Gus Dur

Tak terbilang berapa biji buku yang membahas tentang mantan Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sarjana domestik dan luar negeri entah berapa jumlahnya yang pernah menulis tentang Gus Dur. Mulai dari biografinya, pemikiran-pemikirannya tentang agama, kebudayaan dan demokrasi, gerakan sosial-politiknya di NU, sepak terjangnya dalam gerakan demokratisasi, hingga lelucon-leluconnya yang mengoyak isi perut kita. 

Gus Dur memproduski teks, lalu dirinya menjadi teks besar yang senantiasa relevan dengan keadaan. Sekretariat Nasional GUSDURian mencatat, tulisan-tulisan Gus Dur lebih dari 1.170 buah. Ini yang terdeteksi, belum terhitung yang tak terdeteksi.

Dengan begitu, Gus Dur memang semakin lengkap sebagai sosok penting bangsa ini. Ia tidak saja sebagai tokoh pergerakan agama, pergerakan intelektual, pergerakan demokrasi dan kebudayaan. Ia lengkap sebagai sumber ilmu pengetahuan yang kedalamannya tak terjangkau otak-otak zaman kini.

Teks-teks tentang Gus Dur, dan ribuan teks yang pernah ia tulis mengkonfirmasi semua itu. Uniknya, di mana pun Gus Dur hadir, identitasnya sebagai tokoh pergerakan agama, intelektual, sosok penggerak demokrasi dan kebudayaan senantiasa tampak. Dan ciri khas pemikiran dan tindakannya, kebangsaanlah di atas segala-galanya. 

***

Ketika Gus Dur duduk di posisi wahid PBNU selama tiga periode (1984–1989, 1989–1994, dan 1994–1999) ia melakukan transformasi besar terhadap organisasi keagamaan terbesar itu. Gagasan-gagasannnya tentang pembangunan ummat Indonesia disuntikkannya masuk ke dalam NU. Hasil pengembaraan intelektualnya di Timur tengah dan Eropa ia jadikan vitamin dalam memperkuat daya NU sebagai jamaah dan jamiah

Pompa daya NU sebenarnya ditunaikannya untuk memperkokoh bangsa ini. Dengan demikian, apa yang dijalankan Gus Dur di NU sebenarnya orientasinya untuk agenda kebangsaan. NU adalah sebuah strategi untuk menguatkan bangsa ini. NU adalah sebuah titik untuk titik yang lebih besar bernama Indonesia. Dalam konteks ini, kita dapat mengerti mengapa Gus Dur tampil sebagai Presiden RI keempat. Ia menjadi presiden bukan untuk preseden kekuasaan sebagaimana Orde Baru berkuasa. 

Kita tahu kondisi bangsa ini di era Orde baru cukup memiriskan hati. Dengan demokrasi, Gus Dur membangun siasat untuk “menumpas” hegemoni Orde baru. Ia menggelorakan demokrasi di lapisan masyarakat sipil hingga kelompok-kelompok intelektual. Bahkan di internal NU sendiri, demokrasi ia luncurkan. 

Terma “Islam dan demokrasi” lalu menjadi santapan wacana dan gerakan jamaah NU di tahun 1990-an silam. Halaqah-halaqah Islam dan demokrasi digelorakan di komunitas santri. Sementara pondok-pondok pesantren sebagai basis pokok NU didorong memperkuat ekonomi umat dengan cara-cara setara. Gerakan demokratisasi di lapisan bawah membumi dengan sendirinya. 

Pribumisasi gerakan demokrasi itu lantas makin menyatukan antara ummat/rakyat dengan pesantren. Tak heran ketika itu, komunitas santri negeri ini begitu fasih mendawam demokrasi lalu intim dengan masyarakat. Bahkan epistemologi demokrasi dielaborasi dari beragam kitab kuning. Di sini, kitab kuning dan kitab demokrasi ala Eropa tak dipertengkarkan. Keduanya justru saling memperkuat, sebab nilai-nilai universal demokrasi seperti kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan juga ditemukan dalam khasanah kitab kuning. Maka dunia pun terperangah; negeri dengan penduduk muslim jumbo ini menerima demokrasi sebagai amaliyah berbangsa dan bernegara. 

Dalam amaliyah beragama, Gus Dur mempertemukan agama dan lokalitas bukan dalam irama yang bertempur. Di tangan dan kepalanya, agama resmi versi negara tak boleh mengkolonisasi lokalitas. Ia menempatkan keduanya dalam relasi yang saling melengkapi. Paradigma dan gerakan keagamaan jamaah NU lantas terpola dalam frame “saling melengkapi” itu. Dan sesungguhnya, di titik inilah roh kebangsaan kita berdetak. Di situ, kebangsaan kita temukan sebagai realitas, bukan imajinasi. 

Pemikiran-pemikiran Gus Dur seperti itu terus menerus diingat tatkala kondisi kebangsaan kita riuh ricuh. Di tengah menggelebahnya problem sosial-politik dan keagamaan yang mencabik kebangsaan kita beberapa tahun terakhir, orang-orang memerlukan Gus Dur. Atau di saat kebangsaan kita terancam ambruk lantaran agama dan sosial-politik dipertautkan untuk menduduki kursi kekuasaan—Gus Dur membayangi kita sebagai energi penggerak untuk menyudahi riuh ricuh itu. Apa artinya? Gus Dur adalah penyangga bangsa besar ini. 

Begitulah tokoh besar di bangsa yang besar. Ia mangkat tanpa pangkat, tetapi mewariskan jejak panjang dan menjulang. Ia kadang kala dicemooh, namun diperlukan. Ia sewaktu-waktu dihadirkan dalam pengejaran solusi bermakna atas setiap masalah untuk mashlahah. Dan kita tergugah, lantaran apa yang kita pikirkan telah ia perjuangkan. Kita sering kali lupa akan waktu silam yang hilang di saat Gus Dur berjuang untuk bangsa. 

Ketahuilah, Gus Dur membuat sejarah manusia dan kemanusiaan kita menjadi berarti. Bahkan itu melampaui kebangsaan.

(Artikel ini pertama kali terbit di Harian Tribuntimur, 28 Desember 2022

Ketua Dewas LAPAR Sulsel. Anggota Majlis Demokrasi dan Humaniora.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *