GUSDURian Banjarmasin mengadakan diskusi “Gus Dur dan Tionghoa” sekaligus syukuran dan doa lintas iman atas sekretariat baru di Jl. Kinibalu, Banjarmasin Tengah, Rabu (18/1). Kegiatan diadakan dalam rangka memeringati Haul Gus Dur ke-13 yang diperingati setiap Desember-Januari, atau yang disebut juga bulan Gus Dur.
Sugiharto Hendrata dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Banjarmasin turut hadir dalam acara tersebut untuk memantik diskusi. Ia memaparkan tentang relasi Gus Dur dengan Tionghoa, khususnya tentang keadaan dan pengalaman orang-orang Tionghoa di Banjarmasin sebelum, saat, dan setelah Reformasi.
“Bagi saya, Gus Dur bukan sekadar interest pada minoritas, tapi juga kepada minoritas yang didiskriminasi. Dia melihat jauh ke depan. Dia melihat ada pengekangan identitas kebudayaan, sementara Tionghoa bukan ujug-ujug baru ada di tanah Nusantara,” jelas Romo Sugi, panggilan akrabnya.
Menurutnya, permasalahan dimulai ketika masa penjajahan Belanda. Terdapat strata yang dibentuk oleh politik saat itu. Para penjajah membentuk kelas-kelas yang hierarkis. Kelas satu diisi oleh warga Eropa dan orang-orang Jepang. Kelas menengah berasal dari kalangan Timur seperti Arab, Tionghoa, dan sebagainya. Sedangkan masyarakat pribumi ditempatkan pada kelas ketiga. Posisi kelas menengah (middleman) dipermainkan penjajah Belanda sebagai bumper, sehingga jika terjadi sesuatu maka yang paling cepat menjadi target kemarahan adalah middleman alias warga Tionghoa dan masyarakat Arab. Namun orang Arab memiliki privilese karena kedekatan mereka dalam segi religi/keagamaan.
Setelah kemerdekaan, meskipun ada Pancasila, namun komunitas Tionghoa masih terombang-ambing karena kondisi politik saat itu. Kondisi politik Tiongkok saat itu memerlukan bantuan dana dari orang-orang Tionghoa perantauan yang notabenenya paling besar jumlahnya ada di Indonesia. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang sudah turunan dari beberapa generasi digugah kembali untuk mencintai tanah leluhurnya. Kekuasaan komunis menanamkan pengaruhnya melalui sekolah-sekolah. Sehingga terjadi satu problem, terutama masalah kewarganegaraan.
Ketika Orde Lama berakhir dengan naiknya Pak Harto, muncul inpres nomor 14 tahun 67 yang isinya melarang segala jenis kebudayaan dan keagamaan orang Tionghoa. Ketika itu umat Katolik bertambah jumlahnya secara signifikan. Ketika identitas Konghucu dilarang, mau tidak mau, pada saat itu agama yang ditetapkan hanya lima, sehingga mereka yang menganut Konghucu memilih untuk berpindah agama ke agama yang diakui negara.
Penghilangan identitas Tionghoa juga termasuk anjuran penggantian nama bagi orang Tionghoa. Memang hanya “dianjurkan”, bukan dipaksakan, namun tidak ada yang berani melawan negara. Ketika dianjurkan untuk mengganti nama, hampir semua orang Tionghoa mengganti namanya kecuali yang memiliki keberanian atau back up.
Orang Tionghoa difokuskan pada aspek ekonomi. Berbeda saat Orde Lama yang masih bisa ditemui orang Tionghoa yang menjadi penulis, wartawan, dan pekerja profesional lainnya. Dulu bisa dilihat orang Tionghoa di Banjarmasin banyak berkuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), sulit masuk ke universitas negeri karena kuota orang Tionghoa dibatasi sekitar sepuluh orang dalam satu angkatan, administrasinya sulit, dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) orang tua selalu dicari.
Ketika masuk ke era Reformasi, dengan naiknya Gus Dur sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina. Tahun berikutnya, 2001, Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, sebelum 2003 diresmikan sebagai hari libur nasional oleh Megawati.
“Jasa Gus Dur bagi orang Tionghoa memang luar biasa. Sehingga pada tahun 2004 di Semarang beliau diangkat sebagai Bapak Tionghoa Nasional. Termasuk di Klenteng di Semarang, di altarnya tertulis papan arwahnya Gus Dur sebagai penghormatan. Mungkin Gus Dur tidak bisa mengenal begitu banyak orang Tionghoa, tapi orang Tionghoa hampir seluruhnya mengenal Gus Dur,” papar Romo Sugi.
Diskusi ditutup dengan syukuran dan doa lintas iman yang diwakili oleh Frater Urbanus Sila MSF dari Katolik dan Nur Ana Mila dari Islam.
“Melalui kegiatan ini kami bersyukur akhirnya bisa mendapatkan wadah yang bisa menjadi tempat bersama, menjadi ruang bagi siapa pun untuk hadir, saling berdialog untuk memperjuangkan apa yang pernah Gus Dur perjuangkan dan Gus Dur teladankan,” tutup Arief Budiman, Koordinator GUSDURian Banjarmasin.