Dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke-13, Jaringan Islam Progresif (JIP) menggelar diskusi dengan tema “Gus Dur: Islam, Lokalitas, dan Kemanusiaan”. kegiatan ini dilaksanakan di Toko Buku Wasilah Majene pada Jumat, 30 Desember 2022 lalu.
Dalam forum ini Jaringan Islam Progresif (JIP) menghadirkan dua narasumber dari latar belakang yang berbeda, yaitu Drs. H. Mansur S, M.Pd selaku Ketua Umum FKUB Majene dan Ustaz Munu Ikha selaku Ketua MUI Balanipa.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh 27 orang peserta yang terdiri dari beberapa mahasiswa dan dosen, baik dari kampus STAIN Majene, Unsulbar, dan kampus lainnya.
Dialog tersebut dimulai dengan doa kepada almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Dur. Doa dipimpin langsung oleh Ustaz Munu selaku pemateri dalam dialog.
Dalam pemaparannya, Drs. H. Mansur S, M.Pd menjelaskan bahwa nilai utama Gus Dur yang pertama terkait Ketauhidan perlu ditanamkan. Menurutnya, ketauhidan bersumber dari hati yang mantap dari seseorang. Sedangkan nilai kedua yang terkait kemanusiaan merupakan perjuangan Gus Dur yang terus dijaga dan dipelihara.
Mansur menambahkan, nilai ketiga yaitu keadilan merupakan nilai yang tidak membeda-bedakan manusia. Nilai keempat adalah kesetaraan dan kelima adalah pembebasan. Nilai pemembasan Gus Dur terejawantahkan dengan kebebasan yang diberikan bagi seluruh kalangan. Dan keenam adalah nilai kesederhanaan.
“Nilai utama Gus Dur juga yang tidak kalah pentingnya adalah kekesatriaan, yakni berani dalam mengambil resiko untuk mempertahankan kebenaran serta keadilan bagi semua manusia,” ungkap Drs. H. Mansur S, M.Pd.
Ketua Umum FKUB Majene tersebut menambahkan bahwa beberapa Nilai Gus Dur tersebut mengajak kita menjadi bermanfaat bagi orang lain dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan tadi.
Tidak beda jauh dengan penyampaian narasumber pertama, Ustaz Munu Ikha selaku Ketua MUI Balanipa menyampaikan materinya dengan lebih memfokuskan pada budaya yang terus diperjuangkan Gus Dur.
“Gus Dur adalah seorang pembaca yang sangat kuat, sehingga pantaslah dikatakan sebagai “Meng-iqra’-kan iqra’,” ujar Ustaz Munu.
Menurut Ustaz Munu, Islam dalam cara pandang Gus Dur adalah etika sosial. Sehingga termanifestasikan menjadi inspirasi bagi semua umat.
“Islam mempunyai batas akhlakul karimah dengan menghayati seperti apa etika dalam Islam. Agama diturunkan sebagai penghayatan tentang kemanusiaan, karena agama sejatinya diperuntukkan untuk manusia,” lanjut Ustaz Munu.
Beragama tanpa budaya itu salah, menurut Ustaz Munu. Ia berpandangan bahwa kreativitas manusialah yang melahirkan kreasi dalam bentuk nilai keberagamaan. Namun menjadi salah ketika dikatakan budaya adalah agama. Budaya adalah realitas yang harus diterima serta diintegrasikan dengan nilai agama.
“Dalam hal keyakinan, tidak penting mempermasalahkan bagaimana cara pandang melihat agama, akan tetapi harus tetap menjunjung kemanusiaan, yakni memanusiakan manusia. Agar Islam mudah diterima dalam masyarakat, maka mesti menciptakan Islam yang berkeindonesiaan,” terang ustaz Munu.
Esensi agama adalah kemanusiaan. Gus Dur tidak melihat agama itu dari penampilan, akan tetapi akhlakul karimah atau tingkat kemanusiaan yang tinggi. “Kekakuan dalam melihat Islam adalah hal yang menimbulkan perpecahan,” ungkap Ustaz Munu.
Baginya, Gus Dur adalah sosok yang memperjuangkan Islam nomor satu di Indonesia, bahkan dunia. Maka salah jika menganggap Gus Dur memahami Islam dengan sebelah mata.
Inti dari diskusi ini adalah bagaimana kita melihat agama dari kemanusiaannya, akhlakul karimah, serta etika sosial dalam masyarakat. Esensi agama adalah kemanusiaan, serta bagaimana mengaplikasikan nilai utama Gus Dur yang telah ditanamkan.