Belakangan ini ramai tentang wacana fikih peradaban yang salah satu poinnya ialah dukungan terhadap Piagam PBB. Meskipun dikatakan jauh dari sempurna, tetapi memiliki spirit penjagaan perdamaian antara bangsa di muka bumi adalah sesuatu yang layak untuk didukung.
Sebagai informasi, dukungan terhadap Piagam PBB ini dimaksudkan agar tata dunia global di masa mendatang tidak lagi dicirikan oleh konflik -termasuk dalam hal ini konflik yang memiliki dimensi religius sebagaimana disinyalir Huntington dalam tesisnya benturan peradaban (clash of civilization)- tetapi justru kerja sama yang setara di antara negara-bangsa di seluruh dunia.
Bisa dikatakan visi untuk menciptakan tata dunia baru yang ditandai dengan kerja sama dan toleransi antarpihak ialah visi yang juga telah lama disuarakan oleh Gus Dur. Dalam dialognya dengan Daisaku Ikeda (pemikir Buddhis yang juga presiden dari organisasi Soka Gakkai Jepang), ia misalnya sepakat dengan Ikeda bahwa tesis Huntington adalah tesis yang mesti ditolak. Sebaliknya, upaya untuk membangun kerja sama antarperadaban, termasuk melalui dialog-dialog antarpemeluk agama yang berupaya mencari common ground dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan ialah sebuah langkah yang mesti terus digalakkan.
Namun Gus Dur tidak berhenti pada visinya tentang perdamaian dunia, melainkan juga merambah pada tata dunia yang adil. Sebagaimana salah satu slogan yang terkenal dari Gus Dur bahwa “perdamaian tanpa keadilan adalah suatu ilusi”, dapat dikatakan spirit inilah yang terus diperjuangkan oleh Gus Dur termasuk ketika ia berpidato selama lima menit -sebagaimana klaim Gus Dur itu sendiri- di forum PBB.
Saat itu Gus Dur diminta untuk berbicara dalam sebuah forum yang membicarakan tema terkait rencana pendirian dewan agama, yang nantinya dewan tersebut akan diposisikan sebagai penasihat bagi PBB. Intisari pidato yang Gus Dur sampaikan dalam forum yang dilaksanakan pada akhir September 2002 tersebut ia tuliskan kembali dalam artikelnya yang berjudul “Diperlukan Spiritualitas Baru”, yang diterbitkan bersama tulisannya yang lain dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006).
Dalam artikel singkatnya tersebut, Gus Dur bercerita bahwa sebenarnya ia hanya diberi waktu oleh panitia selama tujuh menit untuk memaparkan pandangannya. Namun Gus Dur nampaknya merasa bahwa tujuh menit masih terlalu lama sehingga ia memilih menggunakan waktu lima menit saja. Uniknya, Gus Dur menyatakan bahwa pidatonya selama lima menit tersebut amat berkesan di mata hadirin sehingga dalam keseluruhan jalannya forum tersebut -yang dikatakan Gus Dur berjalan sekitar dua hari ke depan pasca ia berpidato- gagasan yang disampaikannya menjadi rujukan penting oleh para peserta forum tersebut. Maka dapat dikatakan Gus Dur sedang membanggakan dirinya bahwa tidak masalah berbicara lima menit selama idenya memiliki pengaruh signifikan.
Gus Dur sendiri menyatakan bahwa ia sebenarnya hanya mengulang pembicaraan yang telah ia sampaikan sebelumnya di Universitas Soka Gakkai pada April 2002 ketika ia mendapatkan gelar doktor honoris causa. Sebagai informasi, Universitas Soka Gakkai adalah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah organisasi Buddhis Sokka Gakkai yang saat itu dikepalai oleh Ikeda, kawan dialog Gus Dur. Gus Dur menyatakan bahwa inti dari yang ia sampaikan adalah perlunya spiritualitas untuk kembali berbicara dalam arena politik. Arena politik yang dimaksud tentu cakupannya luas, termasuk dalam hal ini dalam arena politik internasional seperti organisasi PBB.
Gus Dur sampai pada tesis bahwa spiritualitas mesti diintegrasikan dengan politik, termasuk dalam hal ini politik global. Presiden keempat Republik Indonesia tersebut menilai politik global dijalankan dalam kerangka sekuler. Dengan kata lain politik global tidak menjadikan etika, moral, dan kehidupan umat manusia -yang menjadi elemen penting bagi spiritualitas- sebagai fondasinya. Kalaupun pembicaraan tentang etika, moral, dan kehidupan muncul dalam diskusi politik global, bagi Gus Dur itu lebih kepada wacana semata, tetapi hakikatnya cenderung manipulatif. Artinya Gus Dur ingin menyatakan bahwa etika, moral, dan kehidupan dibaca dalam kerangka sekuler sehingga ia tidak lagi menjadi pedoman bagi bekerjanya politik, melainkan sekedar komoditi politik.
Implikasi dari bekerjanya politik global dalam kerangka sekuler inilah yang bagi Gus Dur mengakibatkan politik menjadi “dunia hitam”, sebagaimana nampak dari terus menerusnya muncul berbagai skandal di bidang ekonomi, kultural, dan seksual yang melibatkan para pemimpin dunia. Termasuk juga bagi Gus Dur para pemimpin dunia semakin terlihat tidak lagi berpikir dalam kerangka kemanusiaan secara luas, tetapi lebih kepada satu golongan atau kelompoknya sendiri. Di mata Gus Dur, hal ini menjadi bukti bahwa dunia politik global mengalami dekadensi moral akibat penerapan kerangka sekuler dalam berpolitik.
Gus Dur kemudian menukik kepada pembahasan mengenai PBB di mana menurutnya lembaga tersebut juga ditandai dengan dekadensi moral yang akut. Gus Dur mencontohkan adanya hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB bukanlah menunjukkan etika, melainkan pertimbangan kekuasaan murni yang menjadi penanda bekerjanya PBB hari ini. Kita bisa membenarkan pernyataan Gus Dur tersebut, di mana lima negara yang memiliki veto adalah negara pemenang Perang Dunia II. Dengan kata lain, logika perang sejatinya masih hidup dalam lembaga yang “secara permukaan” dimaksudkan mengakhiri dan mencegah perang terjadi lagi secara global.
Bahkan menurut Gus Dur absennya moral dan etika nampak ketika negara anggota Dewan Keamanan PBB seperti AS justru secara “vulgar” mempertontonkan tindak unilateralismenya dengan menyerang Afghanistan dan Irak tanpa membutuhkan legitimasi dari PBB. Bagi Gus Dur, hal ini memperlihatkan tata dunia atau politik global saat ini tidak didasarkan atas prinsip kesetaraan, tetapi ketidaksetaraan. Bahkan bisa dikatakan ada politik hegemoni antara satu negara atas negara lainnya. Bagi Gus Dur, kondisi ketidakseimbangan atau hegemoni politik ini mesti dikoreksi sedemikian rupa sehingga tata dunia yang hadir adalah tata dunia yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan, bukannya ketidakadilan.
Maka dari itu, Gus Dur tidak ragu untuk mengutip slogan dari Mao Zedong tentang geopolitik internasional, yakni “tidak ada hegemoni dalam hubungan internasional.” Dengan kata lain hubungan internasional mesti dikoreksi sedemikian rupa guna memastikan tidak ada pihak yang menghegemoni pihak lain. Dalam konteks koreksi inilah Gus Dur percaya bahwa kekuatan spiritual adalah kekuatan transformatif yang sekiranya mutlak diperlukan untuk mereformasi tata dunia internasional saat ini -termasuk juga reformasi PBB- agar politik yang berjalan di tataran global adalah politik yang non-hegemonik, atau politik yang berbasis etika, moral, dan kehidupan sehingga setiap negara dibayangkan akan berelasi dengan negara lain dalam kerangka etis-spiritual dan tidak lagi berkerangka pragmatis-sekuler.
Sentralnya spiritualitas dalam mereformasi tata dunia global ditunjukkan oleh Gus Dur dengan mengomentari slogan Mao Zedong soal “tidak ada hegemoni dalam hubungan internasional.” Bagi Gus Dur, jika slogan tersebut tidak dijangkarkan pada spiritualitas, maka slogan tersebut juga rentan dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga tidak lebih sebagai “wacana kosong”, sementara yang berlaku secara riil adalah politik bercorak materialis yang tidak mengindahkan dimensi moral dan etika.
Gus Dur juga memberikan contoh terkait dengan ide Thaksin Sinawatra yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand. Thaksin mewacanakan agar dilakukan transaksi barter antara negara berkembang dalam rangka mencegah kertergantungan negara berkembang terhadap mata uang dolar. Gus Dur memberikan penekanan bahwa selain dolar AS, jangan dilupakan juga negara lain semacam Eropa, Jepang, dan Cina yang sama-sama ingin memperkuat hegemoni mereka dalam hal keuangan di dunia global dengan mata uangnya masing-masing (Euro, Yen, dan Renminbi).
Dengan kata lain, logika dari ekonomi internasional juga sedikit banyak dipengaruhi logika kekuasaan dan hegemoni. Maka bagi Gus Dur upaya mencari jalan keluar dari hegemoni sebagaimana diwacanakan Thaksin misalnya hanya dapat berjalan jika spiritualitas menguat dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi restrukturisasi tata ekonomi global saat ini yang masih dicirikan dengan eksploitasi satu pihak atas pihak lainnya.
Dalam kaitannya dengan rencana pembentukan Dewan Agama yang berfungsi menjadi penasihat PBB, bisa dikatakan penjelasan Gus Dur tentang spiritualisme tersebut memiliki satu relevansi yang besar. Dapat dikatakan pidato tersebut menjadi semacam basis filosofis yang kokoh bagi pembentukan dewan agama tersebut. Dewan Agama menjadi semacam lembaga yang memiliki “mandat” untuk merekonstruksi “algoritma” budaya politik yang berjalan di PBB agar tidak lagi berlandaskan pada kerangka “algoritma” sekuler.
Sebaliknya, Dewan Agama harus berlandaskan pada “algoritma” spiritualitas yang turunannya adalah rekognisi atas moral, etika, dan kemanusiaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari penyelenggaraan politik global. Dalam bahasa Gus Dur, dalam kerangka spiritualitas itulah maka kedamaian yang juga berdimensi keadilan -dan bukannya kedamaian semu ala politik hegemoni- dapat ditegakkan.
Sebagai penutup, Gus Dur juga memberikan satu justifikasi realpolitik -di samping filosofis- bahwa integrasi antara spiritualitas dan juga politik telah terjadi di berbagai belahan dunia. Di Jepang misalnya, Gus Dur menyebut gerakan Buddhis Soka Gakkai memiliki relasi dengan Partai Komeito (Partai Bersih). Begitu pula di India, organisasi RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) yang mendukung partai BJP. Di Iran, gerakan Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib memiliki relasi dengan Muhammad Khatami -yang saat itu menjabat sebagai presiden. Termasuk di Indonesia, organisasi NU mendukung PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
Tantangan yang kemudian harus diurai ialah bagaimana integrasi tersebut tidak lagi dibangun di atas pola relasi yang sifatnya transaksional-pragmatis, melainkan pada pola relasi yang transformatif-etis (sebagaimana dibayangkan Gus Dur seperti teologi pembebasan di Amerika Latin) di mana kekuatan agama tersebut mampu mendorong masuknya spiritualisme ke dalam dunia politik. Maka dengan dorongan spiritualisme itu mampu mentransformasikan dunia politik global -termasuk dalam hal ini PBB- menjadi satu tata dunia etis yang dapat menopang kedamaian dan juga keadilan bagi semua warga dunia, bahkan juga seluruh makhluk yang hidup di bumi ini.