Menakar Keberagaman Diri: Kita adalah Entitas yang Berbeda bagi Orang Lain

Sampai saya merefleksikan tentang pengalaman keberagaman, terutama terkait agama dan kepercayaan, saya merasa bahwa saya berasal dari lingkungan yang homogen. Kalimat serupa juga sering saya jumpai, bahwa keberagaman adalah sebuah entitas di luar dirinya. Setelah mengalami perjumpaan-perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda, membaca dan melakukan diskusi terkait keberagaman, ternyata perbedaan bukan hal yang baru dalam hidup saya. Lalu bermuara pada kesadaran bahwa setiap manusia adalah berbeda.

Saat kecil saya pernah membukakan pintu untuk seorang tamu. Saya tengah membuat ­­urung kupat bersama kakak saya, satu hari menuju lebaran. Kakak menyuguhkan air minum kepada tamu tersebut. Sambil berseloroh ia mengatakan bahwa ia sudah kenyang karena sebelumnya makan banyak opor ayam. Belakangan saya tahu bahwa ia merayakan hari idul fitri sehari sebelum keluarga kami merayakannya. Saya yang masih kecil saat itu menerimanya sebagai sebuah peristiwa selintas lalu. Kesimpulan yang saya ambil adalah keterangan dari bapak saya bahwa ia adalah orang Muhammadiyah.

Pengalaman lain juga pernah saya lalui di lingkungan tempat saya tinggal. Ada salah satu komunitas agama yang mewajibkan perempuan untuk melakukan shalat jumat. Sebuah ajaran yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Komunitas ini tetap menjalankan ritual tersebut sampai beberapa waktu. Belakangan saya juga mendapat cerita dari seorang yang akhirnya memutuskan keluar dari komunitas tersebut. Ia tidak mendapat intimidasi dan masyarakat umum menganggap hal tersebut wajar: sebuah pilihan pribadi yang menjadi tanggung jawab masing-masing.

Sangat lazim di lingkungan saya ketika para pengusaha Tionghoa menyumbang beras untuk muludan. Pemukiman mereka yang terpusat di sekitar pasar rata-rata adalah pemilik toko, meskipun ada beberapa yang berprofesi montir dan dokter. Biasanya, mereka akan mengkoordinir sumbangan pada perayaan hari besar agama Islam. Baik berupa makanan, peralatan atau bahkan uang. Dukungan mereka kadang tidak hanya berupa materil, mereka bisa turut hadir menghadiri pengajian.

Menyelami perbedaan

Saya pikir titik balik pemikiran soal keberagaman dan penghargaan atas hak beragama dan kepercayaan dimulai dengan mengalami perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda. Saya merasa berasal dari lingkungan yang beragam. Pada beberapa kesempatan saya sering kali menjumpai orang-orang dengan pakaian yang berbeda. Di dalam keluarga saya tidak ada mayoritas dan minoritas. Di lingkungan saya juga banyak perbedaan yang ada. Bisa dilihat dari bagaimana cara beribadah dan orang-orang menjalani kehidupan sosialnya.

Sebenarnya saya melihat bahwa setiap orang berbeda, ada nilai-nilai yang mengikat dan menjadi prinsip dalam kehidupan sosial. Misalnya saling menghormati dan menghargai wilayah privat dan merawat hal-hal yang pada prinsipnya merupakan hak-hak publik.

Melihat keberagamaan, saya pikir titik baliknya adalah dimulai dari diri sendiri. Melihat situasi keberagaman di sekitar kita adalah proyeksi bagaimana kita melihat bahwa diri kita adalah makhluk yang berbeda. Menyadari bahwa diri kita berbeda merupakan titik berangkat paling jernih melihat orang yang yang berbeda pandangan agama dan kepercayaan dari kita. Jika kita menganggap bahwa kita berasal dari lingkungan yang homogen, maka sebenarnya sudut pandang kita terhadap orang lain tidak dimulai dengan menyelami diri kita sendiri.

