Merawat Keberagaman, Menjahit Ulang Kain Perca

Mamut rasa kamanungsan / murang tata tamah lan durjana //

Makin sering didengarkan, dua baris lirik di bait pertama lagu Kidung Reksa Bumi itu mulai menyentil kesadaran. Emosi saya seperti sedang diobrak-abrik lewat instrumen yang creepy dan suara Sindy Purbawati yang melengking tajam. Secara harfiah, arti dari dua baris lirik itu hanya, hilang rasa kemanusiaan – tidak sopan, serakah, dan jahat. Namun ada daya magis yang saya rasakan. Membuat saya bertanya berulang-ulang pada diri sendiri, sudah sejauh mana manusia kehilangan rasa kemanusiaannya?

Bagaimana rasanya lahir di tengah masyarakat yang homogen? Ya biasa-biasa saja buat saya. Kami menjalani ritus keagamaan sebagaimana umumnya masyarakat NU melakoninya: tahlilan, yasinan bergilir, slametan dari rumah ke rumah dengan berbagai hajat. Hampir tidak ada konflik. Kecuali sesekali ribut karena bebek tetangga lepas dan menghabiskan sekebun melon, atau saling labrak karena anak tetangga berkelahi dan kalah lalu mengadu pada orangtuanya.  Bisa dibilang, tempat saya bertumbuh adalah lingkungan yang jauh dari konflik.

Saya ingat jelas sampai umur 15 tahun saya tidak pernah bertemu dengan yang berbeda, baik secara tradisi, suku, maupun keyakinan dan agama. Hal itu secara tidak langsung memberikan kenyamanan semu bagi saya dan anak-anak seumuran saya saat itu. Ketika bermain, kami sering menjadikan salam dan tempat ibadah saudara non-muslim, yang notabene belum pernah kami temui, sebagai bahan olok-olok atau cemoohan.

Sampai tiba saat saya dipertemukan dengan teman-teman yang berbeda suku dan agama di salah satu ajang perlombaan tingkat sekolah. Ia Tionghoa dan seorang Kristen. Saat itu kami satu bus dan ia menyapa lebih dulu. Perkenalan singkat itu membekas baik di ingatan saya. Ketika saya ceritakan pengalaman itu ke orangtua, tanggapan Abah singkat, “Ati-ati karo wong cino kafir, neroko (Hati-hati dengan orang cina kafir, neraka)”. Mendengar nada suara Abah yang naik dan keras, saya seperti sedang dihakimi karena mencuri uang segepok dan ketahuan.

Pernah takut masuk neraka karena mengucapkan selamat Natal? Saya pernah. Lingkungan homogen dan sarat dengan paseduluran itu ternyata menyimpan cara pandang yang eksklusif. Sebelum saya mengenal istilah eksklusif-konservatif, saya percaya bahwa sebagai kiai kampung, Abah punya otoritas penuh dalam mengambil setiap keputusan bersama di masyarakat. Bahkan sampai persoalan paling privat di dalam rumah tetangga. Belakangan saya paham bahwa sikap dan keputusan-keputusan yang disampaikan Abah menandai satu term yang ngeri-ngeri sedap di ingatan saya: konservatif.

Satu kejadian yang menohok terjadi 2014 silam. Ada tiga tetangga yang main ke rumah, pernah menyumpah-serapah di depan televisi ketika melihat berita non-muslim maju sebagai pemimpin daerah, “Kafir kok dianut, nalare dajjal.” Lalu abah menimpali dengan serapah yang tidak kalah sarkas. Mendengar itu, nyali saya makin ciut. Tempat saya tumbuh nyatanya tidak sedang baik-baik saja. Celakanya, hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain. Di Tulungagung, di kota saya yang terkenal ayem tentrem mulyo lan tinoto, ternyata menyimpan praktik-praktik intoleransi yang mengakar kuat sejak dalam pikiran masyarakat. Saya jadi ikut berpikir dan merenung panjang.

Homogen itu tidak buruk, tapi ketika masyarakatnya merasa eksklusif dan paling benar, ini persoalan serius. Apa jadinya jika suatu hari saya menemukan jodoh dengan latar belakang suku atau agama yang berbeda? Saya jadi pikir-pikir lagi ketika ingin mengajak teman-teman yang berbeda agama itu masuk dan makan bersama di rumah.

Tetapi pengalaman demi pengalaman ketika kuliah yang mengharuskan saya makin sering bertemu dengan saudara-saudara lintas iman telah memberi saya keberanian yang utuh. Lambat laun, saya pun menyadari bahwa diam saya tidak mengubah apa pun. Akhirnya keputusan untuk melakukan counter narasi dengan membagikan cerita dan pengalaman demi pengalaman keberagaman itu muncul. Ada upaya yang harus terus dipupuk sedikit demi sedikit untuk membangun kesadaran baru, bagi Abah dan Ibu, saudara-saudara, tetangga, dan masyarakat yang lebih luas.

Menjahit Ulang Kain Perca

Proses bersua dengan teman-teman lintas iman pada awalnya saya lakukan diam-diam. Saya tidak pernah membagi momen pertemuan, seseru apa pun itu kepada orangtua. Pertama, menghargai cara pandang mereka. Kedua, menjaga ruang yang saya miliki, agar tetap bisa bertemu-sapa dengan siapa saja. Seperti momen kebersamaan dengan penghayat kepercayaan dalam dialog lintas iman yang saya ikuti semasa menjadi penggerak di GUSDURian Bonorowo Tulungagung, maupun agenda sowan kepada pendeta, atau ke tempat-tempat ibadah lintas agama.

Namun pada satu momen, upaya itu pun saya mulai tanpa sengaja. Ketika selesai menyelenggarakan donasi bersama dengan GUSDURian Peduli di Tulungagung, saya ceritakan detail agenda itu ke orangtua. Kedengarannya sepele, tetapi ternyata sulit meyakinkan seseorang, bahwa tidak akan pernah ada luka dalam membangun toleransi keberagaman.

Toh dalam kerja-kerja kemanusiaan, semua orang sama. Tidak ada bedanya Islam, Kristen, Hindu, penghayat kepercayaan, atau lainnya. Sebab kemanusiaan itu bukan perkara pahala-dosa atau surga-neraka. Justru karena terlalu fokus pada surga-neraka, kadang orang jadi tidak menghargai sesamanya, serakah, dan hilang kemanusiaannya (seperti penggalan lirik lagu di atas).

Bagi saya, Tulungagung seperti satu karung yang penuh kain perca. Kita tidak bisa memisahkan aneka warna yang melekat pada warganya. Perbedaan demi perbedaan itu niscaya. Kita hanya perlu merawat keberagaman, terus menjahit kain-kain itu agar jadi satu, bhineka tunggal ika. Kalau jahitannya robek? Ya kita jahit lagi. Hanya dengan begitu, kita bisa merasa Tulungagung adalah rumah, tempat pulang yang tepat. []

Penggerak GUSDURian Bonorowo Tulungagung, Jawa Tengah.