Indonesia adalah negara yang mudah terpecah belah. Terdengar kontradiktif dan sensitif, tetapi nyatanya memang seperti itu. Kita terbiasa hidup nyaman dengan mendengarkan afirmasi-afirmasi positif seperti “Indonesia adalah negara yang kaya”, “Indonesia adalah negara yang beragam”, dan lain sebagainya.
Kita memang patut berbangga hati dengan fakta yang satu ini, namun tentunya kita tak boleh lalai jika di balik keberagaman yang luar biasa ini terdapat perbedaan yang amat bervariasi pula. Perbedaan-perbedaan inilah yang harusnya menjadi titik perhatian kita. Menjadi tugas kita bersama untuk menerima perbedaan dan kemajemukan di masyarakat, serta menanamkan jiwa toleransi di dalam masyarakat Indonesia.
Menyuarakan tentang toleransi tak cukup hanya dengan berteriak bahwa kita adalah manusia yang toleran. Toleransi harus disertai dengan penerimaan yang tulus dari dasar hati, serta dapat dibuktikan dengan perasaan menerima ketika melihat mereka yang berbeda. Karena dalam kehidupan sehari-hari, nyatanya terkadang kita masih dapat menemukan tatapan mengernyit kepada mereka yang berkulit hitam legam, mereka yang menggunakan cadar/burqa, ataupun pada mereka yang mendeklarasikan diri sebagai bagian dari kaum LGBT. Maka dari itu dibutuhkan pemikiran dan jiwa toleran sebagai bentuk penerimaan kita terhadap pilihan hidup manusia lain.
Mirisnya adalah ada begitu banyak kasus intoleransi di Indonesia. Salah satunya dalam aspek beragama. Contohnya seperti penyerangan klenteng di Kediri, biksu yang dilarang beribadah di Tangerang, banyak kasus pengeboman di gereja, dan masih banyak lagi. Buta terhadap ilmu agama memang akan membuat manusia tersesat, tetapi memasang kacamata kuda dan hanya berfokus pada agama juga bukanlah hal yang bijak.
Kita semua tahu jika tujuan manusia hidup adalah untuk bahagia dalam kedamaian. Namun yang terkadang kita lupakan adalah masalah surga atau neraka itu adalah urusan alam dengan Tuhan dan masih menjadi rahasia. Toh, sesungguhnya manusia adalah makhluk yang serba terbatas (limited), sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tidak terbatas (infinite).
Lalu bagaimana kita sebagai makhluk yang serba terbatas bisa memahami esensi dari sesuatu yang tidak terbatas? Karena pemikiran yang terbatas dan terkadang kurang kritis inilah yang dapat menyebabkan manusia menjadi radikal. Dan radikalisme inilah yang dapat memecah belah Indonesia.
Almarhum Gus Dur pernah berkata dalam kutipannya yang melegenda, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Namun sayangnya, agama yang semestinya menjadi hubungan yang personal antara seorang manusia dengan penciptanya lama kelamaan menjadi ajang untuk saling unjuk kebenaran antargolongan, saling adu pendapat disertai argumen yang tidak dapat ditentang, dan hal-hal bodoh lain yang dapat mendekatkan Indonesia menuju jurang perpecahan.
Jika kita melihat sebuah agama berdasarkan ayat yang terdapat dalam kitab suci agama kita, maka agama tersebut akan selalu salah di mata kita. Sesaji milik Agama Hindu akan selalu salah bagi umat Islam karena dalam kitab suci Islam sesaji dianggap musrik, dan berbagai contoh yang lain. Namun apakah hal-hal seperti ini perlu diperdebatkan? Tentu tidak. Cukup diam, fokus pada kehidupan dan kepercayaan masing-masing, dan menerima perbedaan. Gus Dur mungkin akan berkata, “Gitu aja kok repot” untuk segala perdebatan tidak penting yang dilakukan rakyat Indonesia. Apa kita tidak malu?
Indonesia memiliki enam agama, tetapi angka ini sudah dapat menciptakan getaran-getaran konflik yang mengkhawatirkan. Maka dari itu kita tak boleh lalai jika kita juga memiliki lebih dari 1.340 suku bangsa. Bahkan menjadi salah satu negara dengan suku terbanyak. Sekali lagi perlu ditegaskan jika kita sedikit saja lalai, dengan mudah pertempuran darah akan terjadi.
Yang perlu kita ingat adalah video Wonderland Indonesia karya Alffy Rev (https://youtu.be/aKtb7Y3qOck) amatlah apik karena menampilkan banyak tarian dan lagu daerah seperti Tari Janger, Tari Piring, dan Tarian khas Kalimantan, dan lain-lain. Lagu-lagu yang dinyanyikan juga beragam, yakni Paris Barantai, Si Patokaan, Sajojo, Janger, Manuk Dadali, dan banyak lagi lagu daerah yang lainnya. Bayangkan jika hanya terdapat satu tarian dan satu lagu? Apakah akan seapik ini?
Begitupun kehidupan kita. Dengan adanya banyak suku, etnis, agama, dan budaya, maka Indonesia menjadi indah. Kehidupan damai dan tentram akan jauh lebih nyaman dijalani daripada permusuhan dan perdebatan. Rumusnya hanyalah saling menghargai, membantu satu sama lain, tidak saling menjatuhkan, dan saling menjalin kebersamaan. Amat mudah dan sederhana, tidak akan ada yang tersakiti, tidak akan ada yang rugi, tidak akan ada yang menderita, dan akan ada banyak dampak baik yang didapat. Kita dapat menciptakan kolaborasi, bertukar pendapat, saling berbagi sudut pandang, indah bukan?
Lalu apa yang harus kita lakukan agar toleransi bukan hanya menjadi wacana? Apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga perdamaian di Indonesia? Pertama, hal paling fundamental yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan pencegahan atau tindakan preventif. Kita harus melakukan pencegahan terhadap segala cikal-bakal perpecahan yang dapat terjadi. Misalnya dengan mengembangkan sikap toleransi, kerja sama, dan lain sebagainya.
Kedua, kita harus melakukan pengendalian. Yaitu dengan mengatasi masalah saat atau setelah kejadian. Misalnya, mendampingi korban intoleransi, dan lain sebagainya. Ketiga, kuratif. Yakni upaya tindak lanjut atau penanggulangan akibat masalah yang terjadi. Upaya kuratif merupakan tindak lanjut dalam masalah atau konflik yang sedang berlangsung. Contohnya seperti mencari penyebab terjadinya konflik.
Singkatnya, toleransi dibutuhkan agar kita dapat menerima semua perbedaan yang ada. Indonesia tidak akan indah jika hanya ada suku Jawa di dalamnya, Indonesia tidak akan berwarna jika hanya ada orang Islam atau Hindu saja, kita indah dengan banyak warna.
Akhirnya kita sampai pada kesimpulan jika keberagaman bak pisau bermata dua. Di satu sisi, apabila dirawat dengan toleransi dan tenggang rasa, maka akan menciptakan kekayaan yang amat luar biasa. Namun sebaliknya, apabila kita abai, keberagaman dapat menjadi tombak pemisah yang dapat memecah belah
Indonesia. Satu hal yang perlu kita ingat, menjadi toleran dapat dimulai dari diri kita pribadi, tak perlu muluk-muluk untuk mendamaikan Indonesia atau menyadarkan toleransi pada 273,8 juta jiwa rakyat Indonesia. Cukup “aku” dulu.
___________
Tulisan ini merupakan 1 dari 3 esai pilihan pemenang “Lomba Esai Nasional” Haul Gus Dur ke-13 Yogyakarta