Keniscayaan dalam Bermazhab: Perjalanan Ulama Islam Menjembatani Zaman

Mazhab dalam arti kebahasaan berarti jalan, jalan pemikiran, pendapat. Perkataan mazhab sebagai jalan pemikiran mulai populer pada zaman keempat imam mazhab, yakni Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Sebenarnya mazhab sebagai jalan pemikiran itu sangat banyak, karena ulama-ulama pada zaman dulu punya pemikiran-pemikiran atau ijtihad tentang persoalan-persoalan keagamaan.

Kalau kita merujuk ke zaman Nabi, Nabi pernah mengutus Mu’adz kesuatu daerah, lalu Nabi berkata ke Mu’adz, dengan apa engkau memutuskan kalau menghadapi suatu perkara, Mu’adz menjawab dengan Al-Qur’an, kemudian lanjut Nabi bertanya kalau engkau tidak mendapati dalam Al-Qur’an, Mu’adz menjawab dengan Assunnah, kemudian Nabi bertanya kembali, Kalau tidak mendapati dalam Assunnah, Mu’adz menjawab aku akan berijtihad.

Dengan melihat jawaban Mu’adz dari pertanyaan Nabi di atas, itulah yang menjadi metodologi para ulama untuk memutuskan suatu perkara. Dengan hadis ini para ulama dan cerdik cendekiawan memberikan nama kepada kumpulan-kumpulan ijtihad para ulama dengan nama mazhab yang disandangkan kepada ulama yang telah mengarang atau kumpulan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama. Para ulama terdahulu sangat banyak yang menuangkan pikirannya lewat tulisan-tulisan dalam bentuk mushaf. Kumpulan-kumpulan karangan tersebut itulah yang disebut dengan mazhab, atau kumpulan jalan pemikiran atau pendapat dari seorang ulama.

Dalam sejarah perkembangan mazhab, banyak mazhab yang hilang atau tidak bisa kita akses karena berbagai faktor. Dalam konteks Ahlu sunnah waljamaah telah diwariskan empat mazhab yang terkenal, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Keempat mazhab ini yang banyak dianut oleh berbagai negara muslim di dunia. Para ulama-ulama mazhab telah berjasa besar dalam menterjemahkan Islam atau ajaran agama yaitu Al-Qur’an dan hadis dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mereka telah memberikan bentuk pemikiran keagamaan kepada masyarakat.

Banyaknya peninggalan-peninggalan khazanah intelektual pada zaman dulu adalah aset yang sangat berharga untuk generasi hari ini. Betapa berjasanya para ulama klasik yang telah menitipkan karya-karya intelektual untuk generasi hari ini. Keproduktifan ulama-ulama dulu dalam menghasilkan karya-karya intelektual sangat layak diapresiasi. Semangat mereka dalam berkarya sangat tinggi. Mereka betul-betul berjihad secara intelektual dan menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk memperdalam keilmuan mereka. Katakanlah seperti Imam Syafi’i yang melakukan perjalanan keilmuan dari Baghdad ke Mesir dengan fasilitas yang sangat terbatas dengan tujuan untuk menambah pundi-pundi keilmuan.

Khazanah peninggalan ulama-ulama pasca kenabian dan masa para sahabat adalah khazanah yang sangat berharga. Khazanah ini perlu kita pelihara sebagai bahan rujukan atau referensi dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer, dan sebagai bahan perbandingan atau muqaranah dalam memberikan respons dalam memperkaya khazanah keilmuan di zaman modern. Mazhab pemikiran ulama-ulama dulu adalah khazanah yang sangat dekat dengan khazanah kenabian. Ada kontinuitas keilmuan dari Nabi, sahabat, thabi’in, thabi’in-thabi’in, kemurnian pemikiran yang menghiasi pemikiran ulama-ulama mazhab.

Nabi pernah memberikan suatu statement bahwa masa kenabian adalah masa yang terbaik. “Sebaik-baik qurun (zaman) adalah zamanku”. Selama 23 tahun Nabi melaksanakan tugas sebagai Rasul. Yang dibagi dalam dua periode yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Kedua periode ini sekalipun berbeda titik tekan Nabi dalam mengkampanyekan misi keislaman karena perbedaan tantangan yang dihadapi. Misinya sama, yaitu menyampaikan misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Visi menterjemahkan ketauhidan sebagai ajaran pokok agama ke dalam misi kemanusiaan yang humanis.

Nabi juga memprediksikan sesudah zaman Nabi, ada zaman para sahabat kemudian thabiin dan thabi’in-thabi’in. Di zaman berikutnya itulah banyak muncul ulama-ulama yang produktif dalam melahirkan suatu karya intelektual terutama pada zaman keempat imam mazhab. Zaman Nabi, para sahabat, dan thabi’in adalah zaman yang memberikan fondasi intelektual terhadap ulama-ulama berikutnya, yaitu di zaman ulama mazhab. Di zaman inilah banyak muncul karya-karya intelektual yang punya bobot yang sangat tinggi. Suatu karya yang sangat murni karena persambungan intelektual pada masa sebelumnya sampai kepada zaman Rasul. Begitupun karya-karya intelektual pada zaman kontemporer yang dikarang oleh para intelektual-intelektual ternama itu tidak terlepas dari karya-karya ulama sebelumnya yang dipelopori oleh para ulama mazhab.

Kontribusi para ulama-ulama terdahulu dalam melanggengkan tradisi intelektual dalam Islam sangatlah besar. Hasil ijtihad mereka menjadi sumber hukum, atau menjadi rujukan dalam menjawab berbagai permasalahan keagamaan yang muncul. Keberadaan mereka dalam tradisi intelektual Islam sebagai mediasi intelektual antara zaman sebelumnya dengan zaman berikutnya sampai zaman kontemporer saat ini. Oleh sebab itu dalam memahami ajaran-ajaran Nabi atau memahami Al-Qur’an dan Sunnah, eksistensi karya-karya ulama atau mazhab-mazhab pemikiran adalah menjadi wasilah intelektual terhadap pemahaman keagamaan di zaman kontemporer.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.