Social Media

Gus Dur di Mata Imtiyaz Yusuf

Penerbitan edisi Malaysia dari dialog Gus Dur dan Ikeda berjudul Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan (2022) dapat dikatakan merangsang diskusi yang lebih luas dari akademisi di Malaysia dan Asia tenggara secara umum terkait pemikiran Gus Dur. Salah satu akademisi yang antusias menyambut ide-ide Gus Dur dan Ikeda dalam buku tersebut adalah Imtiyaz Yusuf.

Akademisi kelahiran Afrika tersebut mengembangkan karier akademiknya di Center for Buddhist-Muslim Understanding di Universitas Mahidol Thailand sebelum akhirnya menjabat sebagai Koordinator Program Islamisasi Pengetahuan dan Kajian Islam dan Buddhisme di ISTAC IIUM Malaysia, lembaga yang kini dipimpin oleh Osman Bakar.

Imtiyaz Yusuf sendiri dikenal sebagai salah satu dari sedikit akademisi di Asia Tenggara yang intens mengembangkan kajian komparatif Islam dan Buddhisme. Bisa dikatakan spesialisasi akademiknya ini mewarisi spirit dari gurunya Ismail Raji Al Faruqi yang selain dikenal dengan gagasan Islamisasi Pengetahuan-nya, ia juga dikenal sebagai sosok yang intens mengembangkan dialog antaragama secara akademik di AS.

Meskipun Faruqi secara khusus berupaya membangun trialog antara tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi -sebagaimana misal tercermin dari publikasi buku berjudul Trialogue of Abrahamic Faith (1986)-, tetapi perlu dicatat pula bahwa Faruqi merupakan editor dari karya berjudul Historical Atlas of the Religion of The World (1974), di mana di dalamnya berisikan pembahasan terperinci mengenai berbagai agama dunia yang dibahas oleh para pakar di bidangnya. Buddhisme termasuk agama yang masuk dalam pembahasan di Atlas tersebut. Dengan kata lain kita bisa posisikan Imtiyaz berupaya melanjutkan “warisan” gurunya tersebut untuk membangun kajian komparatif antara Islam dan Buddhisme, tentunya dengan perspektif khas Imtiyaz sendiri yang ia sebut sebagai pendekatan paralelisme.

Imtiyaz mendefinisikan pendekatan yang dianutnya sebagai pendekatan yang melihat bahwa antara Islam dan Buddhisme memiliki garis perjalanannya sendiri yang berbeda. Namun ada titik di mana kedua garis tersebut menyambung. Menurut Imtiyaz titik temu itulah yang disebut sebagai common ground. Buku karya Gus Dur dan Ikeda tersebut di mata Imtiyaz merupakan salah satu titik temu atau common ground yang kiranya krusial bagi pembangunan relasi umat Islam dan Buddha ke depannya.

Imtiyaz mengkontraskan pendekatan paralelismenya dengan pendekatan perenial yang juga memiliki pengikut dalam studi agama. Pendekatan perenialisme meyakini adanya titik temu agama-agama pada level esoterik (metafisik) dan tidak pada level eksoteris (fenomena). Imtiyaz tidak meyakini posisi ini dan sebaliknya ia lebih meyakini bahwa agama memiliki jalannya sendiri. Namun ia dapat bertemu pada berbagai common ground yang eksis dalam “lintasan” jalan yang berbeda-beda tersebut.

Ketika Imtiyaz menyatakan bahwa karya Gus Dur dan Ikeda tersebut sebagai satu common ground antara Islam dan Buddhisme, ia memberikan argumen rasionalnya. Menurut Imtiyaz karya tersebut menegaskan perlunya dialog antarpemeluk agama yang berbeda (secara spesifik mengacu pada pemeluk Islam dan Buddhisme). Bagi Imtiyaz pula, karya tersebut tidak hanya berbicara tentang urgensi dialog tetapi juga esensi dari dialog.

Menurut Imtiyaz kita dapat belajar dari buku tersebut bahwa esensi dari dialog adalah pembicaraan tentang satu tema yang disepakati bersama (misal mengenai isu lingkungan atau peradaban). Dan dialog tersebut tidaklah mesti dicirikan dengan kesepahaman karena mesti dibuka pula adanya ketidaksepahaman tentang isu yang dibicarakan tersebut. Namun, meskipun dialog tidak meniscayakan kesepahaman tetapi setidaknya melalui dialog tersebut peserta dialog akan mendapatkan kesempatan untuk mendengar posisi dari pihak lain, di mana informasi itu berguna bagi masing-masing pihak untuk “bertumbuh.”

Makna “bertumbuh” dalam konteks ini maksudnya memperluas cakrawala pemahaman yang sebelumnya absen sebelum proses dialog tersebut. Maka meskipun pada akhirnya tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, dialog tersebut tetap memiliki efek positif bagi masing-masing pihak yang terlibat proses tersebut.

Imtiyaz juga menegaskan karena esensi dari dialog adalah pertukaran pikiran tentang satu isu tertentu. Maka menjadi keniscayaan bahwa peserta dialog untuk terbuka terhadap perspektif dari pihak lain dan tidak berupaya mendominasi pembicaraan. Jika hal itu terjadi maka yang eksis hanyalah monolog dan bukan dialog. Efek dari keterbukaan dan kemauan untuk mendegar pihak lain inilah yang bagi Imtiyaz menjadi krusial untuk membangun kultur kedamaian dan bukan konflik. Karena bagi Imtiyaz konflik tidak dapat dilepaskan dari upaya memaksakan posisi satu pihak kepada pihak lain tanpa adanya ruang untuk mendengar pihak lain.

Bagi Imtiyaz, dialog antara Gus Dur dan Ikeda merupakan potret ideal dari proses dialog tersebut. Dari dialog Gus Dur dan Ikeda kita bisa belajar bagaimana masing-masing pihak terbuka terhadap pandangan dari pihak lain dan justru saling mengisi, sehingga informasi yang tersaji tentang satu isu tertentu menjadi lebih komprehensif jika dibandingkan mengacu pada satu perspektif saja.

Imtiyaz juga menegaskan baik Ikeda dan Gus Dur sama-sama menunjukkan emphatic experience kepada pihak yang diajak berdialog. Hal inilah yang bagi Imtiyaz menjadi penting untuk memupuk kultur kedamaian karena melalui sikap empati inilah orang tidak lagi memposisikan person di hadapannya sebagai “the other”, melainkan sebagai bagian dari dirinya sendiri (sebagai rekan dialog untuk memperkaya wawasan dirinya).

Imtiyaz memandang bahwa spirit dialog semacam ini tidak dapat dilepaskan pula dari kultur historis yang memengaruhi sosok Ikeda maupun Gus Dur. Dalam konteks Gus Dur, Imtiyaz menggarisbawahi bahwa Gus Dur memiliki latar yang kuat sebagai aktivis. Latar belakang aktivismenya inilah yang membuat Gus Dur terasah kepekaannya terhadap kalangan lain di luar dirinya yang sering kali berada pada kondisi yang termarginalkan. Imtiyaz juga menambahkan pengalamannya sebagai Presiden Indonesia yang mengharuskannya mendengar aspirasi rakyat dari berbagai kalangan, juga memberi bekas yang kuat pada diri Gus Dur untuk terbuka pada berbagai ide di sekelilingnya.

Sebagaimana Gus Dur, Imtiyaz melihat latar belakang yang khas pada Ikeda di mana ia dibesarkan dalam tradisi Soka Gakkai, organisasi Buddhisme Jepang kotemporer yang lahir pasca-Perang Dunia II. Menurut Imtiyaz, Perang Dunia II yang menghancurkan Jepang menjadi alasan mengapa Soka Gakkai didirikan sehingga kultur kedamaian dan dialog dan bukan agresi dan kekerasan menjadi kental di dalamnya.

Sebagai pemimpin dari Soka Gakkai, bisa dikatakan Ikeda menyerap kuat spirit dari organisasi yang dipimpinnya tersebut. Maka tidak mengherankan pula bahwa kultur pro-perdamaian ini tercermin dari tradisi Buddhisme yang dianut oleh Soka Gakkai, yakni Buddhisme Nichiran. Sebagai informasi, Buddhisme Nichiran sangat menganggap penting ajaran Buddha yang tercatat di Lotus Sutra, di mana inti pesannya ialah bahwa semua makhluk dapat mencapai pencerahan. Oleh karena itu makhluk tersebut adalah “berharga” dan mesti dilindungi dan bukan untuk dimusnahkan.

Bisa dikatakan dua kultur yang khas dengan elemen perdamaian dan dialog itulah yang sama-sama membentuk jiwa Ikeda dan Gus Dur sehingga tidak menjadi halangan besar bagi keduanya untuk melakukan dialog secara intens dan penuh dengan kehangatan. Perlu ditegaskan bahwa bukan berarti dialog semacam ini tidak dapat terjadi pada kalangan yang tidak memiliki latar historis yang khas tersebut (misal seorang tidak memiliki latar dilahirkan dalam nuansa perang seperti Ikeda atau seorang yang bukan berlatar aktivis seperti Gus Dur), namun pemaparan Imtiyaz lebih kepada upayanya untuk memahami faktor apa yang sekiranya membuat dialog tersebut dapat berjalan secara ideal.

Faktanya Imtiyaz sendiri memposisikan dialog antara Ikeda dan Gus Dur yang dianggapnya merepresentasikan filsuf Buddhis dan Muslim tersebut dalam satu mata rantai tradisi dialog Islam dan Buddhisme yang telah terbangun dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, di mata Imtiyaz tidak menjadi halangan bagi terselenggarakannya dialog jika peserta dialog misalnya tidak mengalami pengalaman kengerian perang sebagaimana kasus Ikeda atau tidak memiliki backgorund pesantren atau aktivis (bahkan presiden) sebagaimana Gus Dur.

Imtiyaz menelusuri sejarah dialog Islam dan Buddhisme hingga era Shahrastani, seorang ulama abad pertengahan Islam yang mendalami kajian perbandingan agama yang dikenal dengan karyanya Al Milal wa Nihal. Pasca Shahrastani Imtiyaz juga menegaskan kelanjutan dialog tersebut sebagaimana termaktub dalam karya Rashid al din Hamdani, seorang ahli sejarah di masa Dinasti Ikhanate Mongol, yang berjudul Jami al Tawarikh. Selain Hamdani, Imtiyaz juga menyebut Abu al Hasan ali dalam karyanya Mujmal ut-Tawarikh yang juga membahas mengenai Buddhisme di dalamnya.

Dialog ini terus berlanjut di era modern. Misal, Muhammad Iqbal membuat puisi khusus berjudul Tasin of Gautama yang menceritakan mengenai sosok Buddha dalam karya terkemukanya Javid Nama. Selain itu Iqbal juga melakukan pembahasan mengenai filsafat Buddhisme dalam karya doktoralnya The Development of Metaphysics in Persia (1908). Dengan kata lain semenjak peradaban Islam tumbuh di abad pertengahan hingga era modern upaya membangun dialog tersebut terus tumbuh. Bisa kita katakan pula inilah berbagai common ground yang eksis dalam lintasan sejarah antara peradaban Islam dan Buddha di mana dialog Ikeda dan Gus Dur menjadi bagian penting yang menyambung mata rantai tradisi dialog tersebut.

Sebagai komparasi, Imitiyaz berupaya mengkomparasikan terjadinya dialog dalam peradaban Islam dengan peradaban Barat yang menurutnya baru dimulai dengan munculnya karya dari orientalis Prancis Eugene Bernouf yang berjudul Introduction à l’histoire du Bouddhisme indien yang diterbitkan pada tahun 1844. Imtiyaz ingin memberikan penegasan bahwa jauh sebelum abad modern, peradaban Islam secara “genuine” telah berupaya membangun kerja-kerja dialognya sendiri dengan peradaban Buddhisme.

Bahkan di abad modern pasca-Iqbal, bisa dikatakan dialog masih terus berlanjut. Imtiyaz misalnya menggarisbawahi dialog kontemporer yang terjadi antara akademisi Muslim Chandra Muzaffar & akademisi Buddhis Sulak Sivaraksa yang dibukukan dalam karya berjudul Alternative Politics for Asia: A Buddhist-Muslim Dialogue (1999). Selain itu Imtiyaz juga menyebut dialog Ikeda dengan Majid Tehranian yang dilakukan sebelum ia berdialog dengan Gus Dur. Dialog antara Tehranian dan Ikeda tersebut juga telah dibukukan dengan judul Global Civilization: A Buddhist-Islamic Dialogue (2003). Buku tersebut juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Jalan Sutra Baru: Dialog kreatif Islam Buddha (2010).

Dari penjelasan Imtiyaz tentang tradisi dialog Islam dan Buddhisme yang dapat dikatakan “inheren” dalam peradaban Islam dari era abad pertengahan hingga era Gus Dur dan Ikeda, meniscayakan bahwa dialog adalah hal yang esensial bagi sebuah peradaban itu sendiri. Imtiyaz lebih jauh menekankan bahwa dalam konteks peradaban kontemporer proyek dialog semacam itu jauh lebih penting untuk ditumbuhkan dalam upaya membangun kultur baru, di mana masing-masing pemeluk agama dapat saling terbuka dan saling mengisi satu sam lain dalam berbagai dimensi kehidupan.

Terkhusus mengenai relasi umat Islam dan umat Buddha, bagi Imtiyaz, semakin mendesak untuk dilakukan dialog mengingat dalam era kontemporer terjadi banyak konflik yang melibatkan pemeluk Islam dan Buddha di sejumlah wilayah semisal Thailand, Myanmar, hingga Sri Lanka. Imtiyaz percaya bahwa kultur perdamaian terkait erat dengan jalannya dialog sehingga tanpa adanya dialog intens antara pemeluk Islam dan Buddhisme -ataupun dialog dalam arti luas mencakup dialog antarbangsa dan juga antarperadaban- maka mustahil mendambakan munculnya perdamaian di level global.

Imtiyaz juga menambahkan bahwa pembangunan kultur perdamaian dan juga kultur dialog bukan merupakan hal yang mustahil di wilayah Asia Tenggara kontemporer. Mengingat jika melihat sejarah dari Asia Tenggara itu sendiri justru dicirikan dengan kultur dialog dan juga perdamaian yang dapat dilacak hingga era peradaban Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Dalam rekaman I Ching, misalnya tercatat perkembangan Buddhisme Mahayana dan Hinayana di wilayah Nusantara yang dapat tumbuh berdampingan dan tidak terjadi konflik antara satu aliran dengan aliran lain.

Imtiyaz melanjutkan bahwa ketika peradaban Buddhisme melemah dan kemudian digantikan dengan kerajaan Islam juga tidak terjadi “revolusi sosial” di wilayah Nusantara. Islam dapat menyebar secara damai dan mengukuhkan posisinya sebagai agama yang dominan, baik dalam konteks Nusantara ataupun Asia Tenggara secara umum. Namun, meskipun Islam menjadi dominan khususnya dalam konteks Nusantara, berbagai warisan dari peradaban lama Hindu-Buddha seperti Borobudur, Prambanan, termasuk penggunaan sejumlah kosataka dari bahasa sanskrit masih dipertahankan.

Imtiyaz memberikan contoh kata puasa dan hari raya memiliki konotasi bahasa Sansekerta yang kuat. Walaupun perlu diakui juga bahwa makna puasa dan hari raya juga telah mengalami perubahan makna dengan masuknya spirit Islam, di mana puasa berkonotasi dengan Puasa Ramadan sedangkan hari raya mengacu pada Hari Raya Ied dalam Islam.

Menutup penjelasannya, Imtiyaz menegaskan bahwa baik Ikeda maupun Gus Dur memandang dialog sebagai satu elemen yang krusial dalam membangun kultur kedamaian dan harmoni di tataran global kontemporer. Bagi Gus Dur kedamaian dan harmoni adalah satu elemen yang esensial dalam kultur spiritual-tradisional (sebagai lawan dari modernitas) yang melihat manusia dan alam sebagai satu kesatuan. Senada dengan Gus Dur, menurut Imtiyaz, Ikeda juga menegaskan bahwa ada satu hal yang esensial dalam ajaran Buddhisme, yakni Sukka, yang artinya kebahagiaan dan kedamaian bagi seluruh makhluk.

Dengan kata lain melalui proses dialog tersebut keduanya menemukan common ground atau satu titik temu esensial, yakni peradaban kontemporer mestilah ditegakkan di atas nilai fundamental yaitu kedamaian dan juga kebahagiaan bagi seluruh makhluk. Bukannya konflik, alienasi, dan juga destruksi terhadap alam yang justru menjadi penciri dari peradaban kontemporer yang sedikit banyak mengafirmasi tesis dari Samuel Huntington tentang benturan antarperadaban yang oleh kedua pemikir Muslim dan Buddhisme tersebut ditolak dengan keras.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.