Gus Dur: Sosok yang Adil Sejak dalam Pikiran

Sebagai seorang anak yang lahir di keluarga Nahdliyin, saya sering mendengar tentang Gus Dur, baik itu sebagai Presiden RI maupun sebagai ulama. Walaupun keluarga saya bukanlah sebuah keluarga yang kental dengan budaya Nahdliyyin, kami masih mengidentifikasi diri sebagai Nahdliyyin. Karena itulah kami mengenal beberapa nilai dan ajaran Gus Dur seperti toleransi beragama dalam masyarakat. Namun, saat saya masih kecil hanya sebatas itulah “perkenalan” saya dengan Gus Dur.

Saat menginjak ke jenjang sekolah menengah pertama dan menginjak usia remaja, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 di Brebes, yang kebetulan salah satu pendirinya masih satu almamater dengan Gus Dur sewaktu dulu di Pesantren Tambakberas Jombang, yaitu almarhum KH. Masruri Abdul Mughni. Di pesantren inilah saya mulai “berkenalan” dengan Gus Dur.

Sewaktu mengunjungi perpustakaan pondok pesantren, saya melihat sebuah buku yang menarik. Ya, buku itu adalah biografi Gus Dur karya Greg Barton. Dari buku itu saya merasa memiliki ikatan yang tak terlihat dengan Gus Dur. Entah ikatan batin macam apa, mungkin semacam ikatan antara seorang guru dan murid. Walaupun saya sendiri tak pernah bertemu secara langsung, tapi dari situ saya memiliki semangat untuk belajar dan membaca banyak buku.

Ada kejadian unik yang saya alami sewaktu di pondok, dan kejadian ini terjadi dua kali. Pertama, saat saya pergi ke sebuah warung. Penjaga warung itu bilang kepada saya bahwa dari jauh wajah saya mirip dengan Gus Dur. Kedua saat salah satu teman saya disambangi oleh orang tuanya dari Jakarta, bapak kawan saya itu mengatakan bahwa wajah saya mirip Gus Dur. Secara fisik, saya memang orangnya gemuk dan berkacamata. Saya sendiri tidak pernah merasa mirip Gus Dur, baik secara wajah apalagi secara keilmuan, tetapi ini menjadi semacam cambuk bagi diri sendiri untuk terus giat dalam mengaji dan sekolah.

Seiring dengan meluasnya bahan bacaan yang saya lahap, saya membaca sebuah frase dalam novel Bumi Manusia yang terkenal, karya Pramoedya Ananta Toer -sastrawan besar kita. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” tulis Pram. Ketika membaca ini, pikiran saya sejenak melayang kepada Gus Dur. Bagaimana tidak? Gus Dur merupakan seorang terpelajar yang “berbuat adil sejak dalam pikiran”. Setidaknya itu yang saya ketahui dari Gus Dur melalui biografinya yang saya baca.

Bagi saya, Gus Dur adalah sosok dari kalangan pesantren yang telah melampaui orang di sekitarnya. Bacaan dan wawasannya luas, ia juga pernah membaca karya-karya tokoh komunis dan pada masa dewasanya memiliki hubungan dengan beberapa tokoh dari Israel. Hal-hal ini menunjukkan bahwa sosok Gus Dur itu mau belajar dari mana saja dan dari siapa saja, tak terlepas dari ideologi atau latar belakang apa pun. Mungkin inilah yang perlu diperhatikan oleh kalangan santri saat ini, yaitu untuk berbuat adil sejak dalam pikiran, tidak memvonis suatu pemikiran sebagai sesat, haram, dan seterusnya. Hingga mereka menolak untuk mempelajari atau mengenal pemikiran-pemikiran tersebut sehingga memunculkan kebencian buta yang menjerumuskan pada kebodohan.

