Muslimah Tanpa Jilbab, Apa Masalahnya?

Beberapa waktu belakangan saya mengamati betapa kaum perempuan kini begitu dijajah oleh stigma sebagian besar masyarakat khususnya muslim, yang hanya menganggap kemuslimahan seorang perempuan jika ia mengenakan jilbab.

Rasanya aneh melihat seorang perempuan yang mengaku beragama Islam tetapi tidak berjilbab, itu terbukti ketika saya mendengar kalimat ini dilontarkan oleh salah seorang perempuan kepada perempuan lainnya: “Saya aneh aja sih liat dia, pikirku Kristen, eh tau-taunya Islam. Yah lagian dia tidak berjilbab kan.” Saya pun membatin “Oh memangnya dengan serta-merta perempuan beragama Islam itu salah kalau dia gak jilbaban?”, Seolah keberislaman seorang perempuan mutlak ditandai dari jilbabnya saja.

Satu pengalaman yang membuat saya tertawa sembari mengernyitkan dahi, adalah ketika membaca komentar seorang perempuan di sebuah postingan foto salah satu artis perempuan. Di sana tertulis, “Dia udah baik, rajin membantu orang, tapi sayang belum berjilbab”. Seolah kebaikan yang dilakukan itu menjadi sia-sia hanya karena ia tidak berjilbab. Padahal, Tuhan tidak akan bertanya kepada kita pada saat melakukan kebaikan ini kamu sedang mengenakan baju apa? Kamu berjilbab atau tidak? Pakai atribut/simbol apa?

Tanpa disadari komentar-komentar semacam ini akhirnya membangun sebuah perspektif baru di masyarakat tentang citra seorang perempuan muslim, bahwa kalau Anda ingin dianggap beriman syarat utamanya ya berjilbab. Yang kemudian menghukumi sebaliknya kepada perempuan yang tidak berjilbab dengan anggapan tidak beriman, hanya karena tidak mengenakan jilbab. Adapun dampak yang paling parah dari kultur semacam itu adalah perundungan (bullying). Hal ini terbukti dengan berbagai kasus pemaksaan jilbab yang terjadi di sekolah-sekolah negeri.

Bisa dihitung, berapa banyak siswi baik yang duduk di bangku SMP sampai SMA, yang mengalami trauma berat pasca mendapatkan paksaan dari oknum guru untuk mengenakan jilbab. Belum lagi perundungan yang didapatkan dari teman-temannya. Saya akhirnya jadi bertanya-tanya, “Ada apa dengan nurani manusia? Apakah Tuhan memperkenankan ajaran yang baik ini diperkenalkan dengan cara-cara yang sangat arogan dan penuh dengan kekerasan? Sepertinya tidak demikian.”

Akhir-akhir ini juga saya menyadari, betapa perkumpulan perempuan muslimah kini semakin sempit dan begitu eksklusif. Dan sependek yang saya perhatikan, yang menjadi penyebab utamanya adalah timbulnya pergeseran makna dari kata muslimah itu sendiri, yang hanya dibatasi pada mereka perempuan muslim dengan jilbabnya.

Pun dengan gelaran ukhti (saudara perempuan dalam bahasa Arab), yang hanya bisa disematkan (eksklusif) kepada mereka yang berkerudung lebar, bergamis longgar, dan bercadar besar. Sedang mereka yang mengenakan celana, juga dengan jilbab yang melilit di lehernya, terlebih-lebih perempuan yang tidak menutup rambutnya, konon tidak termasuk dalam kategori “ukhti“.

Padahal, jika kita melihat kembali arti kata dari “ukhti” itu jauh lebih umum mereka juga adalah saudara perempuan kita. Penyematan kata muslimah ataupun ukhti nyatanya tidak mengenal identitas berpakaian seorang perempuan. Selama ia adalah seorang muslim, maka kata muslimah pantas disematkan kepadanya. Begitu pun dengan penyematan kata ukhti, juga boleh digunakan kepada semua saudara perempuan kita apapun identitasnya.

Memori ini memutar kembali, bagaimana pengalaman salah seorang teman yang pernah melihat suatu kejadian. Suatu ketika setelah melaksanakan shalat berjama’ah di sebuah masjid kampus, ada seorang perempuan yang mengenakan celana jeans. Ia kemudian menyodorkan tangan untuk bersalaman kepada salah satu perempuan bercadar. Akan tetapi, perempuan bercadar itu enggan membalas salam dari perempuan yang tidak bercadar dan hanya mengenakan celana jeans tadi. “Yah karena kamu tidak mengenakan cadar sepertiku, maka aku tidak boleh bersalaman denganmu.” Kira-kira kalimat itu yang ada di dalam pikiran perempuan bercadar tersebut.

Entah doktrin seperti apa yang membuat ia berpikir bahwa meskipun sesama perempuan kalau tidak bercadar, maka tidak boleh disalami. Hal ini semakin diperkuat dengan keluh sana-sini yang sontak membuat hati semakin meringis mendengar kenyataan pahit bahwa sesama perempuan saja begitu enggannya saling menyentuh dan menggugurkan dosa, lagi-lagi hanya karena ia tidak berpenampilan sama denganmu. Kenyataan ini semakin terasa horor dari pada film horornya Joko Anwar. Betapa tembok pemisah itu jauh lebih kuat, dan tingginya bisa jadi akan menyaingi Tembok Cina.

Kembali saya mempertanyakan tentang perbedaan model pakaian ini. Betapa sulitnya mewujudkan perasaan setara di tengah-tengah perbedaan yang ada. “Apa masalahnya jika saya bercadar dan kamu tidak? Lalu saya harus merasa jauh lebih baik dari kamu? Apa masalahnya jika seorang perempuan muslim tidak menjadikan jilbab sebagai satu-satunya cara untuk menunjukkan keberimanannya?”.

Beda yang setara memang semakin hari semakin sulit untuk dilakukan. Seolah perbedaan perempuan muslim yang berjilbab dan tidak berjilbab itu benar-benar menjadi barometer untuk mengukur kadar keberimanan maupun ketinggian ilmu dari seseorang terhadap orang lainnya. Perempuan dengan jilbab lebar dianggap jauh lebih beriman dan berilmu dibandingkan dengan perempuan yang mengenakan jilbab yang lebih pendek darinya. Seolah pakaian menjadi penentu ketaatan seseorang, semata-mata pakaianlah yang menjadi pengukur kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan.

Ironis bukan? Entah praktik semacam ini dimulai sejak kapan, oleh siapa, dan untuk apa. Saya pun tidak mengerti. Namun, semakin hari melihat pemandangan perempuan yang semakin banyak berjilbab, malah membuat hati saya menjadi gundah gulana.

Betapa kekuatan simbol begitu penting. Simbol yang tadinya berfungsi sebagai penanda, kini semakin kabur batasannya dengan substansi dari apa yang ditandainya. Karakter keberimanan yang substansial kini dipandang tidak begitu penting, dibanding dengan simbol yang dikenakan. “Pokoknya jilbaban dululah, aku beriman dengan ajaran agamaku atau tidak urusan nanti. Ini aku jadi koruptor biar dibilang udah tobat pakai jilbablah.” Kiranya seperti itu yang ada dipikiran para muslimah koruptor yang tiba-tiba berjilbab setelah tertangkap.

Hal itu tidak keliru. Mengenakan jilbab tentu sesuatu yang baik. Hanya saja, ia menjadi jauh lebih utama dibanding dengan karakter keberimanan seseorang. Perbuatan yang sangat buruk, coba ditutupi dengan simbol yang baik. Hal ini juga dilakukan karena masyarakat kita kerap kali akan cenderung memaafkan perilaku buruk seseorang hanya karena ia sudah berjilbab.

Hal itu disebabkan oleh kalimat yang semakin populer ketika menggambarkan perempuan dengan jilbab: “Orang berjilbab itu udah pasti baik, sedang yang tidak berjilbab belum dijamin kebaikannya.” Padahal orang berjilbab maupun tidak berjilbab sama-sama berpotensi melakukan kebaikan ataupun keburukan. Sebab kecenderungan manusia untuk berbuat buruk tidak serta-merta hilang hanya karena sudah berjilbab. Dan apakah potensi kebaikan yang dimiliki seseorang akan serta-merta hilang, hanya karena tidak berjilbab?

Dari sini, perlu disadari bahwa yang bisa membuat manusia tidak jadi melakukan keburukan adalah kesadaran kemanusiaanya. Pun yang dapat mendorong manusia untuk meningkatkan potensi kebaikannya juga adalah kesadaran kemanusiaan itu. Dan itu semua terletak pada substansi bukan semata pada simbol yang dikenakan.

Neka-neka pilihan muslimah dalam memilih model pakaiannya, dalam mengekspresikan keberimanannya, tentu dengan tidak menjadikan satu model lebih tinggi dari model yang lain, memandang remeh satu sama lain hanya karena berbeda dalam pilihan berpakaian. Di mana, yang bercadar tidak boleh merasa jauh lebih mulia dari yang tidak bercadar. Pun yang tidak bercadar tentu tidak jauh lebih buruk dari mereka yang bercadar.

Perasaan setara adalah obat dari ego merasa paling taat. Pengalaman pergumulan saya di lingkungan perempuan yang tidak bercadar, tidak berjilbab, bahkan berbeda iman, nyatanya banyak melatih diri dalam mengelola ego, merasa semakin mampu mengendalikan bahkan menghilangkan perasaan paling benar, hingga mampu mengambil sikap setara terhadap siapa saja, dengan identitas apa saja.

Perasaan bahwa cadar yang saya kenakan tidak menjadi tembok yang membedakan antara saya dan orang-orang di sekeliling saya. Selalu memandang bahwa Tuhan menciptakan keanekaragaman pakaian yang kita pilih dan kita kenakan, bukan untuk menunjukkan siapa yang paling benar, dan paling beriman di antara kita, tetapi untuk melatih siapa yang paling mampu mengendalikan ego untuk tidak merasa jauh lebih baik dan lebih benar dari yang lainnya, hanya dengan mengukur pada apa yang dikenakan. Sehingga ketika saya melihat perempuan muslimah yang tidak berjilbab, saya udah merasa biasa aja, tanpa harus risah-risih apalagi sampai mengernyitkan dahi.

“Eh memangnya kamu gak risih punya teman yang tidak bercadar apalagi tidak berjilbab seperti kamu?” Lantas kujawab, “Aku memilih berteman dengan seseorang tidak melihat apa yang ia kenakan, tetapi bagaimana kita berdua bisa saling memberi makna (kebermanfaatan). Dalam caption yang saya tulis beberapa waktu lalu berbunyi, “Pakailah apa saja yang membuatmu merasa aman dan nyaman, sehingga dengan itu engkau tunjukkan semangatmu, dengan itu engkau luaskan kebaikanmu, dengan itu engkau baktikan dirimu untuk kemanusiaan”. Lalu, muslimah tanpa jilbab, apa masalahnya?.

Pegiat dialog antar-iman. Co-founder @cadargarislucu.