Nobar dan Diskusi Film “Semes7a”, GUSDURian UIN Walisongo Semarang Soroti Masalah Lingkungan Kampus

SEMARANG – Rabu (7/6/2023) lalu, Komunitas GUSDURian UIN Walisongo bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah dan Mahasiswa Walisongo Pencinta Alam (Mawapala) menggelar acara nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter Semes7a yang bertempat di Angkringan Sipro Space, Ngaliyan, Semarang. Turut hadir dalam acara tersebut Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, mahasiswa Teknik Lingkungan, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan mahasiswa UIN Walisongo lainnya.

Acara yang dimulai sejak pukul 19.30 hingga 22.10 WIB tersebut menampilkan film tentang 7 tokoh lintas agama dan kepercayaan yang memaknai ajaran menjaga alam berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut di 7 daerah yang berbeda di Indonesia.

Acara yang dijadikan momentum dalam memperingati World Environment Day setiap tanggal 5 Juni ini menghadirkan pemantik Arief Susila Budi dari Divisi Konservasi Lingkungan Hidup Mahasiswa Walisongo Pencinta Alam (Mawapala), Solikhatun Khasanah selaku GUSDURian Semarang, dan Anis Fitria Wijayanti dari GUSDURian UIN Walisongo selaku moderator.

Acara ini dimulai dengan nonton bareng film berdurasi satu setengah jam, kemudian dilanjutkan diskusi yang dibuka oleh pemantik. Dengan menampilkan berbagai isu lingkungan dengan tokoh utama 7 pemuka agama, film Semes7a ingin mengabarkan bahwa pada tiap-tiap agama terselip selalu perintah untuk hidup seimbang dengan alam supaya tercipta hubungan yang baik antara manusia dan lingkungan.

Arief sebagai pemantik menceritakan pengalamannya ketika di Bali. Ia melihat masyarakat Hindu yang sangat menghormati tradisi yang tidak jauh dari penjagaan terhadap alam.

“Sebagai orang yang merasakan langsung kehidupan di Bali, saya melihat sistem masyarakat Bali yang paham betul memperlakukan alamnya,” tutur Arif.

Ia juga bercerita, sebagai mahasiswa pecinta alam ia menemukan bahwa kesadaran warga kampus kurang sekali terhadap sampah, misal terkait membuang sampah pada tempatnya pada acara-acara kampus, sehingga ia bersama teman-teman Mawapala justru yang membersihkan sampah-sampah berserakan setelah acara selesai.

“Misalnya sering kali kami (anak-anak Mawapala) ikut andil membersihkan lapangan yang berserakan sampah saat wisuda. Kesadaran ini mestinya timbul dari setiap orang intelek,” lanjutnya.

Kemudian, pada sesi pemantik kedua, Solikhatun Khasanah atau Ana menyampaikan masyarakat adat sebagai salah satu elemen di film tersebut sering kali dianggap primitif dan tak berpendidikan. Padahal bertumpu pada tradisi dan kepercayaan nenek moyang justru menjadikan mereka lakon teladan dalam menjaga alam.

“Dari masyarakat adat yang dianggap primitif, tanpa title, dan kepercayaan nenek moyang, kita harusnya malu, merasa modern tapi tak lebih bijak dalam menjaga kelestarian alam,” ungkap Ana.

Diskusi pun berjalan dengan lancar dan hangat. Para peserta tidak berhenti menanggapi, bertanya, dan bercerita mengenai masalah-masalah urban farming ala anak kos sampai kondisi pengolahan sampah kampus yang problematik. Para mahasiswa menganggap bahwa kampus masih belum bisa menangani sampah yang dihasilkan, atau penyediaan air isi ulang guna mengurangi botol minuman plastik sekali pakai, atau penyediaan lahan hijau juga disinyalir sebatas menggugurkan regulasi.

Dalam acara ini hadir pula Rizki Riyansyah perwakilan WALHI Jawa Tengah yang mengatakan bahwa diskusi ini mengambil momentum Hari Lingkungan Hidup sebagai langkah WALHI berkeliling ke setiap daerah lewat diskusi untuk membicarakan persoalan lingkungan hari ini lewat perspektif agama dan kepercayaan.

“Nah pada kesempatan ini kami memang ingin menyorot pandangan agama dan kepercayaan yang terkandung pada film Semes7a dengan momentum hari lingkungan,” ungkap Rizki.

Ia juga menambahkan bahwa perlunya sikap dan tindakan dari pemuka agama khususnya di Kota Semarang terhadap persoalan lingkungan yang terjadi melalui cara-cara yang diajarkan agama masing-masing. Selain itu, pemuda diharapkan dapat mengambil tempat dalam refleksi dan aksi terhadap permasalahan lingkungan yang makin pelik.

“Tiap tokoh agama dan kepercayaan bisa turut andil melalui caranya masing-masing untuk disampaikan kepada masyarakat umum mengenai isu lingkungan. Kami harap pemuda juga tidak diam, bukan berhenti pada diskusi semata tapi refleksi dan aksi bersama,” tandasnya.

Yazid Nur Iman Yahya sebagai Koordinator GUSDURian UIN Walisongo berharap diskusi ini dapat menjadikan mahasiswa UIN lebih aware mengenai permasalahan lingkungan, baik di kampus maupun kehidupannya agar menjaga lingkungan dari hal yang paling sederhana.

“Saya harap mahasiswa yang datang bisa merefleksikan nilai film tersebut pada kehidupannya dan menyadari pentingnya lingkungan,” pungkasnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *