Pelangi di Langit Negeriku

Belum lama ini, saya menemukan sebuah video Tik Tok (VT) yang cukup kontroversial. VT itu berisi para biksu yang tengah beribadah di kuilnya. VT-nya tidak bermasalah, tapi komentar-komentar yang berseliweran sungguh tak elok dibaca oleh siapa pun.

Komentar-komentar “salah kamar” dari netizen yang diduga muslim itu berbau SARA dan tendensius. Misalnya komentar: Tiada Tuhan selain Allah; Masuk Islam aja Bang; Syahadat dulu sana, dan lain-lain. Miris! Antara sedih, malu, kesal; perasaan saya campur aduk menyaksikan VT itu.

Sampai kapan sesama umat beragama di negeri ini saling caci? Masih adakah harapan untuk kita–terutama Islam sebagai mayoritas–saling menjaga perdamaian dan menghargai kepercayaan penganut masing-masing?

***

Nusantara dan seluruh penjuru bumi tercipta dari banyak perbedaan yang tersusun indah, layaknya pelangi–bermacam warna yang menyatu begitu cantiknya. Bayangkan jika pelangi “dipaksa” memiliki satu warna, masihkah akan terlihat indah? Mungkin ini adalah gambaran yang tepat menyikapi kasus di atas.

Bukankah Allah menciptakan manusia beragam agar saling mengenal, bukan untuk saling berperang? Seperti disebutkan oleh firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13. Yang kemudian diperkuat kembali dalam Q.S An-Nahl ayat 93:

Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.

Jikalau niat orang-orang di VT tadi memang bermaksud untuk berdakwah, mengapa caranya seperti memaksakan sebuah kebenaran. Bukankah Allah sendiri tidak memaksa orang untuk beragama Islam? Dikutip dari Q.S Al-Baqarah ayat ke-256, dapat ditafsirkan bahwa semua manusia bebas menganut ajaran agama apa pun tanpa paksaan.

Mari kita coba kembali ke masa Rasulullah. Rasul tidak memerangi rakyatnya yang berbeda keyakinan. Seperti yang digambarkan dalam hadis shahih al-Bukhari: “… kami pernah bersama Nabi, lalu ada jenazah orang Yahudi lewat, Nabi berdiri. Kami katakan, “Nabi, itu kan jenazah orang Yahudi?” Nabi menjawab, “Bukankah ia adalah jiwa (manusia)?”

Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi pada waktu itu bisa merangkul semua golongan. Apa pun atribut mereka, semua sama—sama-sama manusia. Kekuasaan dan kekuatan yang beliau miliki tidak lantas menjadi justifikasi untuk menindas minoritas. Karena sebagai makhluk yang hidup di bumi yang sama, kita saling membutuhkan. Tidak mungkin semua akan dipenuhi oleh golongan kita saja.

Dari sudut pandang filsafat yang diikuti lintas agama, hal ini juga disebutkan oleh Aristoteles. Menurutnya manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon). Mereka saling terhubung satu sama lain secara alamiah, sehingga sudah menjadi fitrah manusia dikodratkan hidup bermasyarakat dan berinteraksi serta membutuhkan manusia lainnya.

Lantas, bagaimana jika Islam yang dihina?

Kita ambil contoh kasus yang menggemparkan dunia di tahun 2020. Saat itu seorang seniman Prancis menggambar karikatur Nabi Muhammad SAW. Oleh umat muslim, kasus ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap Islam. Gelombang protes dan kemarahan mendominasi trending topic kala itu.

Bagaimana perasaan kita? Kesal kan? Dan, mungkin inilah yang dirasakan oleh penganut Buddha yang dihina tadi?

Namun, perlukah kita marah dan memerangi “para penghina”? Menurut saya tidak. Mengapa? Bisa jadi, agama lain dianggap menghina karena mereka tidak tahu tentang aturan agama kita. Karena pengetahuan mereka ya sebatas pada kepercayaan yang mereka anut.

Nah, kalau mereka tidak tahu, ya kita kasih tahu lah! Jangan langsung ngamuk dulu. Kita katakan bahwa itu tidak dibenarkan dalam kepercayaan kita. Umat Islam selayaknya bersikap asertif, mengatakan yang sebenarnya tanpa melibatkan emosi yang tidak perlu.

