Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah Presiden Republik Indonesia ke-4 yang memerintah dari Oktober 1999 hingga Juli 2001. Meski jabatannya hanya berlangsung 18 bulan, perkembangan ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Gus Dur cukup signifikan. Sejumlah kebijakan Gus Dur dalam bidang politik adalah membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial karena tidak bekerja dengan baik dan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur juga menerapkan otonomi daerah dalam bidang ekonomi dan melawan tekanan IMF yang tumbuh subur. Saat itu, untuk pertama kali sejak Reformasi ketimpangan turun.
Sejumlah konflik sosial yang menjadi masalah di Indonesia selalu berhasil ditangani Gus Dur. Di Aceh dan Papua misalnya, pendekatan Gus Dur berhasil menahan gelombang separatisme tanpa kekerasan militer. Gus Durlah presiden yang berperan membubarkan praktik dwifungsi ABRI. Beliau juga sosok yang memisahkan ABRI menjadi TNI dan Polri yang kita kenal hari ini.
Aspek sosial juga menjadi perhatian kiai NU ini. Gus Dur sempat memperjuangkan nasib para tahanan politik dan mereka yang selama ini didiskriminasi terkait ideologi PKI. Di sini lain, Gus Dur merupakan pahlawan bagi para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Bahkan setelah tidak menjadi presiden, Gus Dur pernah menampung 81 TKI yang dideportasi dari Malaysia di rumahnya Cianjur pada tahun 2005.
Arah peningkatan ekonomi di era Gus Dur sangat baik. Tidak cuma PNS yang merasakan kenaikan gaji hingga 3 kali lipat, rakyat Indonesia juga merasakan pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Saat ditinggalkan Presiden Habibie, ekonomi Indonesia tumbuh hingga 4,9 persen di tahun 2000.
Saat itu, indeks ketimpangan atau rasio gini sangat tinggi. Gus Dur yang tak menginginkan kesenjangan berubah menjadi konflik sosial telah berhasil menurunkan rasio gini hingga 0,31 atau menjadi yang paling rendah dalam 50 tahun terakhir. Pak Harto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini rasio hingga 0,32, sedangkan Gus Dur hanya perlu kurang dari 2 tahun untuk menurunkan koefisien gini rasio dari 0,37 pada tahun 1999 ke 0,31 pada tahun 2000.
Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai Bapak Pluralisme. Di mata Gus Dur, pluralisme adalah sebuah pandangan yang menghargai dan mengakui adanya keragaman identitas seperti suku, agama, budaya, dan ras. Pluralisme bukanlah ide yang ingin menyamakan semua agama sebagaimana yang selama ini sering dituduhkan karena setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing-masing. Gus Dur mengutarakan bahwa tidak seharusnya pluralisme atau keberagaman dalam agama menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.
Gus Dur sering menganalogikan konsep pluralisme yang ia miliki. Ia mengumpamakan pluralisme ibarat sebuah rumah besar yang terdiri atas banyak kamar dan setiap orang memiliki kamarnya sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar, setiap orang dapat merawat dan menggunakan kamarnya serta berhak melakukan apa pun di dalam kamarnya. Namun, ketika berada di ruang tamu atau ruang keluarga maka setiap penghuni kamar wajib melebur untuk menjaga kepentingan rumah bersama. Semua penghuni kamar wajib bekerja sama merawat, menjaga, dan melindungi keseluruhan rumah bersama. Ketika terjadi serangan dari luar maka mereka tanpa mempermasalahkan kamar harus bersatu melawan para penyerang yang ingin merusak keadaan rumah bersama. Bila dihubungkan dalam konteks bernegara, maka seluruh warga negara yang menjadi penghuni rumah NKRI wajib merawat, menjaga, dan melindungi rumah besar NKRI yang telah dibangun di atas pondasi dan keragaman identitas primordial.
Bagi Gus Dur, pluralisme adalah sebuah sunnatullah. Sebuah keniscayaan. Pluralisme adalah sebuah tempat saling mengenal dan saling belajar satu sama lain agar dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Untuk memperkuat gagasan pluralismenya, Gus Dur mengutip salah satu ayat dari Al Qur’an sebagai landasan teologisnya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al Hujurat: 13)
Gus Dur tak sekedar memaknai ayat tersebut secara tekstual, namun ia melangkah lebih maju dengan mengolaborasikan makna ayat tersebut. Menurutnya redaksi ayat tersebut tidak hanya ditinjau pada kaum muslim, melainkan juga ditinjau secara tegas kepada seluruh umat manusia agar mereka dapat menjunjung tinggi kesetaraan dan mengedepankan dimensi kemanusiaan dalam segala urusan.
Selain mengutip ajaran Al-Qur’an, dalam menyebarkan gagasan pluralisme Gus Dur juga menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis terhadap gagasannya tersebut. Menurutnya, Pancasila tak seharusnya dipertentangkan dengan Islam, karena isi Pancasila sangat sejalan dengan nilai-nilai luhur. Pancasila adalah bentuk pembumian ajaran Islam dalam konteks keindonesiaan. Pancasila di mata Gus Dur adalah sebuah ikhtiar politik yang sangat visioner oleh para pendiri bangsa karena orientasinya sangat jauh ke depan.
Pancasila adalah suatu jalan tengah antara sekularisme dan formalisme agama. Selain melandaskan gagasan pluralismenya pada Al-Qur’an dan Pancasila, Gus Dur juga menggunakan konstitusi sebagai landasan legal formal terhadap gagasan tersebut. Menurutnya, sudah saatnya hukum menjadi panglima dalam setiap pengambilan keputusan karena Indonesia adalah negara hukum.
Hukum seharusnya berfungsi sebagai pelindung bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, Gus Dur kerap mengkritik berbagai pihak yang sering melegakan aksi kekerasan atas sekularisme yang dipahami sebagai paham individu yang sangat mencintai keyakinan dan tradisi agamanya. Di sisi lain juga, ia konsisten menolak bentuk formalisme agama berdasarkan kepentingan ideologis dan politik yang sifatnya sempit.
Selain itu, formalisme agama juga rentan terhadap praktik diskriminasi. Diskriminasi bisa menempatkan kelompok nonmuslim sebagai warga kelas dua sehingga bertentangan dengan prinsip yang dijunjung oleh ajaran Islam. Maka dari itu, Gus Dur meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Islam adalah ajaran yang sempurna. Dalam artian, Islam telah menetapkan berbagai prinsip umum secara komprehensif agar dapat menjadi acuan dan panduan bagi manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan.
Gus Dur juga meyakini bahwa Islam adalah sebuah agama atau ajaran yang memuat nilai-nilai luhur dan universal yang selalu cocok dengan berbagai situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan Gus Dur selalu menekankan pada umat Islam agar tidak menjadikan peradaban sebagai bencana, melainkan sebagai sebuah anugerah dan kekuatan yang harus disyukuri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Di sisi lain, beliau dekat dengan berbagai kelompok sehingga banyak kelompok merasa memiliki Gus Dur. Karena itu, perbedaan politik pun bagi Gus Dur tidak bisa melunturkan persaudaraan antara bangsa yang dimiliki. Gus Dur adalah salah satu sosok yang paling lantang melawan rezim Orde Baru yang dianggap tidak adil kepada rakyat kecil. Terlebih rezim waktu itu menggunakan pendekatan militeristik yang sifatnya sangat menindas, jauh dari prinsip pembebasan. Akan tetapi, Gus Dur menjalani hubungan persaudaraan dengan Pak Harto sebagai komandan atau panglima dari rezim Orde Baru.
Selain itu, Gus Dur banyak berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh politik lainnya. Tetapi Gus Dur melihat itu hanya sebagai perbedaan biasa, perbedaan pandangan dan pilihan, serta perbedaan strategi. Namun Gus Dur tidak menafikan persaudaraan di antara mereka. Karena bagi Gus Dur tidak ada masalah untuk mendekat kepada orang-orang yang memusuhi Gus Dur.
Kalau Gus Dur jarang sekali bermusuhan, bagaimana kita sekarang? Kita kelihatannya bisa memusuhi seseorang hanya karena mereka berbeda kelompok dengan kita. Belum lagi urusan pemilihan presiden, pemilihan bupati, pemilihan gubernur. Berbeda calon saja kita sudah saling memusuhi satu sama lain.
Kita melupakan bahwa di antara kita ada nilai persaudaraan yang tidak bisa dipendekkan hanya menjadi persaudaraan lima tahunan. Umur jabatan hanya lima tahun tetapi persaudaraan kita sebagai sesama bangsa ini harusnya sampai akhir zaman nanti. Karena itu persaudaraan itu harusnya tetap kita jaga. Kita tahu di mana kita bisa berbeda, tetapi kita juga harus tahu di mana kita tetap bersaudara.
Hal yang penting dan patut kita teladani dari Gus Dur adalah upayanya menjaga persatuan semua suku, ras, budaya, dan agama. Tanpa persatuan kita tidak bisa mengenal indahnya keberagaman yang ada di Indonesia. Selain itu, penting juga untuk saling menjaga persaudaraan supaya kita tidak mudah dikambing hitamkan oleh kelompok tertentu.