Ajarkan Nilai Kemanusiaan Sejak Dini, Gerdu Suroboyo Selenggarakan Character Leader Camp

Forum 17-an kali ini, Komunitas GUSDURian Surabaya atau Gerdu Suroboyo mengadakan Character Leader Camp yang diselenggarakan di Blitar, 17-19 Februari 2023, bekerja sama dengan rekan-rekan psikolog dari Sanggar Bermain Surabaya (SBS). Kegiatan ini merupakan salah satu aksi nyata Gerdu Suroboyo yang telah berkomitmen memperjuangkan tiga isu utama di Surabaya, yaitu pendidikan yang membebaskan, keadilan ekologi, dan perdamaian.

Kegiatan ini diikuti oleh dua puluh peserta dengan latar agama yang berbeda dan jenjang pendidikan yang berbeda, yaitu dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) Surabaya. Dengan tujuan mengevaluasi dan memperkuat karakter, camp ini dirancang oleh Gerdu Suroboyo dan SBS sebagai wadah untuk belajar secara bebas di alam terbuka tanpa gangguan gadget.

Kedua komunitas berbagi tugas sebagai fasilitator (Gerdu Suroboyo) dan observer (SBS). Sebelumnya, para orangtua diberi kuesioner seputar kepribadian, sikap, dan aktivitas anak-anaknya di rumah sebagai perbandingan dan acuan para observer ketika mengevaluasi peserta selama kegiatan.

Dari rangkaian kegiatan itu, tak jarang ditemukan adanya perbedaan sikap anak ketika di rumah bersama orangtua dan ketika di luar bersama teman-temannya. Hal ini tentu harus diketahui oleh para orangtua untuk memahami dan membentuk karakter baik pada anak.

Uniknya, dengan latar agama yang berbeda, anak-anak ini dapat akrab dan berteman satu sama lain. Pada suatu kesempatan, semua anggota peserta laki-laki melaksanakan salat maghrib berjamaah. Melihat semua teman laki-lakinya yang beragama Islam sudah salat, Bethan, salah satu peserta yang beragama Kristen, bertanya kepada teman-teman peserta perempuan, “Kamu kok belum salat? Yang cowok sudah salat semua.”

Mendapati pertanyaan tersebut spontan peserta perempuan bertanya balik, “Kamu nanya kita belum salat apa nggak, kamu sendiri juga belum salat”. Pernyataan itu langsung dijawab Bethan dengan tawa kecil. “Aku nggak salat. Aku Kristen,” timpal Bethan, lalu diikuti oleh gelak tawa mereka semua.

Keesokan harinya dalam perjalanan mendaki gunung, salah satu peserta bernama Rayya bertanya kepada Bethan, “Kamu nggak ke gereja, Than?” “Nggak, ke gereja hari Minggu,” jawab Bethan. Lewat interaksi dan kondisi tersebut para peserta belajar untuk saling menghormati agama satu sama lain dan hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis, seperti yang diajarkan Gus Dur.

Sumriyah, Koordinator Gerdu Suroboyo mengatakan, “Sebenarnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi itu mestinya memang ditanamkan sejak dini, di saat anak-anak masih pure dan tidak terpengaruh dengan hal lain. Kalau sudah dewasa sebenarnya kasep.”

Malamnya, ketika teman-temannya sedang melaksanakan salat maghrib, Bethan yang tengah duduk bersama beberapa peserta lain yang sedang berhalangan salat ditanya bagaimana rasanya menjadi minoritas, baik dalam kegiatan ini maupun di sekolah. Bethan dengan santai menjawab, “Biasa aja, nggak papa.”

Digiring rasa penasaran, teman-teman sebayanya bertanya, “Kalau orang Kristen ibadahnya apa?” Dengan antusias Bethan pun menjawab, “Aku ke gereja bersama orangtuaku setiap hari Kamis, Jum’at, dan Minggu. Kami juga puasa pada hari Kamis. Sahurnya sebelum jam sepuluh malam, buka puasanya jam tiga sore,” ujar siswa kelas lima SD tersebut yang sudah biasa berbaur dengan teman-teman muslimnya.

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.