Fenomena Kos Eksklusif: Matinya Demokrasi di Daerah (Katanya) Istimewa

Bulan Desember tahun lalu, menjadi saksi di mana perempuan Papua masih mengalami diskriminasi di kota dengan sebutan kota pelajar ini.

Perempuan itu sudah berkali-kali mondar-mandir mencari kos-kosan yang mau menerimanya. Namun, ini kali ketiga iya ditolak. “Maaf, mbak. Sudah penuh kosnya”, kata pemilik kos. Kata-kata itu menjadi sering iya dengar, meskipun ia tahu bahwa di kos tersebut ada beberapa kamar yang masih kosong. Setelah sebelumnya pemilik kos menanyakan asli daerah dan agama.

Ia pun berusaha lagi mengetuk pintu demi pintu beberapan kos-kosan yang ada di Kota Yogyakarta ini. Sebagai pendatang, tempat tinggal menjadi suatu yang amat penting untuk menjalani hidup. Ia tak tahu mengapa dia sering ditolak oleh pemilik kos. “Mungkin karena banyak mahasiswa pendatang juga, jadi banyak kos yang sudah penuh,” kata Dani mencoba positive thinking.

Dani adalah seorang mahasiswa Kristiani yang berasal dari Raja Ampat, Papua. Ia sedang menempuh pendidikan sarjana di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Kulitnya coklat, rambutnya ikal, matanya tajam dan jernih, begitu pun juga dengan alisnya yang melengkung tebal.

Karena sudah beberapa kos ia datangi, akhirnya ia meminta bantuan kepada salah satu temannya yang berasal dari Papua juga, Tiwi. Sebelumnya, ia pun sebenarnya telah meminta bantuan kepada temannya untuk mencarikan kos, namun tetap saja ditolak. Akhirnya ia mencoba meminta bantuan Tiwi, seorang mahasiswa pascasarjana jurusan Psikologi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Berbeda dengan Dani, Tiwi adalah seorang muslim, yang juga memakai jilbab. Ayahnya adalah seorang transmigran yang menikah dengan putri asal Papua. Jadi secara wajah pun ia berbeda dari orang Papua pada umumnya.

Tiwi membantu Dani mencarikan kos-kosan di sekitar kampusnya. Maklum, sebagai mahasiswa baru, Dani belum memiliki kendaraan untuk mobilitas. Mereka pun menuju kos dengan ukiran Bali di gerbang depannya itu. Panas menyengat tak menggugurkan niat mereka untuk mencari kos-kosan.

Pintu pun dibuka, ibu kos menanyakan keperluan mereka. Tiwi menjawab dengan lugas. Untuk mencari kamar kos yang kosong katanya. Kemudian pemilik kos memperlihatkan beberapa kamar kos yang kosong dan memberitahu harga kamar tersebut.

“Mbak bisa kos di sini mulai besok”, kata pemilik kos.

“Maaf bu, bukan saya yang ngekos. Ini teman saya yang sedang mencari kamar kos”, kata Tiwi sembari memperkenalkan Dani yang sedari tadi berada di sampingnya.

Mereka dan pemilik kos lantas keluar pintu gerbang kos. Setelah berpamitan, mereka pun pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Dani senang bukan main. Akhirnya ia akan menempati kos-kosan.

Keesokan harinya, di akhir bulan Desember, beberapa hari menjelang hari Natal, pemilik kosan mengirim chat WhatsApp kepada Dani bahwa semua kamar telah penuh. Dani pun mempertanyakan. Namun pemilik kos menjawab, “Maaf kami hanya menerima kos Muslimah”.

“Beberapa temenku suka ditolak pas tahu perawakannya Papua. Gak tahu kenapa. Padahal awalnya pemilik kos bilang masih ada kamar kosong. Eh, pas ke kosan, mereka nolak gitu aja. Katanya sih kosan khusus Muslimah”, lanjut Dani, mahasiswi asal Raja Ampat, Papua.

Mungkin pertanyaan seputar agama atau dari mana asal seseorang terlihat sepele. Namun, itu akan menentukan bisa atau tidaknya kita untuk tinggal di kosan atau asrama tertentu. Mengapa begitu? Menjamurnya kosan syariah atau kosan muslimah membuat orang tidak bisa leluasa untuk tinggal di suatu tempat. Dampaknya adalah mahasiswa yang berasal dari ras, suku, budaya, dan agama minoritas menjadi terstigma oleh orang atau kelompok tertentu, tanpa mau untuk saling berdialog. Bagaimana mau berdialog jika bersama dalam tempat tinggal saja tidak diperbolehkan?

Pantas saja jika perkembangan intoleransi di Yogyakarta meningkat dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan dari Tempo, pada tahun 2014-2019 peningkatan kasus intoleransi di Yogyakarta meningkat drastis. Hasil peneliatan LSM Setara memperlihatkan bawah Yogyakarta masuk dalam 10 besar provinsi dengan jumlah kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi di Indonesia.

Hal ini tentu menjadi suatu kekhawatiran tersendiri di balik iklim demokrasi yang terus digembar-gemborkan oleh seluruh penjuru kampus. Tapi ternyata iklim intoleransi masih merebak di masyarakat, bahkan semakin menguat tiap tahunnya. Jadi apakah demokrasi dan intoleransi tidak bisa sejalan?

“Itu haknya pemilik kos dong!” kata seorang netizen.

“Diskriminasi terhadap apa pun tidak dibenarkan, apalagi kita di negeri demokrasi”, kata lainnya.

Dani adalah satu dari beribu atau bahkan jutaan pendatang yang mendapatkan diskriminasi. Itu baru masalah tempat tinggal. Namun, yang perlu dipahami lebih jauh lagi adalah adanya mayoritas dan minoritas di Yogyakarta. Mayoritas tentu saja bisa membungkam minoritas. Bahkan ini sering terjadi secara tidak langsung. Mayoritas seolah-olah bertindak sewenang-wenang, sehingga seolah-olah minoritas menerima atas tindakan tersebut. Tentu saja mayoritas di sini bisa beragam: mayoritas agama, suku, atau ras.

Seperti dalam kasus intoleransi di Yogyakarta, para pendatang yang minoritas cenderung menerima perlakuan mayoritas karena relasi kuasa yang timpang. Dampaknya adalah kelompok minoritas tidak memiliki banyak pendapat dan cenderung pada akhirnya menerima (dengan terpaksa). Bahkan ketika kelompok minoritas mencoba bersuara, negara malah tidak memberikan perlindungan tetapi malah menisbikannya. Jadi demokrasi itu untuk dan bagi siapa? Apakah hanya untuk mayoritas di Indonesia?

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan dari presiden Indonesia yang sering disebut bapak toleransi, Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur. Beliau berkata, demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar-benar hidup di kalangan rakyat. Semoga kita bisa lebih merefleksikan kembali hakikat demokrasi agar tercipta Indonesia yang adil bagi seluruh rakyat, tanpa melihat segregasi dari unsur apa pun.

Dosen. Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.