Social Media

Belajar Kehidupan Masyarakat Tionghoa Banjar Lewat Film “Di Arus yang Sama”

Komunitas GUSDURian Banjarmasin bersama Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar nobar dan diskusi film di Aula PSMTI Kalsel pada Rabu, 19 Juli 2023.

Kegiatan yang diselenggarakan bertepatan dengan Tahun Baru Islam tersebut dihadiri oleh para tokoh agama hingga orang-orang muda pegiat toleransi dari berbagai agama. Adapun pemateri yang mengisi acara adalah Sugiharto Hendratta dari PSMTI Banjarmasin, Arif Rahman Hakim, dan Nur Ana Mila dari GUSDURian Banjarmasin. Diskusi film ini dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Arief Budiman selaku koordinator GUSDURian Banjarmasin menyampaikan sambutan pertama. Menurut pria yang juga mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin tersebut, Forum 17-an bisa dijadikan sebagai ajang untuk menjalin kebersamaan dalam jejaring Komunitas GUSDURian Banjarmasin.

“Keakraban dan persahabatan hangat yang terjalin lewat Forum 17-an ini adalah sesuatu yang selaras dengan kepanjangan dari nama perjumpaan ini, yakni satu tujuan (1 7 an). Hal ini tentu menjadikan Jaringan GUSDURian dan PSMTI Kalimantan Selatan dalam cita-cita melanjutkan perjuangan Gus Dur sebagai bapak Bangsa semakin menggelora,” ungkap Arief.

Sedangkan sambutan kedua disampaikan oleh Ketua Harian dari PSMTI Kalimantan Selatan, Arifin Suritiono. Dirinya mengungkapkan rasa bahagia sekaligus senang karena lewat kerja sama dengan GUSDURian Banjarmasin, film berdurasi lebih dari satu jam ini bisa ditonton oleh banyak orang.

“Pengalaman panjang masyarakat Tionghoa di tanah Banjar yang telah didokumentasikan atas kerja sama antara PSMTI, LK3 Banjarmasin, dan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) akhirnya bisa disaksikan semakin banyak orang,” tutur Arifin.

Doa dalam kegiatan ini dipimpin oleh Pandita Tony Winata dari Vihara Dhammasoka. Acara kemudian dilanjutakan dengan menonton film berjudul Di Arus yang Sama. Film dokumenter berdurasi 1 jam-an ini merekam seluruh dinamika masyarakat Tionghoa, sejak kedatangan hingga hari ini. Walaupun hanya difokuskan di Kota Banjarmasin sebagai Melting Pot, tetapi banyaknya etnis, agama, dan beragam identitas yang berjumpa dalam kota ini menjadikan film Di Arus yang Sama menjadi film yang layak dan recommended untuk ditonton.

Sebagaimana disampaikan oleh Arif Rahman Hakim, dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Banjarmasin, bahwa film ini sangat padat dengan data-data sejarah yang sangat berharga. Film ini menunjukkan identitas yang terbentuk dalam beragam model akulturasi di masyarakat yang tinggal di Kota Banjarmasin, termasuk Banjar dan Tionghoa.

Pria yang juga dikenal sebagai antropolog itu menyampaikan bahwa film ini cukup jelas menggambarkan etnis Banjar dan Tionghoa yang saling meminjam dan memengaruhi dalam tradisi dan kebudayaan, bahkan di kehidupan sehari-hari. Di tengah perjumpaan beragam etnis di kota Banjarmasin tersebut, lanjutnya, kemunculan diksi “Cina Banjar” di tengah masyarakat Banjar membuktikan persilangan budaya telah melahirkan identitas baru tersebut.

Sebelumnya, Arif menceritakan irisan awal antara masyarakat Banjar dan kelompok Tionghoa yang direkam dalam kisah dalam karya legendaris J. J. Ras berjudul Hikajat Bandjar, yang disebutkan memiliki Resensi Kedua, yang berjudul Tutur Candi. Dalam karya J.J. Ras tersebut disebutkan ada interaksi leluhur masyarakat Banjar yang telah berlangsung lama, jauh sebelum kota Banjarmasin lahir.

“Film ini merekam bagaimana kelompok Tionghoa Banjar yang melakukan interaksi lewat ruang-ruang publik. Jalur perdagangan, mungkin, adalah jalur awal perjumpaan paling massif kedua etnis tersebut,” ungkapnya.

Di sisi lain, Arif menyoroti bagaimana terjadinya proses akulturatif dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa dan Banjar. Hal ini digambarkan secara cukup besar dalam film yang dibagi dalam tiga bagian tersebut.

“Makanan khas Banjar juga beririsan dengan makanan-makanan di masyarakat Tionghoa, seperti kecap, sirup, hingga onde-onde. Selain makanan, masyarakat Tionghoa Banjar juga menggunakan mantra dalam bahasa Banjar. Hal ini merupakan praktik budaya yang saling memengaruhi di antara kedua etnis,” pungkas Arif.

Sebelumnya, Sugiharto Hendratta sebagai pemateri pertama juga menyampaikan bahwa pergulatan kehidupan masyarakat Tionghoa Banjar ini, lebih banyak terpendam dan seakan terabaikan. Menurut Sugi, panggilan akrabnya, banyak cerita-cerita dari masyarakat Tionghoa Banjar yang dihadirkan dalam film Di Arus yang Sama, memang dimaksudkan untuk memberikan gambaran bagaimana sejarah dan dinamika bagi siapa saja yang tertarik atas sejarah dan dinamika kehidupan Tionghoa di tanah Banjar.

Menurut Sugi, film tersebut merekam kisah-kisah dari kelompok Tionghoa dalam beragam peran dan aktivitas di tengah kehidupan Kota Banjarmasin yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sugi juga menambahkan fakta salah satu tokoh Cina peranakan asal Banjarmasin, yakni Lim Koen Hian, turut berperan besar dalam berdirinya bangsa Indonesia.

Sosok sahabat dari Presiden Soekarno tersebut terpilih dalam BPUPKI (Badan Persiapan Usaha-usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia). Peran lainnya yang tak kalah hebat adalah Lim yang beraktivitas sebagai wartawan ini juga dikenal sebagai salah satu pendiri Partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932.

Pendirian Partai tersebut bukan untuk mengkotak-kotakkan etnis, tetapi malah memperkuat kesadaran nasionalisme dan pengakuan Indonesia sebagai tanah air bagi kelompok Tionghoa. Bahkan, menurut peneliti sejarah Tionghoa dan pegiat Komunitas GUSDURian Banjarmasin ini, sosok Lim yang telah menjadi tokoh nasional namun tidak melupakan Banjarmasin sebagai tempat asalnya. Di tengah kesibukannya, Lim juga membangun apotek bernama “Kalimantan” yang nantinya menjadi penyuplai obat-obatan bagi para pejuang kemerdekaan di tanah Banjar.

Menurut Sugi, kehadiran dan pergumulan kelompok Tionghoa Banjar di tengah keseharian masyarakat Kota Banjar tidak saja turut mewarnai tradisi dan budaya. Namun, mereka bersama masyarakat Banjar juga berbagi sejarah dalam membangun Bangsa Indonesia ini.

Sedangkan, Nur Ana Mila, pegiat Jaringan GUSDURian Banjarmasin, menceritakan kisah-kisah dalam kesehariannya yang beririsan dengan masyarakat, tradisi, bahkan hingga urusan keseharian dengan kelompok Tionghoa. Di antaranya, pengalaman Ana saat melihat komplek pemakaman Tionghoa, yang disebut Bong China, yang bersisian dengan pondok pesantren dan majelis taklim salah satu ulama besar di tempat asalnya.

Pengalaman soal pemakaman hanya sebagian dari pengalaman yang diceritakan Ana. Dia juga mengisahkan berjumpa dengan altar sembahyang milik kelompok Tionghoa, yang menjadi awal keingintahuan Ana pada masyarakat Tionghoa bertumbuh.

Walaupun dilaksanakan pada malam hari dan baru selesai cukup larut malam, diskusi tersebut tidak membuat para penonton film dan peserta acara ini bosan dan pulang lebih awal. Dihadiri lebih dari 50 orang penonton/peserta di mana sebagian besar adalah undangan dan jejaring Komunitas GUSDURian Banjarmasin, pemutaran film ini diharapkan dapat memberikan “sudut pandang” yang lebih inklusif dan terbuka di setiap perbedaan kepada seluruh peserta. Para penanya dalam kegiatan ini juga memberikan kritik dan saran dari teknis hingga materi terkait film, namun semuanya mengapresiasi kemunculan film tersebut.

Hal ini ditegaskan oleh ketiga pemateri, bahwa kesadaran akan kebudayaan kita hari ini tidak dibangun dari satu identitas saja adalah hal bagus. Sebab, budaya, termasuk di masyarakat Banjar, seringkali mengalami akulturasi atau sering meminjam dan memengaruhi/dipengaruhi oleh budaya lain, dalam hal ini masyarakat Tionghoa Banjar. Kesadaran ini tentu penting untuk memahami rasa dan pengetahuan sebagai bangsa yang toleran, terbuka, dan saling menghargai. Nilai ini memang sejalan dengan apa yang telah diajarkan dan diperjuangkan oleh Gus Dur.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.