Nahdlatul Ulama

Pada 7 Februari 2023 lalu, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati 1 Abad pendiriannya. Perhitungan yang dilakukan didasarkan pada kalender Hijriah, di mana NU lahir pada 16 Rajab 1344 H dan pada 7 Februari kemarin adalah 16 Rajab 1444. Berdasarkan kalender Masehi, NU berdiri pada 31 Januari 1926 yang usia 100 tahunnya adalah tiga tahun mendatang.

Kegiatan dan peringatan 1 Abad NU itu tidak hanya dilakukan PBNU dan berbagai lembaga yang terkait dengan NU, tapi juga oleh organisasi lain. Di antaranya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang di Jawa Timur kadang disebut sebagai ”Partai Anaknya Nahdliyyin” atau ”Partai Akan NU”. PAN yang dalam sejarahnya identik dengan Muhammadiyah ini menyelenggarakan Simposium Satu Abad NU di Sheraton Hotel, Surabaya, 18 Februari 2023, dengan dihadiri Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan sejumlah kiai dari Jawa Timur, seperti KH Fuad Nurhasan Sidogiri.

Dalam refleksi lisan pada acara tersebut, saya memaparkan dua capaian besar NU dalam usianya yang seabad ini. Pertama, penciptaan atau penguatan ”identitas Islam nasional” yang bernama Islam Nusantara. Kedua, pembalikan persepsi yang sebelumnya kuat dipegang kuat oleh para akademisi, baik nasional maupun internasional, dan pemerintah tentang NU.

Dulu, ilmuwan asing tak banyak yang tertarik mengkaji NU. Organisasi ini dianggap ketinggalan zaman, tidak modern, dan nanti lama kelamaan akan punah atau mati sendiri. Ketika aliansi ilmuwan dari kampus-kampus ivy league di Amerika Serikat, seperti Harvard, Yale, MIT, dan Cornell, meluncurkan program yang bernama Cornell’s Modern Indonesia Project (CMIP) tahun 1954 dan berlangsung hingga tahun 1980-an, tidak ada yang tertarik untuk melirik NU. Program yang pernah dipimpin George McT Kahin ini memiliki riset tentang pesantren dan kiai, tapi tidak tentang NU sebagai organisasi.

Ada kajian tentang keagamaan di Jawa yang dilakukan Clifford Geertz yang memandang NU sebagai ”santri kolot” dan karenanya tak memiliki banyak prospek dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi. Ada kajian Islam modernis yang dilakukan Deliar Noer dan juga tentang ekonomi yang dilakukan Benjamin Higgins. Ada juga beberapa kajian tentang militer, tapi tak ada studi khusus tentang NU. Ketika itu NU dianggap lebih sebagai partai politik, bukan organisasi massa. Kalaulah dilihat sebagai organisasi, sistemnya dinilai tak rapi, belum mengadopsi struktur dan kepemimpinan modern, lebih didasarkan pada kharisma dan darah biru. Maka, banyak yang yakin bahwa NU tak memiliki masa depan.

Sekarang ini, Islam di Nusantara dianggap unik dan distingtif dibandingkan dengan Islam di belahan dunia lain karena karakternya yang damai, moderat, memiliki keberterimaan terhadap demokrasi yang tinggi, menerima modernitas dan pluralitas, menjunjung HAM, dan menghargai perempuan. Keunikan ini bukanlah hal yang baru dikenali. Gelombang pertama ilmuwan dari Amerika yang datang ke Indonesia, seperti Geertz, juga sudah menyebut hal tersebut. Namun, berbeda dari saat ini yang melihat keunikan itu sebagai sesuatu yang positif, dulu keunikan Islam Indonesia memiliki makna negatif. Ini terutama apabila dikaitkan dengan Islam yang normatif.

Islam di Nusantara dianggap distingtif karena ia dinilai sebagai incomplete Islam atau corrupted Islam. Ia dianggap sebagai smiling Islam karena bukan real Islam atau ”Islam otentik”.

Geertz tidak menyebut mayoritas orang Islam di Jawa sebagai santri. Mereka disebut abangan. Dia tidak memberi judul bukunya Javanese Islam, tapi The Religion of Java meski mayoritasnya adalah orang Islam. Geertz tentunya tak sendirian dalam hal ini. Maria Penders dan akademisi lain juga tak menganggap mayoritas orang Islam Indonesia ketika itu sebagai Muslim bila melihat kadar keislaman mereka dibandingkan dengan ”High Islam”. Penders menyebut keislaman orang-orang di Nusantara itu hanya satu level lebih tinggi ”a pro forma”. Islam tak pernah menggantikan tradisi atau adat Jawa secara total.

Dalam bayangan mereka, Islam itu hanyalah lapisan tipis dan mudah terkelupas di atas bangunan kepercayaan keagamaan tradisional yang kokoh, yang terdiri dari campuran antara animisme dan Hindu/Buddha. Mereka yakin, gagasan dan praktik keagamaan di Jawa tidaklah islami.

NU mengubah paradigma tahun 1960-an itu. Apa yang dulu disebut incomplete Islam sebetulnya adalah complete, tetapi dengan flavor atau warna atau implementasi yang berbeda dari ”High Islam” atau Islam yang normatif. Apa yang dulu disebut corrupted Islam itu sesungguhnya adalah interpretasi dan implementasi yang berbeda dari Islam yang equally otentik dan valid dibanding Islam yang dipraktikkan di heartland (Pusat Islam).

Bagi NU, Islam telah merasuk dalam tradisi Jawa secara kuat dan penuh melalui Walisongo. Dalam budaya Jawa, Islam itu seperti curigo atau keris, sementara Jawa adalah warongko-nya. Islam itu lirik dari sebuah lagu, sementara Jawa adalah gendingnya. Itulah Islam Nusantara.

Gus Dur merupakan tokoh terpenting dalam pembalikan paradigma ini, di antaranya melalui artikelnya yang terbit di majalah Tempo tahun 1983 dengan judul ”Salahkah jika dipribumikan?”. Dengan gagasan yang dikenal dengan ”Pribumisasi Islam” itu, pada satu sisi, Gus Dur menolak pandangan ilmuwan asing yang menyebut Islam di Nusantara hanyalah lapisan tipis dari tradisi keagamaan yang telah ada sebelumnya di Nusantara. Pada sisi lain, ia juga menolak penilaian bahwa Islam di Nusantara itu tak kuat ikatannya dengan ”High Islam”, apalagi jika disebut sebagai corrupted Islam.

Gus Dur yakin bahwa Islam yang dipraktikkan di Nusantara adalah manifestasi Islam yang benar dan otentik. Islam di Nusantara justru menunjukkan kosmopolitanisme budaya Islam, yang pasti berbeda antara satu negara dan negara lain. Islam di Nusantara tak kalah otentiknya dari Islam di tempat lain. Inilah embrio dari Islam Nusantara yang kita kenal saat ini.

Apa perbedaan antara paradigma Islam Nusantara zaman Gus Gur dan yang sekarang? Dulu, paradigma ini adalah outlier atau terkucilkan, tak banyak yang meyakini atau mendukungnya. Sementara sekarang, ia menjadi semacam national Islamic identity yang bahkan diadopsi oleh pemerintah.



___________


Artikel ini pertama kali dimuat di Kompas, 25 Februari 2023

Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).