Forum 17-an GERDU Suroboyo: Dari Nonton Bersama hingga Diskusi Film tentang Kekerasan Seksual

Komunitas GUSDURian Surabaya (GERDU Suroboyo) melaksanakan Forum 17-an dengan nonton bersama dan diskusi Film Hari yang Gelap, bertempat di Margasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Surabaya, Minggu (21/05/2023).

Film yang berisi tentang kekerasan seksual tersebut memang sengaja dipilih karena selaras dengan gerakan Jaringan GUSDURian yang baru-baru ini (16/05/2023) mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Sapu Pungkas Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual khususnya di lingkup organisasi Jaringan GUSDURian, baik sebagai korban maupun pelaku.

Kasus kekerasan seksual di Surabaya sendiri terus meningkat setiap tahunnya. Koordinator GERDU Surabaya, Siti Sumriyah melihat perlunya kampanye antarkomunitas untuk mengurangi jumlah kasus tersebut dengan ikut menyuarakan dan menyebarkan isu terkait kekerasan seksual di mana salah satunya melalui media film.

“Lewat Forum 17-an ini, GERDU Suroboyo hadir mengampanyekan pencegahan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Surabaya,” tandasnya.

Dua pemantik yang expert dalam perfilman dan isu kekerasan seksual diundang untuk menggali nalar para peserta. Keduanya adalah Rio Eka selaku Ketua Umum Yayasan Kreasitama Sinema Kita dan Wiwik Afifah selaku aktivis Koalisi Perempuan Indonesia.

Film yang berdurasi dua puluh menit tersebut menggambarkan betapa kekerasan seksual bisa terjadi karena kurangnya komunikasi antarkeluarga, di mana ruang untuk mengadu atas kekerasan seksual yang dialami tidak banyak diberikan oleh orang terdekat seperti orangtua.

Wiwik menegaskan pentingnya komunikasi dan edukasi dalam keluarga, terutama jarangnya orang tua memberikan pemahaman kepada anak tentang hal-hal yang berhubungan dengan seksual. “Misal setelah mengalami mimpi basah kamu bisa naksir cewek loh, kalau kamu ‘dipegang’ bagian ininya itu tidak patut loh, dan seterusnya,” ucap dosen Universitas Tujuh Belas Agustus tersebut.

Mengamini perkataan Wiwik, Rio juga menambahkan bahwa pendampingan dari orang terdekat seperti keluarga merupakan hal utama, khususnya bagi anak muda yang mental health-nya rentan. “Seperti tubuh, mental pun harus kita rawat,” ujarnya.

Dalam proses pembuatan film, Rio mengungkapan bahwa bagian tersulit adalah konsistensi poin atau isu yang ingin disampaikan kepada penonton, “Misal di awal kita niatnya A, tapi setelah film itu 100% jadi eh malah B,” imbuhnya.

Diskusi yang dihadiri sekitar dua puluh peserta dari berbagai komunitas agama dan kepercayaan ini berlangsung seru. Hal itu dapat dilihat dari antusiasme para peserta saat sesi tanya jawab. Sayang karena keterbatasan waktu, Irfan Budi Utomo selaku moderator hanya mempersilakan tiga orang penanya.

Osvald dari PMKRI yang mendapatkan kesempatan pertama berbicara bertanya tentang seberapa sering pemantik mendengarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian dilanjutkan oleh Isyah dari Acting Club yang menanyakan tentang penyebab seseorang menjadi pelaku kejahatan seksual. “Hal ini melihat tidak jarang awalnya mereka adalah korban yang kemudian menjadi pelaku, dan bagaimana cara membuat para korban terbuka akan masa lalunya?” tanyanya.

Pertanyaan terakhir dilayangkan oleh Dedik, Mahasiswa Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Meneruskan dari pertanyaan sebelumnya Dedik bertanya tentang cara mengatasi fenomena rantai setan dari korban menjadi pelaku, lalu bagaimana solusi yang tepat untuk memperbaiki pola pikir orangtua tentang pernikahan dini.

Sesi tanya jawab tersebut berlangsung kurang lebih tiga puluh menit dan diakhiri tepat saat waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB.

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.