demonstratif. Namun demikian, Baso Ali dikenang sebagai orang pertama yang menanamkan benih-benih keislaman di Tana Poso. Jejak-jejak keislaman Baso Ali sampai sekarang ini masih dapat terlihat di Mapane dalam bentuk kuburannya yang masih terawat dan menjadi tempat ziarah masyarakat Islam di Poso sampai saat ini. Baso Ali juga meninggalkan jejak keislamannya melalui sebuah masjid tua yang dinamakan Masjid Nunu.

Adapun perjumpaan Islam dengan Kristen di Poso, sesungguhnya pertama kali terjadi di Kampung Mapane. Pada tahun 1892, ketika A. C. Kruyt tiba di Pelabuhan Takule (Mapane), ia telah menemukan masyarakat yang heterogen dalam hal interaksi sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam catatan hariannya, A. C. Kruyt menyebutkan bahwa di Mapane kala itu sudah terdapat dua rumah orang Cina, tiga rumah orang Arab, dan beberapa rumah orang Parigi.

Interaksi orang Pamona (suku asli penganut agama suku Molamoa) di Pelabuhan Mapane dilakukan dalam rangka barter barang, terutama kain yang penting digunakan untuk prosesi adat, kemudian ditukar dengan hasil hutan, antara lain kayu, rotan, dan damar. Mengenai keadaan masyarakat di Mapane berdasarkan catatan etnografi, A. C. Kruyt dan Andriani (1912: 45) menyebutkan:

Papa I Peti settled in the coastal area at the mouth of Mapane for which reason this settlement is also called Mapane, He was wise enough to seasure himself of the support by promising him the part of profit that he was to make from his trading. Papa I Peti acquired great influence among To Pebato with the result that they looked upon him as the sort of a high chief. Whereas, there had been only a few houses in Mapane at that time. Thus, Papa I Peti and the people came and settled there were the Mandarese, Parigi, Kaili, Bugis, Makassar, Gorontalo, and also Chinese, Arabs. In this way, Mapane grew and became a trading place.

Catatan etnografi di atas memperlihatkan keberagaman masyarakat Poso berdasarkan etnis, agama, dan budaya. Kampung Mapane yang terletak di pesisir Teluk Tomini, sesungguhnya telah lama menjadi pelabuhan dan ruang perjumpaan masyarakat dari berbagai latar belakang daerah dan agama yang berbeda.

A. C Kruyt secara spesifik menyebutkan salah seorang tokoh yang disebutnya cukup bijaksana (wise enough) dengan panggilan Papa I Peti. Panggilan ini merupakan suatu pendekatan budaya berhubungan dengan budaya tabu untuk menyebutkan nama pribadi. Bagi masyarakat Poso, menyebutkan nama pribadi seseorang, berarti menyebut tanoana (jiwa) orang dan itu berarti mengusai orang tersebut. Panggilan Papa I Peti merupakan nama lain yang digunakan untuk menghindari budaya tabu tersebut pada bapak Baso Ali-Odjobolo.

Keluarga Baso Ali memiliki ikatan emosional dengan Kruyt, sebab keluarga inilah yang pertama kali pada tahun 1892 di kampung Mapane menyambut Keluarga Kruyt dan mempersilakannya menginap di rumah mereka. Kemudian dalam percakapan tentang masyarakat yang belum menganut agama Islam, Baso Ali menunjukkan lokasi perkampungan di pegunungan dan pada hari berikutnya, Kruyt menemui Papa I Wounte, pemimpin suku masyarakat Pamona di kampung Woyomakuni.

Untuk itu, dalam banyak kesempatan, rumah kediaman Baso Ali yang tepat beberapa meter di tepi pantai, menjadi tempat persinggahan, bahkan tempat bermalam ketika Kruyt melakukan perjalanan ke wilayah pesisir utara Poso. Dengan demikian, masyarakat Mapane adalah bagian yang menyatu dalam seluruh kesadaran Kruyt untuk mendukung perubahan dengan memperkuat relasi kekeluargaan, termasuk dengan komunitas Muslim.

Akhirnya terjadilah perubahan tatanan kehidupan yang terjadi di Tana Poso saat konflik agama tahun 2000 dan pasca konflik membawa wajah Tana Poso dalam bingkai ketidakharmonisan yang menciptakan kehidupan kacau di setiap aspek kehidupan. Bukan hanya memporak-porandakkan agama yang menjadi isu utama, tetapi sosial-ekonomi-budaya bahkan politik pun tidak luput dari mereka yang tidak menginginkan kedamaian Sintuwu Maroso.((Sintuwu Maroso dalam bahasa Pamona: hidup bersama-sama yang saling menguatkan dengan masyarakat lainnya dari latar belakang budaya, agama, suku berbeda yang kemudian datang di Tana Poso))

Untuk mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin saya simpulkan, yaitu sebagai berikut:

  1. Perbedaan bukan jalan menuju jurang yang dalam untuk berkonflik tetapi perbedaan cara kita untuk belajar saling menerima dan memahami keberadaan orang lain.
  2. Pluralisme sebagai fakta sejarah bukan sikap, ideologi atau struktur politik dalam menghadapi keragaman dalam perbedaan. Pluralisme adalah realitas, baik sejarah maupun moderasi masa kini.
  3. Menghadapi perbedaan dalam keragaman bukan hanya mampu toleransi, melainkan dialog aktif dan penuh rasa hormat, sehingga pemahaman yang salah pun tergantikan dengan pemahaman yang obyektif dan akademis.
  4. Pancasila adalah titik temu dari berbagai macam perbedaan dan budaya di Indonesia. Pancasila membuat kita hidup dan bertahan di Indonesia karena Indonesia adalah ‘rumah bersama’ dalam perbedaan itu. Di dalam Pancasila tidak ada mayoritas maupun minoritas, semuanya sama, adil. Karena Pancasila adalah perekat kerukunan umat beragama.
  5. Perjumapaan Islam-Kristen di Desa Mapane, Kabupaten Poso mengungkir sejarah bahwa tidak selalu dan selamanya perbedaan itu harus dengan kekerasaan. Wajah Tana Poso kini adalah wajah Tana Poso yang kembali dalam keberagaman dan keragaman tanpa sekat. Menciptakan perdamaian di Tana Sintuwu Maroso. Menerima perbedaaan itu dengan obyektif dan kedewasaan iman untuk tidak mengganggap diri paling benar.


Alumnus Workshop Religious Leader Jaringan GUSDURian.