Komunitas GUSDURian Gorontalo menggelar diskusi yang bertajuk “Gus Dur, Papua, dan Kewargaan Bineka”, yang bertempat di Taman Administrasi Publik Universitas Negeri Gorontalo, pada Kamis (22/12/2022) lalu.
Diskusi tersebut bekerja sama dengan komunitas literasi Sampul Belakang, yang menghadirkan Peramu Manus Jikwa, Mahasiswa Universitas Mahasiswa Gorontalo; Christopel Paino, Penulis buku Ufuk Timur; dan Abdul Kadir Lawero, fasilitator GUSDURian.
Pada jalannya diskusi, Manus mengatakan kepada peserta diskusi agar membuka perspektif yang semakin terang dalam melihat kondisi Papua. Karena menurutnya, selama ini orang-orang memandang Papua tidak maju, dan mempunyai stereotip yang menyudutkan.
“Melalui diskusi ini kita bisa saling berbagai untuk saling memahami. Semoga tidak hanya hari ini kita lakukan diskusi tapi ke depannya bisa diskusi tentang Papua lebih banyak lagi, terutama dari kawan-kawan GUSDURian,” ucapnya.
Sementara, Christopel Paino mengutarakan bahwa, selama ini yang beredar di masyarakat terhadap masyarakat Papua adalah stereotip kumuh, yang sering kali menimbulkan resistensi.
“Hal itu tidak terjadi begitu saja, tapi melalui sejarah yang panjang. Seperti bahasa Filep Karma dalam bukunya Seakan Kitorang Setengah Binatang. Seperti itulah stereotip yang muncul,” tandasnya.
Sambungnya, jikalau Gus Dur bisa menunaikan kewajiban sebagai Kepala Negara tanpa dilengserkan, kemungkinan akan banyak opsi yang dibuat beliau untuk Papua hingga saat ini.
“Kita tidak hanya sekedar menggaungkan toleransi kerukunan agama, tapi kerukunan antarwarga negara,” kata Christopel tegas.
Penulis buku itu mengatakan, Papua bukanlah tanah kosong. Kehidupan di Papua sangat beragam, tapi hingga saat ini pandangan masyarakat masih saja sama seperti masa kolonial. Tidak hanya kental akan rasisme, tapi juga mengandung eksotisme muatan lokal yang menunjukan Papua adalah tanah surga tapi masyarakatnya terus saja tertindas.
Koordinator GUSDURian Gorontalo, Nur Hikmah Biga yang juga hadir pada diskusi itu menyampaikan, mendiskusikan tentang Papua haruslah pada ruang yang tidak kaku, sehingga hak sebagai warga negara bisa benar-benar terlihat.
“Kita menghadirkan teman-teman multikultur, agar ada perjumpaan dan komunikasi yang tidak kaku. Sehingga Gorontalo tidak dipandang sebagai mayoritas muslim yang terwujud sebagai Serambi Madinah, tapi juga ada wajah yang lain. Sehingga kekakuan di masyarakat tidak semakin menjadi,” pungkasnya.