Forum 17-an GUSDURian Bolsel: Ulas Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Komunitas GUSDURian Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) melaksanakan Forum 17-an dengan mengangkat tema “Pemilu dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia” yang digelar di Kedai Jago Camu, Sondana, Kecamatan Bolaang Uki, Sabtu (17/6/2023) malam.

Forum 17-an kali ini GUSDURian Bolsel berkolaborasi dengan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Bolsel, yang menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya: Anggota Bawaslu Bolsel, Kifli Y. Malonda; Tenaga Ahli KPU Bolsel, Didi Muslim Sekutu; dan Sekretaris JPPR Sulawesi Utara, Mulyadi Tuhatelu. 

Anggota Bawaslu Bolsel, Kifli Y. Malonda, dalam paparannya menuturkan jika membahas ihwal pemilihan umum (pemilu), maka ada dua masalah krusial yang ia angkat. Pertama, menyangkut proses kaderisasi di tubuh partai politik (parpol) dan kedua adalah soal politik uang atau money politic.

“Proses kaderisasi di parpol ini sangat penting agar bisa melahirkan pemimpin yang ideal. Jika sekadar asal comot ketika menjelang pemilu, maka ketika dia terpilih nanti kemungkinan akan abai terhadap kepentingan rakyat. Atau bahkan dia tidak tahu harus berbuat apa,” ujarnya.

Terkait dengan politik uang ini, kata Kifli, salah satu upaya untuk meminimalisir kebiasaan buruk saat pemilu tersebut, yakni dengan membutuhkan peran aktif dari masyarakat sebagai pemilih.

“Momen pemilu ini adalah ajang menyeleksi calon pemimpin. Makanya jangan sekadar memikirkan manfaat sesaat atau kepentingan jangka pendek. Misalnya memilih berdasarkan serangan fajar,” katanya.

Selanjutnya, Tenaga Ahli KPU Bolsel, Didi Muslim Sekutu, dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, pada prinsipnya baik-buruk sebuah pemerintahan tersebut di tangan pemilihlah tanggung jawab diletakkan.

“Jadi tanggung jawab ada di tangan teman-teman pemilih. Karena Anda yang memilih mereka, Anda yang mengantar mereka duduk menjadi pemimpin, apakah itu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD,” katanya.

Akan tetapi, mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hasanuddin Makassar (UNHAS) tersebut mengakui proses pemilu selama ini tidak lepas dari banyak kekurangan. Bahkan ia menilai, keran demokrasi di Indonesia telah mengalami kebocoran.

“Mengapa saya katakan demikian, contoh untuk menjadi anggota DPR misalnya, salah satu syaratnya hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA). Sementara di sisi yang lain ada ungkapan bahwa, yang membuat aturan itu usahakan yang terpintar di antaranya semuanya,” ucap Didi. 

Meskipun begitu, lanjutnya, kekurangan di dalam penyelenggaraan pemilu tersebut mesti diperbaiki ke depan sebagai upaya untuk menguatkan konsolidasi demokrasi ke arah yang lebih baik. 

“Ini penting sebagai upaya proses konsolidasi demokrasi ke depan melalui anggota DPR lewat peraturan perundang-undangan. Sebab demokrasi tanpa hukum itu akan kehilangan arah,” katanya.

Sementara itu, menurut Sekretaris JPPR Sulawesi Utara, Mulyadi Tuhatelu, bahwa tugas dari lembaganya adalah terus memberikan edukasi kepada pemilih terkait dengan pentingnya hak pilih tersebut.

“Jadi JPPR hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan pendidikan pemilih, bahwa satu suara itu sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia,” ujarnya.

Mulyadi pun mencontohkan di Amerika Serikat. Katanya, saking pentingnya hak pilih di negeri yang dijuluki Paman Sam tersebut, maka bagi yang tidak menggunakan hak pilihnya bakal berhadapan dengan pidana.

“Dengan gambaran ini menjadi jelas bahwa pemilu sangat menentukan masa depan suatu negara. Sebab di sana dipertaruhkan nasib rakyat Indonesia,” tutup Mulyadi.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bolsel, Sulawesi Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *