Jaringan GUSDURian menggelar kuliah umum Gus Dur Memorial Lecture dengan mengangkat tema “Cita-cita Keindonesiaan Gus Dur” di Lantai 4 Aula Rektorat Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Turut hadir pada kegiatan tersebut para tokoh agama, ketua-ketua ormas keagamaan, para mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Gorontalo, dan civitas akademika UNG.
Kuliah umum tersebut diawali dengan sambutan oleh perwakilan dari Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian, Mukhibullah Ahmad. Dalam sambutannya, Mukhib panggilan akrabnya, mengucapkan terima kasih kepada pihak civitas Kampus Universitas Negeri Gorontalo dan seluruh hadirin yang telah membantu terselenggaranya kegiatan tersebut.
Gus Dur Memorial Lecture bertujuan untuk menyebarluaskan dan memperkenalkan pemikiran Gus Dur untuk masa depan Indonesia, serta menginternalisasikan pemikiran Gus Dur kepada anak-anak muda di Indonesia.
“Gus Dur Memorial Lecture merupakan acara yang diselenggarakan dalam rangka Haul Gus Dur yang jatuh pada bulan Desember,” ucap Mukhib. Pada Januari 2023 ini, kegiatan tersebut telah diselenggarakan di beberapa kampus di Indonesia, sambutnya.
Setelah sambutan dari Seknas GUSDURian, Wakil Rektor II, Dr. Yuniarti Koniyo yang mewakili Rektor Universitas Negeri Gorontalo, menyampaikan sambutannya. Dalam sambutannya, Yuniarti menyampaikan bahwa KH. Abdurrahman Wahid atau sering dikenal dengan Gus Dur adalah tokoh yang sangat fenomenal, baik dari segi kepribadian maupun dari pemikirannya.
Menurut Yuniarti, beberapa aspek yang fenomenal tersebut di antaranya adalah Gus Dur dan demokratisasi yang telah diperjuangkannya, karya-karya tulisannya, atau seperti mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) di zaman Orde Baru.
“Begitu pula pada nilai kebudayaan, selanjutnya pluralismenya. Dalam hidupnya, Gus Dur banyak concern membela kelompok minoritas, termasuk membolehkan kebebasan untuk merayakan Imlek yang pada era Orde Baru sempat dilarang,” ucap Yuniarti.
Yuniarti mengatakan, masih banyak pemikiran Gus Dur yang patut didalami guna meneladani dan menjaga serta menggugah kesadaran keindonesiaan para pemuda ke depan.
“Semoga kegiatan ini bisa menjadi salah satu medium untuk menyemai nilai-nilai dan cita-cita Gus Dur di masa depan,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Rumadi Ahmad menjadi narasumber pada acara tersebut. Ia menguraikan sosok Gus Dur yang dikenang dari dulu hingga kini.
“Mengkaji pemikiran Gus Dur adalah upaya menafsirkan Gus Dur. Kalau kita menafsirkan Gus Dur berdasarkan teks tulisan-tulisannya, maka apakah teks yang dituliskan beliau tersebut merupakan fenomena yang umum atau terbatas dengan konteksnya? Dengan demikian, pemikiran Gus Dur bisa kita pilah untuk memilih yang mana pemikiran yang secara substansi bisa kita elaborasikan untuk memperjuangkan dan menyemaikan pemikiran Gus Dur,” terang Senior Advisor Jaringan GUSDURian itu.
Seorang tokoh, sebutnya, bisa dikenal bila ada rekam jejaknya. Sosok Gus Dur sendiri memiliki banyak jejak yang terekam di dalam beragam tulisan, baik melalui tulisan-tulisan yang ditulis sendiri oleh Gus Dur maupun oleh orang yang menuliskan tentang sepak terjang sosok dan pemikirannya.
“Beragam buku tersebut bisa menjadi media anak muda untuk mempelajari dan mendalami pemikiran Gus Dur,” ujarnya.
Rumadi melanjutkan, menelusuri pemikiran Gus Dur melalui aktivitasnya, maka dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok pemikiran Gus Dur terdiri dari dua hal yakni: Menghormati hak setiap orang dengan keyakinan agamanya masing-masing dan menolak segala bentuk diskriminasi.
Kedua hal itu bisa terlihat di dalam beragam pemikiran Gus Dur, semisal: Gus Dur pernah menolak formalisasi Islam dalam negara dan lebih menekankan pendekatan sosial budaya, menekankan agenda bangsa ketimbang ego keagamaan, keselarasan Islam dan kebangsaan, pribumisasi Islam, memosisikan agama sebagai komplemen dan bukan sebagai suplemen pembangunan.
“Pribumisasi Islam itu bukan Jawanisasi, melainkan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya, akan tetapi norma tersebut untuk menampung kebutuhan budaya dengan memanfaatkan variasi nash,” jelas Rumadi.