Social Media

Perjumpaan dengan Pendeta Maria Puspitasari: Refleksi Keteladanan Gus Dur dalam Pandangan Nasrani

Keberadaan kaum Nasrani secara jumlah dapat dikatakan minoritas dalam konteks relasi antarumat beragama di Indonesia. Menjadi menarik ketika menampilkan pembelajaran dari sosok-sosok GUSDURian dan pengiat nilai-nilai Gus Dur dalam pandangan kaum Nasrani. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mendukung toleransi, akses kesetaraan, sekaligus memberikan inspirasi dari keteladanan kehidupan mereka.
(Yudha Adi Putra, 2022)

Sebagai seorang mahasiswa teologi yang oleh masyarakat Nasrani sering diharapkan untuk menjadi pendeta, bahkan memiliki citra pendeta menjadi perlu untuk mengenali dan memahami konteks. Keberadaan Islam merupakan konteks penting dalam gereja dan umat Kristiani untuk berteologi. Perjumpaan dengan Pendeta Maria Puspitasari menjadi titik balik tersendiri dalam proses pembelajaran saya, terutama berkaitan dengan nilai-nilai Gus Dur.

Pertemuan itu mendadak membuat saya senang untuk melihat kembali dan peka terhadap apa yang terjadi di sekitar. Saya mulai memaknainya kembali ketika menjumpai sosok yang menjadi proses pembelajaran saya. Menjadi mahasiswa teologi membuat saya memiliki kesempatan untuk belajar mengenai teologi agama-agama.

Mahasiswa teologi harus peka. Ia harus berusaha lebih keras untuk membawa dampak baik bagi sesama. Setidaknya, ketika diharapkan menjadi pemuka agama, ia mampu menciptakan toleransi melalui pengalaman belajarnya mengenai dinamika dengan agama lain. Nilai-nilai Gus Dur yang berjumlah sembilan itu menjadi implementasi penting dalam hidup bersama, termasuk bergereja dan bersosialisasi dengan keberagaman agama.

Ketika saya menemui Pendeta Maria Puspita, ada keteladanan tersendiri yang saya refleksikan. Terutama bagaimana mengembangkan teologi yang kontekstual. Keberadaan diri sebagai pemuka agama juga menjadi jalan yang dihidupi untuk toleransi.

Hari berlanjut, saya menjumpai beliau sebagai salah satu pengurus dari Yayasan Politeknik GUSDURian Purwokerto. Saya merasa menjadi penting untuk belajar terus dengan pengalaman melalui perjumpaan. Implementasi belajar mengenai toleransi adalah dengan berjumpa langsung, berdialog, dan melepaskan banyak prasangka. Kemauan untuk berusaha itu membawa saya pada cara pandang yang lebih terbuka, setidaknya untuk merayakan indahnya hidup bersama. Pendeta Maria Puspita juga mengatakan bahwa nilai-nilai Gus Dur tidak hanya dipelajari dan dikaji, melainkan menjadi penting untuk diterapkan dalam menghidupi komunitas.

Pendeta GKJ Purwokerto yang akrab dengan generasi muda ini merupakan tokoh yang dekat dengan jemaat dan masyarakat. Saya pernah menjumpai beliau ikut ronda malam dan tengah berbagi tawa dengan rekan-rekannya. Melihat momen itu, bagi saya merupakan upaya untuk melepasakan ketegangan sosial yang ada. Keberadaan figur sebagai pendeta sering kali memunculkan stigma tertentu. Namun, itu dapat diolah untuk menghadirkan pintu-pintu pembelajaran dan dialog bersama yang lebih toleran.

Pendeta Maria Puspita merupakan sosok dengan keteladanan akan implementasi nilai-nilai Gus Dur dalam pandangan Nasrani. Proses pembelajaran dan dinamika yang dialami menjadi upaya membangun relasi dan kerukunan antarumat beragama yang memberdayakan. Ketika menjadi pemuka agama, peran dan arah yang dihidupi dekat dengan upaya berteologi yang ramah dan kontekstual. Dinamika itu diharapkan membawa harmoni dalam merayakan hidup bersama. Dalam upaya seperti itu, implementasi nilai-nilai Gus Dur menjadi hidup dan dinamis karena cara pandang beserta dunia pandang yang menghidupinya menjadi beragam.

