Satu Abad NU: Utang Rasaku
Ada fenomena yang ramai menghiasi timeline Instagramku beberapa waktu lalu. Tentang 1 Abad NU. Kulihat beberapa guru yang kukagumi, teman-teman yang kuakrabi, semua bergantian memajang foto mereka dengan twibbon 1 Abad NU. Aku tentu tidak masalah. Senang-senang saja.. yah bahagia juga. “Yah kan kamu juga NU?” Eh, nanti dulu.
Tak ayal, momen ini akhirnya me-recall sepenggal memoriku tentang NU. Setelah kugali-gali ternyata benar juga. Aku ada utang rasa dengan NU. Di mana, sebelum aku dilemparkan ke planet yang disebut bumi ini. Jauh-jauh di keluargaku sendiri sudah banyak bergumul dengan model syariat Islam ala NU. Yasinan, tahlilan, ritual membacakan doa untuk orangtua yang sudah wafat dengan memakai nampan besar berisi aneka macam makanan, dan kue-kue khas suku Makassar. Suku asli warisan kakek buyut kepada orangtua lalu diwariskan pula kepadaku.
Beranjak dewasa, umur semakin bertambah, dan diikuti dengan cara berpikir yang kian rumit saja. Aku sempat berada di fase galau mencari ketenangan pada kelompok-kelompok pengajian yang banyak mengobrolkan tentang Tuhan dan agama yang kuyakini. Berbagai pengajian kudatangi, hingga sampailah di sebuah pengajian yang sangat kontradiktif dengan Islam ala NU yang sejak kecil sudah mempunyai ikatan yang cukup intim denganku.
Tak dinyana, jalinan asmaraku dengan tradisi NU membuat pikiranku banyak dibenturkan dengan berbagai hal yang cukup bertentangan dengan apa yang kudapatkan dalam pengajian tersebut. Alih-alih aku merasa tenang berada di pengajian itu, aku malah banyak merasakan benturan-benturan hebat karena perbedaan cara berislam yang cukup kontras dengan apa yang selama ini dijalani oleh keluargaku.
Dari sanalah akhirnya aku banyak berefleksi, dan menyadari bahwa lingkungan di mana kita hidup dan bertumbuh memang sangat banyak mewarnai diri kita. Mau tidak mau. Meskipun ketika sudah dewasa, nyatanya ada beberapa hal yang bisa kita pilih dan coba untuk merekonstruksi kembali. Terkait dengan pemaknaan terhadap agama, pengalaman kebertuhanan, dan berbagai hal yang cukup prinsipil, itu akan terus menerus bergerak sejalan dengan semakin banyaknya persentuhan kita terhadap berbagai realitas di sekitar kita.
Kembali Kubincang Perkara Utang Rasaku terhadap NU
Ketika masih duduk di pengajian tadi, kami banyak membahas terkait larangan melakukan ini dan itu. Dengan berbagai dalil, berbagai analogi, dan bumbu-bumbu lainnya. Celap-celup, cocok sana, cocok sini dan jadilah hidangan Islam yang begitu asing dengan yang selama ini kujalankan.
Ndilalahnya, sejak lahir hingga besar, suasana rumah begitu hangat dan kental akan tradisi NU. Hal itulah yang kemudian membuatku begitu sulit untuk bisa mencerna ramuan-ramuan dari pengajian yang sedang kuikuti saat itu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk segera berhenti dari pengajian tersebut. Meskipun belakangan kuyakini bahwa, bukan pengajian itu yang keliru, sebab beberapa temanku merasa cocok dengan ramuan yang diberikan. Yah, mungkin memang aku saja yang tidak cocok dengan itu. Mereka yang memilih tetap di sana, tentu tidak keliru. Toh saya yang memilih berhenti juga belum tentu benar kok.
“Oh berarti syariat ala NU yang kamu anggap benar yah?” Hmm.. sementara ini aku berpikir begitu. Sebab aku yakin bahwa manusia itu dinamis, seiring waktu ia akan berubah, dan terus berubah. Entah itu maju atau mundur, ke kiri atau ke kanan, yah memang sudah sunnatullah-nya manusia untuk terus bergerak dan berkembang. Yang ingin kuletakkan sebagai sebab dari rasa terima kasihku kepada NU adalah, berkat didikan Ibu dan Ayah yang kurasa-rasa mereka telah banyak menghidupkan cara berislam ala NU, hingga membuatku bisa mencicipi Islam dan menjalankannya dengan asyik, juga cukup manusiawi. Walaupun belakangan kusadari bahwa cara berpikir bapak begitu patriarkis. Akan tetapi, dalam hal memilih pakaian, menentukan tempat sekolah, menggeluti hobi; ia tidak pernah meributkan hal tersebut.