Saya menyadari bahwa melihat keberagaman berasal dari diri saya yang berbeda dengan orang lain. Kepada orang tua saya melihat berbagai macam perbedaan. Atau latar belakang keluarga yang sebenarnya beragam. Pada pertemuan keluarga yang berlangsung lama dari tahun ke tahun, kami tumbuh sesuai dengan ajaran agama yang diajarkan oleh orangtua kami. Misalnya, saya dibesarkan dalam sebuah keluarga yang lekat dengan tradisi NU. Di mana tahlil, marhabanan, dan ziarah kubur menjadi ukuran untuk melihat dan meningkatkan keimanan kita dalam beragama. Maka, di dalam keluarga kami tidak dapat dihindari perkara-perkara yang berkaitan tentang pendapat-pendapat yang kami dapatkan dari luar rumah tentang NU tentunya.

Sebagian keluarga saya Muhammadiyah karena sekolah di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah. Kakek saya ternyata adalah seorang penganut kejawen, namun rajin tahlilan dan ziarah kubur. Kakaknya, seorang kiai kampung yang mengajar sebuah tarekat di mana perempuannya wajib mengikuti shalat jumat. Kakak sepupu saya memilih berpindah agama Kristen lalu menikah dengan jemaat yang satu gereja dengannya. Ia memiliki tiga anak dan berbahagia. Kami saling berkunjung kala hari raya. 

Bagi saya, cara beragama setiap manusia berbeda satu sama lain. Yang pasti tidak lepas dari pandangan dan keyakinan yang berbeda. Dalam sebuah pertemuan keluarga besar, perempuan berkerudung ada yang rambut disanggul. Ada yang bercadar ada yang pakai kaos oblong celana pendek. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan yang ada di sekeliling kita bisa tetap berjalan harmonis meskipun setiap orangnya berbeda pendapat soal rakaat sembahyang tarawih dan hitungan awal puasa atau lebaran.

Menyengajakan perjumpaan 

Perjumpaan-perjumpaan yang saya alami dahulu mampu mengenalkan saya atas keberagaman dalam berkeyakinan. Berangkat dari kesadaran itu, saya memilih untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang berbeda. Saya mengupayakan dan menyengajakan untuk melakukan perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda. Menuju sebuah lingkungan baru, orang-orang baru. Semakin banyak mengalami perjumpaan, saya juga menyelami bahwa sebenarnya bisa jadi saya adalah unsur yang berbeda bagi orang lain.

Jika saat ini respons masyarakat sedikit berbeda melihat tentang keberagaman. Saya pikir tidak lepas dari perkembangan arus informasi. Saya mengenal keberagaman dari ingatan-ingatan masa kecil saya tentang perjumpaan-perjumpaan tentang entitas yang berbeda dari diri saya. Hal tersebut memang sesuatu yang dekat dengan diri kita. Berawal dari keluarga dan lingkungan. Lalu dengan pengalaman tersebut saya mampu merefleksikan lebih mendalam tentang keberagaman. Maka saat ini, sesuatu yang dekat dan dapat dijangkau oleh masyarakat tidak hanya tentang interaksi sosial secara langsung, melainkan juga melalui media sosial.

Pengalaman dan perjumpaan yang disengajakan bagi saya menjadi salah atau sumber informasi yang cukup penting untuk memengaruhi pengalaman-pengalaman yang melekat dan dekat dalam masyarakat secara umum. Lalu, ada upaya untuk membentuk dan memberi ruang pada realitas yang terjadi pada lingkungan di sekeliling kita. Sebab saat ini kemudahan informasi dan kehidupan yang serba cepat membuat kita sedikit memiliki waktu untuk menilik lingkungan sosial kita secara langsung.

Bagaimanapun upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran tentang keberagamaan. Terutama dalam pengarusutamaan di media sosial. Ada nilai yang paling berharga dari makna keberagamaan, yakni bahwa diri kita sendiri adalah entitas yang berbeda yang merupakan bagian-bagian yang mewarnai perbedaan itu sendiri. Tabik!

Koordinator Wilayah (Korwil) GUSDURian Jawa Bagian Barat.