Kemandirian dalam berteologi juga menjadi upaya penting ketika menghidupi nilai-nilai Gus Dur dalam relasi antarumat beragama. Ada tawaran berteologi yang kontekstual yang menjadi alternatif untuk dilakukan. Itu menjadi bentuk menghargai keberadaan konteks sebagai upaya untuk berteologi dengan potensi yang ada.

Hingga kini, perkembangan narasi dan gambar diri dalam berteologi antarumat beragama menjadi penting untuk diperhatikan. Banyak narasi dan citra yang muncul di media sosial memiliki implikasi dalam kehidupan bersama. Kadang, hanya karena pengalaman perjumpaan dan narasi di media sosial yang memunculkan persoalan. Itu berimplikasi pada cara berteologi yang berujung pada tidak ramah dengan agama lain, terutama ketika hidup bersama.

Menghidupi toleransi tidak hanya berbicara soal hidup bersama dengan harmoni. Tetapi, keberadaan toleransi menjadi upaya bekerja sama untuk merayakan kehidupan. Bersama tidak harus sama. Ada perbedaan yang menjadi menarik saat proses pembelajaran. Justru menjadi penting ketika mau untuk melihat melalui cara pandang yang lain, terutama untuk memunculkan adanya empati.

Titik balik proses pembelajaran saya ketika bertemu dengan Pendeta Maria Puspitasari berkaitan erat dengan impian saya, terutama untuk menjadi akademisi dalam mengembangkan teologi yang kontekstual. Pandangan sebagai Nasrani dalam merespons persoalan toleransi menjadi penting diupayakan dengan memberi perhatian pada nilai lokal yang dihidupi. Sehingga cara berteologi yang dibangun berdasarkan pengalaman komunitas hingga merefleksikan bersama persoalan teologis untuk direspons menuju harmoni.

Keberadaan pihak lain tidak hanya menjadi obyek saja, melainkan subyek yang berkaitan dan memberikan implikasi dalam membangun pandangan beserta tindakan dalam kehidupan. Kita perlu Berusaha membuktikan bahwa toleransi menjadi hal yang penting saat ini adalah upaya kemandirian dalam berteologi untuk mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Pendeta Maria Puspitasari dari GKJ Purwokerto menjadi teladan yang penting dalam cara pandang saya akan nilai-nilai Gus Dur, tentu kaitannya dengan belajar. Setidaknya untuk mengolah diri lebih peka terhadap konteks yang dihidupi berserta potensi yang menggembirakan dalam dinamika pelayanan. Kemudian, perjuangan yang saya lanjutkan dengan penuh semangat adalah dengan menulis. Menulis memberikan ruang dan kesempatan.

Dalam mendukung pengalaman dan pandangan nilai-nilai Gus Dur, pandangan beserta implementasi dari umat Nasrani bagi saya menjadi pandangan tersendiri. Itu menjadi mutiara pembelajaran. Keberadaan pendeta sebagai pemuka agama, atau kalau dalam konteks saya dinamika mahasiswa teologi yang belajar mengenai agama menjadi undangan tersendiri untuk terlibat memahami nilai-nilai Gus Dur. Ketika itu menjadi proses yang dialami, akan memunculkan kebijaksanaan dan arah berteologi yang toleran dengan memperhatikan pengalaman akan perjumpaan secara langsung dengan implementasi nilai-nilai Gus Dur.

Pembelajaran dan perjumpaan menjadi momen menarik untuk direfleksikan. Tapi di samping itu harus ada kerendahan hati dan upaya terus menerus untuk peka dalam merespons persoalan hidup bersama. Sebab, dalam konteks era digital saat ini mudah sekali informasi diperoleh tetapi olahannya tidak memperhatikan literasi yang baik. Artinya, perjumpaan secara langsung dan implementasi menjadi penting dalam pembelajaran akan nilai-nilai Gus Dur. Sehingga keberadaan narasi yang tidak ramah itu dapat direspons dengan pengalaman yang lebih nyata.

Menjadi penting untuk mengembangkan toleransi dalam hidup bersama antarumat beragama di Indonesia. Apalagi, dengan tindakan dan refleksi yang jujur keberadaan pihak lain dalam kehidupan bersama antarumat beragama menjadi konteks yang saling memengaruhi. Sehingga implementasi dan keteladanan pemuka agama dan kita semua menjadi penting untuk memperjuangkan toleransi. Itulah harapan bersama dalam cita-cita Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?

GUSDURian. Tinggal di Yogyakarta.