Lalu, jika memang mereka sudah tahu tapi tetap menghina?

Saya jadi ingat sebuah wawancara dengan Habib Ja’far di channel Youtube Adjie Santosoputro. Habib mengatakan orang yang sengaja menghina memang menginginkan agar kita tersinggung. Maka jika kita tidak menanggapi, berarti tujuannya gagal.

Habib juga bercerita tentang mulianya sifat Rasulullah. Beliau tidak marah ketika Islam dihina oleh orang lain. Namun, Rasulullah marah ketika ada orang beragama Islam yang “menghina” Islam dengan tidak menjalankan syariat Islam dengan baik.

Senada dengan kisah di atas, Imam Nawawi—pengarang kitab ternama Riyadhus Shalihin—juga pernah menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, sehingga tidak membutuhkan orang untuk menghidupkannya.

Karena Islam tidak akan kehilangan kemuliaan walaupun dihina. Islam ibarat emas. Dia takkan pernah berubah menjadi kuningan, meski sudah dilempar lumpur atau kotoran lain. Jadi, untuk apa kita risau atau takut dihina?

Jika sudah demikian, kita kembalikan pertanyaan ke diri kita: sudahkah kita menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya? Jangan-jangan “musuh” kita sebenarnya adalah nafsu kita sendiri.

***

Memori saya melayang ke satu momen ketika sedang menjalankan sesi psikoterapi bersama Dokter Ivana—psikiater saya. Dia adalah seorang non-muslim keturunan Tionghoa.

Kala Jum’at yang terik itu, suara sangat kencang dari seorang khatib mengudara. Khotbah itu tidak lain berasal dari masjid tak jauh dari Poli Tumbuh Kembang Anak dan Remaja sebuah Rumah Sakit Jiwa.

Suara saya terhenti. Saya sadar, kalau saya melanjutkan sesi terapi, hanya akan sia-sia belaka. Karena baik suara saya maupun Dokter Ivana takkan mampu mengalahkan toa yang sedang berkuasa dengan angkuhnya. Pikiran saya kacau. Seharusnya ada lebih banyak keluhan yang ingin saya sampaikan, tapi tidak terlaksana. Terapi terpaksa dihentikan. Saya gelisah sekaligus malu.

Sebagai seorang penyintas, saya dan para penyintas lain di poli itu sangat membutuhkan psikoterapi demi kesembuhan kami. Saya tidak bisa membayangkan, betapa kacaunya terapi untuk anak-anak yang jauh lebih muda, yang mungkin lebih sensitif secara emosi daripada saya.

Tapi apa yang terjadi?

“Sudah ada aturan mengenai pengeras suara di masjid bukan? Itu hanyalah (perbuatan) oknum Kim,” ujar Dokter Ivana sambil tersenyum. Psikiater yang sudah membersamai pengobatan saya selama dua tahun itu menenangkan saya. Dia sebagai minoritas saja tidak menggeneralisasi satu perbuatan tidak menyenangkan dari seorang penganut agama sebagai cerminan agama itu sendiri.

Seketika saya seperti melihat pelangi di tengah hari yang tidak bersahabat itu. Potongan-potongan warna pelangi yang sempat tercerai-berai kini mulai menyatu kembali. Masih ada harapan. Harapan kehidupan umat beragama yang saling menghargai.

Semoga semakin banyak Ivana lain dan saudara sesama muslim yang memiliki tekad yang sama, untuk merajut warna-warni pelangi yang menghiasi langit negeri ini.

Kaki saya melangkah mantap, meninggalkan Poli Tumbuh Kembang Anak dan Remaja dengan hati riang, seraya mendendangkan Syi’ir Tanpo Waton dari almarhum KH. Abdurrahman Wahid.

… Akeh kang apal Qur’an Haditse, seneng ngafirke marang liyane.

Kafire dewe ndak digatekke ….

___________

Tulisan ini merupakan 1 dari 3 esai pilihan pemenang “Lomba Esai Nasional” Haul Gus Dur ke-13 Yogyakarta

Pelajar SMA. Penulis esai dan cerpen remaja.