Social Media

Membangun Kejujuran Pemilu pada Masyarakat yang Religius, Mudahkah?

Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler. Sebutan Indonesia adalah sebagai religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan. Artinya, setiap warga negara Indonesia memiliki agama sesuai Pancasila sila yang pertama.

Hasil survei “The Global God Divide” dari Pew Research Center (Amerika Serikat) tahun 2020 menyatakan Indonesia berada di peringkat teratas sebagai negara paling religius. Sehingga, warga negara Indonesia idealnya dapat mengamalkan nilai-nilai kejujuran. Mengingat, setiap agama mengajarkan kejujuran, etika, dan moral pada setiap bidang kehidupan manusia.

Namun, pada bidang politik, Indonesia masih rawan diwarnai dengan ketidakjujuran. Padahal ketidakjujuran adalah pelanggaran terhadap semua norma agama dan hukum. Misalnya, praktik pembagian uang untuk mendapatkan suara dilakukan oleh calon legislator (caleg) atau partai politik (parpol) dalam pemilihan umum (pemilu). Istilah lain yang populer adalah “serangan fajar”. Kondisi ini akan semakin parah apabila jual beli suara (suap) dalam pemilu dianggap biasa dan menjadi penyakit dalam kehidupan berdemokrasi.

Lalu apakah tidak ada korelasi antara politik dengan moral masyarakat (Indonesia) yang religius? Menurut Durkheim bahwa moralitas sosial (moral suatu masyarakat) muncul karena fakta sosial, struktur sosial, dan nalar sosial. Pendapat ini diperkuat adanya dikotomi bahwa orang yang khusuk dalam beribadah (saleh ritual) belum tentu saleh sosial. Hal ini disebabkan karena orang yang beribadah hanya dipahami untuk melaksanakan tugas vertikal (menjalankan perintah Allah, Tuhan) semata. Padahal, ibadah kepada Tuhan juga harus dipahami sebagai prasyarat menjalankan tugas horizontal atau sosial.

Sejarah mencatat bahwa praktik jual beli suara telah terjadi sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Salah satu partai ketika itu membagikan uang. Partai tersebut berusaha memperoleh suara dari para tokoh di tingkat lokal agar dapat menang dalam pemilu. Data Lembaga Survei Nasional (LSN) tahun 2014 sebanyak 69,1% bersedia mau menerima uang dari caleg atau partai tertentu. Sedangkan riset doktoral dari Burhanuddin Muhtadi menyatakan bahwa tahun 2014 sekitar 33% (sepertiga) dari pemilih mengatakan pernah mendapat tawaran menerima suap untuk memilih calon atau partai tertentu. Data ini tentu hanyalah gambaran kecil kecurangan pemilu di Indonesia.

Lalu apakah ada keuntungan dalam praktik jual beli suara dalam pemilu? Praktik suap dalam pemilu beresiko menyebabkan kerugian kandidat. Target yang disasar mendapatkan uang belum tentu merupakan pemilih yang loyal, tetapi justru pada pemilih yang bebas atau tidak mengikatkan diri terhadap suara dan bahkan tidak ada jaminan menggunakan hak suara mereka (golput). Oleh sebab itu, kerugian material menjadi resiko yang mungkin terjadi oleh kandidat. Secara ringkas, bahwa suap menyuap dalam pemilu memiliki dampak yang kecil dalam memengaruhi pemilih (hanya mencapai 11%).

Tantangan kejujuran dalam pemilu pada masyarakat religius bukanlah persoalan mudah. Setidaknya ada tiga problem besar yang harus dihadapi. Pertama, relasi kelompok pendukung dan caleg atau partai politik menjadi relasi yang saling menguntungkan. Partai atau caleg kemudian memberikan imbalan sebagai bentuk hubungan kerja sama (material dan sosio-kultural) kepada pendukung.

Kedua, sistem pemilu mendorong penghalalan segala cara supaya caleg dapat menang. Sehingga, kompetisi bukan saja terjadi karena beda partai, tetapi juga dalam internal partai. Ketiga, ada ruang atau rawan terjadi manipulasi data pada sistem pemilu di Indonesia. Manipulasi data dapat dilakukan pada data pemilih dan data rekapitulasi perhitungan suara yang berjenjang.

Inti dari semua itu adalah “jujur” atau integritas. Jujur dalam kajian agama bukan saja urusan dengan sesama manusia, tetapi juga urusan manusia dengan Tuhan. Kata “integritas” menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit diaplikasikan tanpa usaha yang kuat. Integritas harus menjadi sebuah prinsip hidup bagi seorang yang beragama dalam konteks apa pun.

Dalam konteks pemilu, maka seorang pemilih tidak mau menerima suap untuk memilih kandidat tertentu hanya dengan alasan mendapatkan uang atau barang tertentu. Para penegak hukum juga harus mampu melawan godaan “suap di pemilu”. Partai politik dan caleg pun juga tidak perlu membeli suara rakyat.

Masyarakat yang berideologi Pancasila dan hidup dalam negara yang demokratis harus memiliki integritas. Kejujuran adalah kewajiban sebagai insan yang beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga, tercipta negara Indonesia yang “baldatun toyyibatun warobbun ghofur” (negara yang baik seluruh penduduknya dan memiliki perilaku yang baik sehingga selalu mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa).

Penulis.