Kebencian buta terhadap suatu hal ini telah banyak terjadi di masyarakat kita. Orang-orang lebih merasa nyaman untuk membenci sesuatu tanpa ingin mengenal apa sebenarnya yang ia benci tersebut. Contohnya, saat beberapa kalangan umat Islam yang benci dan anti terhadap teori evolusi, tetapi ketika ditanya apa saja pokok-inti dari teori evolusi atau bagaimana teori evolusi bekerja, mereka menjawab tidak tahu. Hal-hal seperti ini menjerumuskan manusia kepada kebodohan dan kemalasan. Maka tidaklah heran jika kemampuan IQ rata-rata bangsa Indonesia berada pada urutan yang cukup rendah di Asia dan di dunia. Bersikap adil sejak dalam pikiran ini memanglah berat. Kita harus mengetahui dan mempelajari betul sebuah hal untuk menilai ini benar atau salah. Berpikir adil membuat kita mampu melihat satu hal secara objektif dan seimbang.

Pola pikir seperti ini dapat menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat Indonesia yang beragam dan multikultural. Klaim sepihak yang disertai dengan kebencian buta sudah menjadi formula yang ampuh untuk memunculkan gerakan-gerakan ekstrimis di seluruh dunia. Hitler dan Partai Nazinya kurang-lebih sama seperti ini. Klaim sepihak mereka atas superioritas ras Arya Jerman dikolaborasikan dengan kebencian buta atas kaum Yahudi telah membawa dunia kepada jurang peperangan yang dahsyat dan menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah.

Pada Natal tahun 2022 kemarin, viral sebuah video yang menunjukkan sekelompok masyarakat yang melarang ibadah Natal di sebuah rumah di daerah Cilebut, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal ini amat disayangkan oleh banyak pihak bahwa masih ada kalangan masyarakat Indonesia yang merasa risih dengan ibadah agama minoritas. Peristiwa macam ini muncul dari rasa takut yang diakibatkan ketidakadilan dalam berpikir. Umat Islam dapat menjalankan ibadah secara leluasa di rumah, tapi mengapa umat Kristen tidak bisa dapat menjalankan ibadah secara leluasa di rumah mereka sendiri? Peristiwa ini mencederai kebebasan beragama yang dilindungi oleh Konstitusi Republik Indonesia dan menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang belum bisa mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi saya, sangatlah penting memiliki sikap “…sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Terlebih di tengah masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultural. Tujuannya agar dapat mencegah disintegrasi bangsa, sebagaimana Gus Dur yang selalu merangkul kelompok-kelompok yang “berbeda” dan minoritas. Gus Dur merupakan teladan yang baik dari sikap berbuat adil sejak dalam pikiran. Rekam jejaknya tercatat dengan baik dalam sejarah. Semisal saat Gus Dur memberikan amnesti politik kepada para tahanan politik Orde Baru, pembelaannya kepada kaum minoritas Tionghoa, upaya-upaya untuk membuka dialog antaragama di Indonesia, dan pembelaan terhadap hak-hak suku dan masyarakat adat yang terpinggirkan.

Hari ini rasanya sulit menemukan sosok yang seperti Gus Dur. Bahkan di kalangan santri sendiri juga masih berat untuk menemukan sosok yang memiliki dedikasi begitu tinggi dan konsisten kepada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Walaupun begitu, teladan-teladan Gus Dur akan tetap hidup dan akan dihidupkan nilai-nilainya oleh orang-orang yang “berbuat adil sejak dalam pikiran” dan mencoba untuk berbuat adil dalam perbuatan.

Begitulah Gus Dur, mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi keadilan: keadilan berpikir dan keadilan bertindak demi masa depan Indonesia yang adil dan setara. Walaupun hari ini Gus Dur telah tiada, haul-nya yang diselenggarakan setiap tahunnya tidak hanya untuk mendoakan, tetapi juga untuk menghidupkan dan menyebarkan nilai-nilai kehidupan Gus Dur.

Gus Dur lived, Gus Dur lives, Gus Dur will live forever!

Santri Ponpes Al Hikmah Benda. Sedang menempuh jenjang S1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Sekarang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.