Kurang lebih 3 bulan lamanya, saya menempuh kelas singkat oleh Komunitas GUSDURian di bawah naungan Future Skills (FS) UGM. Berbagai ilmu yang diperoleh tidak hanya sebatas kiat membangun komunitas sosial, melainkan juga mengenai hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhan.
Ekspektasi awal saya ketika mendaftar kelas GUSDURian ini akan seperti kuliah daring pada umumnya – atau disebut dengan ‘kupu-kupu’ atau ‘kuliah pulang’. Namun, ekspektasi saya saat memulai kelas GUSDURian sejak pertemuan awal hingga akhir benar-benar dipatahkan.
Seperti pernyataan di paragraf sebelumnya, saya cukup sering mengikuti kelas daring sejak pandemi dan tidak jarang memberi kesan monoton atau ‘kupu-kupu’. Tim GUSDURian nampaknya tidak hanya ingin menitipkan ilmu dan jaringan kepada peserta Kelas FS GUSDURian, melainkan juga mengajak peserta untuk refleksi diri.
Derasnya arus globalisasi memberikan dampak besar bagi kepribadian manusia -terutama generasi Z dan generasi Alfa- untuk meluangkan waktu bercengkrama dengan diri sendiri dan sesama. Bila dirangkum, kata kunci yang dititipkan tim GUSDURian adalah peka.
Terkadang manusia bila mendengar kata ‘peka’ cenderung melekatkan stereotipe kepada perempuan sebagai kaum yang layak menyandang gelar tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum laki-laki turut mengedepankan sifat peka terhadap sesama maupun sekitar.
Generasi muda acap kali terbuai dengan dunia baru dalam kepalanya sehingga sangat tak acuh dengan berbagai isu darurat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Meluangkan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit untuk mendiskusikan akar masalah dan solusi dari isu darurat menjadi rutinitas setiap minggunya dalam kelas GUSDURian.
Tidak ada pelatihan khusus untuk menjadi agent of change bagi negeri ini – hanya berbekal ilmu sederhana penuh makna dalam diri seperti almarhum Gus Dur. Walaupun raganya telah dikebumikan, nilai kehidupan Gus Dur diteruskan kepada banyak orang, tidak terkecuali generasi muda saat ini.
Bila melakukan survei kilat kepada generasi muda saat ini, mungkin hanya segelintir saja yang mengenali sosok Gus Dur dan Komunitas GUSDURian. Kurang lebih survei tersebut dapat menggambarkan Komunitas GUSDURian.
Komunitas GUSDURian dapat dikategorikan dalam komunitas muda yang lahir kurang lebih 10 tahun silam dan secara perlahan menyebar ke berbagai titik di dalam maupun luar negeri. Jumlah anggota di setiap titik tidak menentu – sedikit banyaknya tentu akan mempengaruhi dinamika internal.
Dinamika internal yang sulit diprediksi karena acap kali timbul tenggelam tidak serta-merta melenyapkan nilai dan/atau visi misi dari Komunitas GUSDURian dengan mudah. Dengan kata lain, konsistensi turut disematkan sebagai adonan dasar komunitas ini.
Kurang lebih beberapa poin di atas merupakan nilai yang dititipkan oleh Komunitas GUSDURian kepada saya sebagai salah satu peserta kelas Future Skills GUSDURian Batch 6. Pertemuan singkat namun membekas dalam benak dan hati saya untuk lebih mencintai diri, memperhatikan suasana sekitar, serta konsisten dalam melakukan apa yang sedang dikerjakan.
Semua teori yang dititipkan selama kelas tersebut membutuhkan waktu tidak sedikit untuk direalisasikan dalam kehidupan masyarakat luas, sesuai dengan fokus bidang (concern) masing-masing peserta kelas Future Skills GUSDURian. Satu hal yang pasti terjadi adalah kita membutuhkan uluran tangan berbagai pihak dalam merealisasikan berbagai ide maupun imajinasi di kepala ke dunia nyata.
Akhir kata, ada satu hal yang selalu saya kenang dari almarhum Gus Dur secara singkat di suatu pertemuan sebelum beliau berpulang. Dunia ini memang maya dan tidak abadi, maka teruslah berbuat baik sesuai kapasitas diri tanpa ada makna tersembunyi di balik itu semua.