Social Media

Belajar Kesederhanaan dari Gus Dur

Sosok kharismatik Presiden Keempat RI KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur acapkali menarik untuk ditiru kesederhanaannya. Meskipun pernah menjabat sebagai Kepala Negara Indonesia, tetapi beliau tetap menjunjung tinggi kesederhanaan selama hidupnya.

Gus Dur hidup sebagai seseorang yang cukup beruntung karena tergolong memiliki keturunan ‘darah biru’ dari keluarga pesantren di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun dengan semua itu Gus Dur tetap bersedia hidup dengan kesederhanaan dan tidak enggan berbaur dengan rakyat jelata. Pria yang lahir dengan nama Abdurrahman Ad Dakhil itu juga mudah berkawan dengan siapa pun dari berbagai kalangan.

Dikutip dari akun Twitter @GUSDURians, ada sederet fakta tentang kesederhanaan sosok Gus Dur yang dapat kita tiru sebagai para penerus perjuangannya. Perjuangan yang beliau tunjukkan dari jejak karier yang dirintisnya dengan cara kerja keras.

Jalan hidup yang dipilih Gus Dur tentu berbeda dengan gus-gus atau putra kiai pada umumnya. Gus Dur lebih memilih menjalani hidupnya dengan merakyat. Hal tersebut telah lakukan Gus Dur sejak pergi merantau ke Yogyakarta dan ikut tinggal bersama salah seorang tokoh Muhammadiyah bernama Djunaedi. Pada saat tinggal di Kota Yogyakarta, Gus Dur telah menunjukkan ketertarikan dengan hobi yang agak nyeleneh, yakni menonton wayang, yang dianggapnya banyak memberi inspirasi dan warna dalam hidupnya.

Kemunculan sikap nyeleneh Gus Dur yang mempunyai kegemaran yang dianggap tak lazim bagi lingkungan tradisionalis sekitar pada masa itu, yakni menonton film, punya sarat akan makna seni budaya dan pengetahuan. Hal itu kemudian menghantarkan Gus Dur dapat berkelana ke berbagai negara untuk melanjutkan pendidikan jenjang perguruan tinggi seperti Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Universitas Bagdad Irak, dan negara-negara Eropa.

Tentu jalan hidup yang Gus Dur pilih sesuai dengan apa yang ada dalam kemauannya. Padahal kala itu Gus Dur punya privilege sebagai anak Menteri Agama RI sekaligus cucu dari pendiri ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, hal tersebut tak membuat Gus Dur secara serta merta menjadi besar kepala dan memanfaatkan kekuasaan dan privilege yang dimiliki keluarganya. Apalagi GUs Dur menjadikan itu sebagai kesempatan besar untuk mendapat jabatan atau pengharapan apa pun yang diinginkannya dengan mudah.

Penulis berhasil menemukan berbagai contoh kesederhanaan Gus Dur yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Salah satu contohnya adalah ketika pada saat Gus Dur sudah berumah tangga bersama istrinya Sinta Nuriyah, Gus Dur yang saat itu sudah menjabat sebagai pimpinan tertinggi Jamiyyah Nahdlatul Ulama, yaitu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), beliau hidup bersama anak-anaknya dengan mengontrak rumah secara nomaden. Ditambah lagi mendesaknya kebutuhan yang perlu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, istrinya Nyai Hj. Sinta Nuriyah berjualan es lilin dan kacang berkeliling. Itu semua menjadi sebuah pilihan yang dipilih oleh Gus Dur di tengah masih bisa mendapat privilege dari keluarganya, tetapi Gus Dur memilih jalan dengan mengedepankan kesederhanan.

Gus Dur, Ulama, dan Presiden yang Hobi Mengenakan Batik

Tentang kesederhanaan Gus Dur selanjutnya, yakni bisa kita lihat dari salah satu yang paling menonjol adalah gaya berpakaian. Pakaian menjadi sebuah kesakralan dalam diri seorang presiden yang dikenakan dalam acara-acara resmi, seperti setelan jas, dasi, dan celana yang bermerk dalam maupun luar negeri.

Namun tidak dengan Gus Dur. Beliau lebih sering memakai batik lengan pendek dengan motif bernuansa tradisional dan tak jarang kebanyakan berwarna coklat. Bahkan ada suatu pemandangan yang terus diingat bagi bangsa Indonesia ketika Gus Dur keluar dari Istana Negara karena adanya pemakzulan yang dilakukan oleh MPR kala itu, saat itu Gus Dur hanya memakai celana pendek dan kaos oblong. Peristiwa tersebut tentu saja dianggap sebagai sebuah ironi bagi orang yang memandang jabatan presiden adalah segalanya dan sebagai sesuatu yang amat sakral di kepemimpinan tertinggi bagi suatu negara.

Kembali lagi soal batik yang biasa dikenakan Gus Dur, Mustasyar PBNU KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) kawan karibnya, pada suatu kesempatan pernah bertanya,’’Gus kenopo panjenengan selalu pakai Batik ?’’ lontar Gus Mus kepada Gus Dur dalam bahasa Jawa.

Sontak Gus Dur menjawabnya ‘’Aku kuwi menggunakan batik kuwi mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena nek Nabi Muhammad iku memakai pakaian tradisional Arab dan iyo aku pakai pakaian tradisional Jawa (Indonesia) yaitu batik,” jawab Gus Dur.

Maka mendengarkan jawaban begitu, bagi Gus Mus apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan Gus Dur juga berlaku dalam tradisi pesantren ini dan sesuai dengan kaidah fikihnya sebagai berikut:

 المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

 ‘’Menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik’’

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dilakukan Gus Dur dengan memakai batik secara tidak langsung adalah upaya menumbuhkan semangat cinta tanah air dan budaya lokal sesuai dengan tradisi-tradisi yang juga telah diwarisikan di kalangan pesantren. Karena di kalangan pesantren para kiai maupun santri menyatu dengan dilandasi hati yang penuh dengan kelembutan ketika bermasyarakat.

Semoga tulisan sederhana ini yang merangkum beberapa tauladan kesederhanaan yang telah ditunjukkan oleh mendiang KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dapat menjadi inspirasi bagi para generasi muda sekarang, dengan terus meneruskan hal-hal yang baik di masa lalu tanpa menghilangkan budaya serta mengubahnya dengan turut melebur di era moderinisasi seperti sekarang ini.

Wallahu a’lam bis showwab.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *