Jangan Terlalu Serius, Keberagaman Itu Sesederhana Guyonan

Saya mendapatkan pengalaman yang unik dalam selang satu minggu. Waktu menginap di Griya GUSDURian—yang diidentikkan dengan NU, walau tidak demikian—dalam rangka suatu kegiatan, di sana diputar Mars Muhammadiyah. Satu minggu berselang, dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, setelah forum, beberapa saat sebelum Subuh menggema lagu Ya lal Wathan, yang identik sebagai Mars NU. Terkadang dunia memang seedan itu.

Ada sebuah guyonan, kalau tidak salah begini bunyinya: Orang NU pada puncaknya akan menjadi Muhammadiyah, dan begitu juga sebaliknya, orang Muhammadiyah pada puncaknya akan menjadi NU. Saya tidak mau mengulik korelasi dan keharmonisan keduanya—memang sudah harmonis, toh apa yang mau dibahas coba? 

Tapi saya sadar satu hal, saya belajar barangkali soal perbedaan, keberagaman, atau pluralisme dalam bahasa orang-orang terpelajar, tidaklah seruwet itu. Tidak harus sampai saling bacok, saling hina, atau mencaci maki. Keberagaman itu sesederhana guyonan-guyonan yang dilontarkan Gus Dur. Pluralisme itu adalah ketika Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, menghisap rokok dan mengopi bersama di warungnya ateis. Bagi saya keberagaman sesederhana itu.

Lantas bagaimana dengan Indonesia negeri tercinta kita ini? Sepertinya tidak perlu dijelaskan soal keberagaman. Tidak masuk akal menjelaskan keberagaman pada keberagaman itu sendiri. Orang Indonesia berada pada maqam (level) makrifat dalam urusan ini. Tidak salah kalau Hillary Clinton mengatakan kalau ingin melihat pluralisme, maka lihatlah Indonesia.

Tidak usah bawa-bawa soal peristiwa Poso, Ambon, Bali, dan sebagainya. Jangan singgung-singgung itu. Dasar anti-Pancasila, tidak cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah Anda tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Socrates itu? Semua orang adalah baik jika dia tahu, jika dia berbuat buruk maka berarti dia belum tahu.

Tapi jangan pula Anda mengatakan seseorang anti-keberagaman jika dia menolak menghisap rokok Surya yang menjadi kretek favorit Anda jika kreteknya adalah Dji Sam Soe. Ini tergantung selera, cukup selesaikan selera Anda dengan diri sendiri. Dan biarkan orang lain dengan selera mereka sendiri. 

Lalu bagaimana dengan burung garuda Pancasila kita? Lebih spesifiknya berkaitan dengan tulisan Bhineka Tunggal Ika di kakinya itu. Saya khawatir, jangan-jangan secara sembunyi-sembunyi pencetusnya diam-diam menyelundupkan doktrin-doktrin anti-keberagaman. Ini memang agak kurang ajar, tapi jangan pula Anda mengatakan saya tidak pancasilais, tidak cinta NKRI. 

****

Bhineka Tunggal Ika, saya bingung bagaimana posisi semboyan ini ketika beberapa orang dan kelompok merasa dirinya paling pancasilais dan lainnya dianggap sebagai anti-Pancasila. Saya tertarik dengan pernyataan Mbah Tedjo dalam sebuah acara di stasiun televisi. “Pancasila itu tidak ada, yang ada adalah gambarnya Pancasila,” katanya. Mau tidak mau sangat memungkinkan untuk mengatakan “Bhineka Tunggal Ika” itu tidak ada, yang ada adalah tulisan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, semboyan itu terdapat pada cengkeraman si ‘burung’.

Berbeda-beda tapi tetap satu. Dari sekolah saya belajar yang dimaksud dengan semboyan ini adalah bagaimanapun seseorang atau kelompok, dari mana pun mereka berasal, tetap sama. Sama-sama Indonesia. Bagi saya ini menyimpan semacam bom waktu yang justru telah ditolak pada bagian sebelumnya pada tulisan ini, cum dengan alasan-alasan penguatnya. 

Tapi semoga saja saya salah. Semoga saja maksud dari Bhineka Tunggal Ika bukan berarti “bukan persamaan”. Bukan bergabung jadi satu. Saya berharap semoga maknanya adalah membiarkan perbedaan tapi bisa berguyon bersama di satu tempat yang sama, seperti yang saya sampaikan di awal. Semoga saja maknanya adalah yang sama itu adalah pengakuan terhadap semua pihak yang berbeda-beda itu. Pengakuannya cukup sekali namun berbeda-bedanya diikat secara abadi.

Perbedaan biarlah menjadi perbedaan. Tidak mungkin memaksakan untuk satu warna pada apa yang seharusnya berbeda. Setiap kelompok memiliki nilainya masing-masing. Saya percaya bahwa jati diri Indonesia adalah perbedaan itu sendiri, tidak usah dipaksakan untuk menjadi satu. Bayangkan di gim PES atau FIFA hanya ada Real Madrid saja, bosan. Terkadang kita ingin menggunakan Manchester United misalnya.

(Hirup nafas yang dalam) Kalimat yang ingin aku tuliskan pada paragraf berikutnya adalah bahasa yang nggak biasa. Sebenarnya juga tidak diperlukan oleh semua orang sih. Kuli bangunan, tukang becak, pedagang sayuran, sama sekali tidak tahu dan tidak butuh dengan kata-kata pada kalimat berikutnya. Akal-akalan orang-orang intelektual.

Mulkulturalisme, inklusivitas, heterogenitas, terdengar seperti jeritan harapan yang mengimpikan bahwa perbedaan seharusnya melahirkan simplifikasi positif. Perbedaan yang tidak melahirkan sentimen ras, saling membenci, hidup rukun berdampingan. Tapi, yang diharapkan adalah tidak berhenti pada kata seharusnya, melainkan pada keadaan yang benar-benar terjadi. Lalu, ide yang seperti apa? Entahlah. Tapi saya merasa kurang puas dengan apa yang ada.

*****

Sebagai seorang anak muda, saya merasa untuk harus lebih banyak sowan kepada orang-orang tua. Kepada kiai, kepada satpam sekolah, hansip di pos ronda, kuli bangunan. Siapa pun, mereka yang kaya akan kehidupan. Pada candaan dan guyonan khas bapak-bapak saya dapat menangkap keberagaman. Pada obrolan nenek-nenek di teras rumah saya mendapat arti keberagaman. Jika sedikit lebih peka, orang-orang ini bukan hanya sekadar berkutat pada persoalan menikmati hari tua.

Tinggal bagaimana keberagaman yang sesederhana guyonan itu bisa dilihat dengan seluas-luasnya. Sangat memungkinkan Muhammadiyah “berjaya” di kandang NU, ataupun sebaliknya. Sebab keberagaman yang bersifat sesederhana guyonan tidaklah memberikan sikap buruk kepada pihak mana pun, sekali pun perbedaan itu terlihat secara jelas dan nyata. Bersatu dalam keberagaman dan beragam dalam kesatuan. Saya tidak bisa menuliskannya sebaik Cak Nun, tapi semoga saja Anda bisa menangkap apa yang saya maksudkan.

****

Tatkala matahari terbit, kita dapat melihat para petani dengan cangkul menuju ke sawah, pedagang menuju ke pasar. Pagi Minggu ada muda-mudi yang berdoa bersamaan dentang lonceng gereja, malam hari ada tukang angkringan yang menjajakan dagangannya. Satu kata kunci dalam semua fenomena yang kita alami dan insyafi dalam sehari-hari itu: keberagaman. Seperti yang disampaikan sebenarnya adalah satu hal yang sangat sederhana, sesederhana guyonan dan seerat penerimaan atas perbedaan masing-masing.

Beda tetap berbeda. Ketika dalam satu ruang menciptakan harmoni. Inilah keindahan, inilah yang memuat harapan-harapan.

Alumnus Creator Academy 2022 Jaringan GUSDURian. Alumnus Hukum Tatanegara (Siyasah Syar’iyyah) UIN Imam Bonjol Padang.