Ibuku pun sama. Beliau adalah perempuan yang cukup mengapresiasi ketika aku mengenakan jilbab, tapi tidak lantas memaksa apalagi sampai memaki jika aku melepas jilbab. Hukum jilbab di keluargaku memang seasyik cara Eyang Gus Dur menerapkan itu di dalam keluarganya. Ibu Sinta dengan selendang khasnya, diikuti Ibu Yeni, dan Ibu Alissa. Lalu warna-warni rambut indah juga diperlihatkan oleh Mbak Inayah dan Mbak Anita. “Yang penting terus berbuat baik, jangan sampai merugikan orang lain.” Itu dipesankan oleh Ibu ketika aku memilih bercadar, dan beliau sempat tidak menyetujui sebab takut akan stereotipe yang terlampau kejam ditempelkan kepada perempuan yang bercadar. Tapi itu juga tidak tanpa alasan. Memang sebagian perempuan bercadar banyak melakukan keburukan. Kuakui saja.
Tidak hanya itu, karena pertimbangan Ibu juga akhirnya buru-buru kuhentikan keikutsertaanku di pengajian itu sebelum ketahuan Bapak. Maklum, klaim kebenaran itu sangat berlaku bagi bapakku. Jangan sekali-kali ngasih dalil soal haram maulid, tahlil bid’ah, apalagi mengharamkan ziarah kubur. Sebab Bapak tidak akan segan-segan mengajak untuk berdiskusi hingga larut, bahkan sampai berhari-hari hanya untuk meloloskan pemahamannya tentang bolehnya tahlilan, yasinan, maulidan, ziarah kuburan (?) ehh.. ini kayaknya gak pas deh, Heuheu..
Mungkin Gak Mungkin: Perempuan Bercadar di Tubuh NU
Perlu kutegaskan terlebih dulu, bahwa niat menceritakan kisah ini bukan serta-merta mau menobatkan diri sebagai kader NU ya gaes. Aku ragu mendaku diri sebagai NU soalnya. Yah, meskipun caraku berislam memang banyak didominasi oleh model NU. Pun guru-guru tempatku banyak belajar dan bersandar pada cara pandang keberislamannya rata-rata dari NU. Tapi tetap saja, tidak menjadikanku begitu berani mau nyebur-nyeburin diri ke “rumah yang megah itu”. Banyak sebab, dan satu alasan utamanya karena beberapa dari “penghuninya” tidak memberi izin masuk ketika pilihan berpakaianku masih seperti ini (cadar). Begitu syulit.
Yah katanya sih.. gak ada cadar di NU. Sebab patron mereka adalah para ibu nyai yang hanya berselendang dan berkebaya. Asing sekali rasanya dengan jilbab panjang, gamis lebar, apalagi cadar hitam.
Saban hari aku misuh. Di beberapa forum jumpa dengan kawan-kawan NU maupun lingkar GUSDURian, aku sibuk mengaduk-aduk kerisauan ini. Subjektif memang, sebab tidak sekali-dua kali aku mendapatkan pandangan sinis ketika berada di lingkaran NU. Paling yang akrab yah mereka yang sudah kenal lama denganku.
Tidak sedikit pula yang berkisah kepadaku tentang sulitnya perempuan bercadar bisa bergumul di dalam lingkaran NU. Banyak yang harus mundur di tengah jalan karena merasa tidak diperlakukan setara. Pandangan sinis dan stereotipe terlalu berat untuk ia hadapi. Padahal urusan literasi tentang moderasi, yah NU juaranya. Entahlah. Mungkin hanya di daerahku saja. Atau aku yang belum mendengar cerita tentang suka citanya perempuan bercadar bisa berperan dengan maksimal di tubuh NU, tanpa harus merasa berbeda, apalagi terasing karena cadar yang dikenakan.
Sekali lagi, perlu kutegaskan jika ini bukan karena egoku untuk diakui sebagai NU. Aku hanya berniat untuk mengajak diskusi, dan mengajak berbenah orang-orang yang katanya begitu anti terhadap eksklusivitas beragama, tetapi di sisi lain mereka juga melakukan hal yang sama. Meskipun kuakui, pikiran ini tidak hanya ada di tubuh NU saja tentunya. Tabiat ini sudah menjalar seperti penyakit yang merasuk tanpa disadari kepada mereka yang terlampau sibuk membesarkan ego kelompok, mengibarkan bendera dengan berbagai bentuk, kemudian lupa untuk mengawasi diri. Sudahkah ia berlaku adil, dan tidak melihat yang berbeda dengannya sebagai ancaman sampai harus menyalakan tanda bahaya?