Tiang Negara

Kita belum melihat strategi nasional pembangunan keluarga yang cukup kuat diimplementasikan. Program pemerintah yang ada masih bersifat tematik atau sektoral. Padahal, keluarga menjadi harapan pembentukan bangsa.
_________

Dalam kalender Pemerintah Indonesia, tanggal 29 Juni adalah Hari Keluarga Nasional. Tetapi sampai saat ini gaung dari hari istimewa ini belum sebesar Hari Ibu, Hari Guru, atau bahkan Hari Anak. Hari Keluarga Nasional tidak pernah diperingati secara masif oleh semua kelompok masyarakat dari berbagai tingkatan.

Ini merefleksikan bagaimana kita selama ini menempatkan isu keluarga dalam kehidupan bangsa. Kita sering mengglorifikasi keluarga sebagai tiang negara, sebagai building blocks bangsa, sebagai kelompok paling fundamental yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara. Tapi pandangan itu tidak kita selaraskan dengan laku kita memperkuat keluarga itu sendiri secara komprehensif.

Sampai saat ini kita belum melihat strategi nasional pembangunan keluarga yang cukup kuat diimplementasikan. Program pemerintah yang ada masih bersifat tematik atau sektoral, misalnya kesehatan reproduksi, pencegahan perkawinan anak, atau pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka tidak didesain secara terhubung satu sama lain.

Padahal keluarga menjadi harapan pembentukan bangsa Indonesia. Kita mengharapkan keluarga dapat menjadi tempat disemaikannya nilai-nilai baik, diasahnya kecakapan hidup anak-anak, juga lokus diselesaikannya berbagai persoalan bangsa, seperti kemiskinan. Bahkan, KPK pun pernah mengembangkan penanaman nilai antikorupsi melalui pengasuhan keluarga.

Faktanya, problematika keluarga pun semakin banyak dan menyebabkan gempa keluarga. Kemiskinan masih menghantui sekitar 10 juta keluarga. Berbagai problem kesehatan juga masih menghinggapi keluarga. Belum lagi percekcokan yang semakin sering. Walhasil, angka perceraian pun terus meningkat hampir 15 persen setiap tahunnya. Di tahun 2021, terjadi lebih dari 443.000 perceraian. Bandingkan dengan tahun 2011 yang mencatatkan 258.119 perceraian.

Salah satu tantangan yang cukup pelik adalah menguatnya relasi kuasa di ranah keluarga. Suami/ayah mengklaim memiliki kekuasaan yang lebih tinggi karena mereka laki-laki, yang sering kali tidak diimbangi dengan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawabnya. Akibatnya, kekerasan berbasis gender semakin banyak terjadi dalam keluarga. Kekerasan fisik dan psikis, pemaksaan poligami, perkawinan anak menjadi hal yang makin lazim kita temukan. Lebih parah lagi, kasus demi kasus pemerkosaan oleh anggota keluarga yang lebih tua kepada anak-anak semakin banyak diekspos oleh media massa.

Bagi banyak anak perempuan, relasi kuasa ini menyebabkan kesempatan yang tidak adil setara. Akses terhadap pendidikan masih belum tersedia secara terbuka bagi anak perempuan di daerah. Ini menyebabkan banyak anak perempuan menikah lebih cepat. Kalaupun bekerja, banyak perempuan terjebak pekerjaan kerah biru, di dalam maupun di luar negeri. Keduanya menyebabkan banyak perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan dan kemiskinan.

Sebetulnya bukan tidak ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki situasi. Di antaranya Program Bangga Kencana BKKBN dan program Keluarga Sakinah Kemenag yang berupaya untuk memperbaiki bimbingan perkawinan calon pengantin di KUA (Kantor Urusan Agama). Begitu juga program-program keluarga lainnya.

Hanya saja, perlu dipastikan bahwa semua program itu tidak terkena sindrom program pemerintah yang cenderung business as usual (sekadar kerja biasa), yaitu hanya mengejar pelaksanaan kegiatan tanpa memastikan tujuan programnya terwujud dalam perubahan angka-angka. Sikap ini menyebabkan program tidak didesain dengan baik dan dilaksanakan dengan serius.

Terminologi terkenal di kalangan penyelenggara negara: ”kita harus mengejar serapan anggaran” justru menjadi perangkap terlaksananya program-program keluarga tersebut. Sebagai contoh, program stunting yang sampai saat ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Kelompok masyarakat juga bekerja keras. Kelompok masyarakat sipil gigih melakukan pendidikan masyarakat dan mengadvokasi kebijakan terkait keluarga. Salah satunya adalah PEKKA, perempuan kepala keluarga. Pada tahun 2020, terdapat 81,2 juta keluarga yang terbagi dalam 60,75 juta keluarga yang dikepalai laki-laki dan 19,45 juta keluarga yang dikepalai perempuan. PEKKA berupaya untuk memastikan para kepala keluarga perempuan ini tidak mengalami diskriminasi dan memiliki kapasitas diri yang semakin baik untuk mengelola keluarganya.

Kelompok agama-agama juga tidak ketinggalan dalam melakukan pembinaan keluarga jamaahnya. Demikian juga dengan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, juga perkumpulan Islam, seperti MUI.

Di NU, dikembangkan strategi penguatan Keluarga Maslahah an-Nahdliyyah yang dikembangkan oleh ”Kementerian” Keluarga NU, yaitu Lembaga Kemaslahatan keluarga (LKK). LKKNU sendiri dibentuk pada tahun 1977, salah satunya untuk memastikan keterlibatan ulama dan laki-laki dalam urusan keluarga. Sebelumnya, urusan keluarga dianggap urusan perempuan (ibu). Karena itu, ketika membahas tentang keluarga, ibulah yang dijadikan kelompok sasaran. Di sisi lain, pengambilan keputusan dalam keluarga lebih banyak diserahkan kepada laki-laki.

Saat ini, LKK NU memperkenalkan konsep keluarga yang dilandasi prinsip keadilan, kesalingan, dan keseimbangan (muadalah, mubadalah, dan muwazanah), ditopang oleh 5 pilar Qur’ani berupa prinsip komitmen sakral, perspektif berpasangan, musyawarah, saling berlaku baik, dan keridoan pasangan.

Segala upaya dan program ini menjanjikan perubahan yang signifikan bila dikelola dengan serius. Ke depan, kita perlu sungguh-sungguh memandang urusan keluarga sebagai urusan yang fundamental, menjadikannya sebagai investasi masa depan bangsa. Negara dapat mengambil perannya untuk mengonsolidasikan upaya dari para pemangku kepentingan ini dan memfasilitasi praktik-praktik baik.

Hanya dengan cara itu, kita bisa mengubah kondisi kerentanan keluarga dan menjadikannya tiang negara untuk mendirikan kemegahan Indonesia Emas. Bila tidak, jangan-jangan kita berakhir dengan tiang yang keropos dan tak mampu menahan gempa bangsa.

_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 3 Juli 2022

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.