Harapan itu datang dari media sosial.
Sebagian besar generasi transmigran digital seperti saya, menilai media sosial memiliki banyak sekali karakter buruk dan merusak, bahkan kadang kala jahat. Para boomers menilai anak-anak muda generasi milenial, gen Z, dan bahkan generasi termuda teracuni banyak hal buruk melalui internet. Para boomers sendiri tidak lepas dari pengaruh internet ini. Segala rupa pembahasan dan keributan terjadi di media sosial.
Apalagi media sosial Indonesia tak pernah tidur karena orang Indonesia suka berinteraksi. Mulai hal sederhana seperti makanan sampai politik dan perselingkuhan, ada di media sosial. Para pemengaruh (influencer) yang awalnya hanya ditujukan pada promosi dalam dunia bisnis melebar menjadi para pendengung politik (buzzer).
Budaya baru pun berkembang: segala sesuatu harus viral. Dan jalan viral itu ada di media sosial.
Siapa sangka, di tengah gejala-gejala yang cukup membawa keresahan itu, justru muncul secercah harapan tentang mengelola hidup bersama kita sebagai bangsa.
Sudah beberapa tahun banyak pegiat sosial mengeluhkan tantangan demokrasi masa kini. Saya banyak bertemu dengan para pegiat demokrasi dari berbagai penjuru dunia yang berbagi cerita bagaimana kualitas demokrasi menurun. Ini ditandai dengan mengecilnya ruang untuk mengkritisi kebijakan negara dan aktor penyelenggara negara, populisme yang menguat dengan mengandalkan sentimen antarkelompok, menguatnya oligarki, dan sulitnya menuntut akuntabilitas dari para penyelenggara negara.
Di Indonesia pun demikian. Penurunan kualitas demokrasi bahkan terbaca secara konkret melalui Indeks Kualitas Demokrasi dan Indeks Persepsi Korupsi yang sempat menurun. Indonesia, walaupun mengalami kemajuan, masih masuk dalam kategori Flawed Democracy (demokrasi cacat) dalam versi The Economist Intelligent Unit.
Banyak orang mulai resah, tapi merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara, rakyat yang awam tetap hidup aman nyaman. Walaupun merasakan ketimpangan yang makin menyolok, sebagian besar warga menerima kondisi hidup apa adanya. Ikhlas. Nerimo ing pandum. Atau lebih tepatnya merasa tidak berdaya (learned helplessness).
Tiba-tiba, terjadi kasus David Ozora yang dianiaya Mario Dandy. Netizen pun beramai-ramai menguliti kehidupan keluarga sang penganiaya yang penuh kemewahan, berujung pada dipecatnya sang kepala keluarga, Rafael Alun.
Kasus David pun menjadi titik balik. Kementerian Keuangan, institusi di mana Rafael bekerja, diobok-obok netizen. Muncullah berbagai nama pejabat dengan jejak gaya hidup berlimpah yang tidak dapat dilogikakan dengan pendapatan resminya. Ini dilanjutkan dengan pejabat dari sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Satu demi satu, para pejabat ini menghadapi ”sidang jalanan medsos” sebelum dilanjutkan oleh institusi penegak hukum.
Institusi penegak hukum pun tak lagi bisa berdalih dalam merespons tuntutan berbasis data dari netizen. Netizen terus merangsek tak kenal lelah, dibantu oleh ekspos media massa. Alhasil, proses berjalan dengan lebih cepat.
Sepak terjang netizen masih terus berlanjut. Berbagai kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para pejabat dan penyelenggara negara silih berganti meramaikan linimasa. Selain kekayaan, perilaku polisi dan tentara yang melakukan kekerasan atau terlibat dalam aksi kekerasan pun tak kuasa menghindari jejak yang viral di media sosial.
Terakhir, seorang mahasiswa asal Lampung membuat pemerintah provinsinya blingsatan setelah beredar video viral tentang pembangunan di provinsi tersebut. Tak pelak, Presiden Jokowi pun mengintervensi hal ini dengan turun langsung ke lapangan di Lampung.
Setelahnya, beberapa bupati pun mulai dipersoalkan oleh para netizen. Diperkirakan, para kepala daerah dari seluruh penjuru Indonesia sekarang sedang sibuk bebenah atau setidaknya mengamankan dirinya.
Bongkar-bongkar atau biasa disebut iris tipis-tipis ala netizen Indonesia ini sekarang menjadi inti kekuatan netizen. Anonimitas media sosial membuat informasi bisa beredar walau ada ancaman UU ITE. Dan, ketika sebuah informasi menjadi viral, efeknya tak bisa dibendung.
Seorang teman menyebutkan, fenomena ini hasil kombinasi antara watak suka berinteraksi, kreatif, suka keributan, dan suka melanggar privasi orang lain. Bahkan ada kecemasan ini akan berkembang menjadi pemerintahan atas dasar viral. Tetapi sejatinya, tren ini dapat tumbuh menjadi ruang alternatif untuk menyalurkan aspirasi warga bangsa dan lambat laun akan menghidupkan semangat dan mekanisme checks and balances.
Idealnya, mekanisme demokrasi akan menghindarkan situasi otoriter yang penuh penindasan (dengan kekerasan maupun dengan pembatasan sistematis). Ketika mekanisme formal ini belum dapat diakses dengan utuh bagi rakyat kecil, media sosial dapat menjadi ruang memaksa akuntabilitas para penguasa.
Gene Sharp, penulis buku From Dictatorship to Democracy (1993) yang menjadi buku babon para pejuang antidiktator dari seluruh dunia, menyatakan bahwa kekuatan para penguasa ditentukan oleh ketaatan yang ditunjukkan oleh rakyat pengikutnya. Semakin taat, semakin otoriter. Dan rezim bisa bubar apabila rakyat tidak lagi taat dan melawan penguasa. Maka, rakyat yang kritis melalui media sosial justru menjadi modal untuk menghindarkan watak otoriter itu berkembang di Indonesia.
Akankah perkembangan ini berlanjut dan mengubah karakter Pemilu 2024? Akankah rakyat disuguhi limpahan informasi tentang calon pemimpin bangsa dan calon wakil rakyat sehingga dapat menentukan pilihan dengan lebih baik? Akankah para politisi menyadari hal ini sehingga mereka dapat berkontestasi dengan sehat? Semoga.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 7 Mei 2023