Kebebasan yang Mendamaikan: Menyoal Penodaan Agama hingga Hak Asasi Manusia

Tahun 2022 lalu, Freedom House (Amerika Serikat) telah merilis laporan yang memberikan skor kebebasan (liberty) terhadap 208 negara di dunia. Penilaian tersebut berdasarkan pada level pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak berserikat dan berorganisasi, supremasi hukum, serta hak individu. Finlandia, Norwegia, dan Swedia menjadi negara bertahan yang berada pada posisi tertinggi dengan nilai 100.

Finlandia merupakan negara parlementer dengan sistem kompetisi multipartai yang kuat dan pemilu dijalankan secara adil dan bebas. Pada tingkat korupsi, Finlandia merupakan tiga negara yang paling anti-korupsi bersama dengan Denmark dan Selandia Baru. Kebebasan beragama, berbicara, dan berserikat di negara Finlandia sangatlah dihormati. Kelompok etnis minoritas dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menikmati hidup.

Indonesia hanya memiliki skor 58 dan menurun dari waktu sebelumnya yaitu 59 skor. Padahal, Indonesia telah menjamin rakyatnya untuk bebas berpendapat. Kebebasan pendapat adalah amanat konstitusi dan sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. Indonesia juga memiliki regulasi dalam menjalankan pemilu adil dan bebas.

Beberapa hal kekurangan perlu diakui pada bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kasus penodaan agama. Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) mencatat bahwa sejak 2014 hingga tahun 2022 kasus penodaan agama di Indonesia mengalami kenaikan. Kasus penodaan agama selama delapan tahun terakhir mencapai 122 kasus. Kasus ini lebih besar dari 10 tahun sebelumnya (2004-2013) yang hanya 54 kasus. Kasus penodaan agama tersebut menjadi deretan pelanggaran pada kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berekspresi.

Kebebasan harus disesuaikan dengan norma dan etika dalam masyarakat. Eksistensi manusia akan selalu terikat dengan hukum yang mengikat. Kebebasan tersebut bukanlah tanpa batas. Tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas. Setiap kebebasan ada keterbatasan dan pada setiap keterbatasan ada kebebasan. Maka benar apa yang dikatakan oleh Nelson Mandela (pengacara dan politikus dari Afrika Selatan, 1918-2013): “To be free is not merely to cast off one’s chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others.” (Untuk bebas tidak hanya membuang satu rantai. Tetapi untuk hidup dalam rasa saling menghargai dan memperbesar kebebasan orang lain).

Lalu apa makna hakikat kebebasan? John Stuart Mill (filsuf dari Inggris, 1806-1873) menjelaskan bahwa kebebasan adalah mengejar yang baik, dengan cara yang baik, dan tanpa harus menghilangkan pandangan atau mendapatkan sesuatu yang dianggap orang lain baik. Menurutnya, kebebasan adalah indikator kebahagian setiap individu. Kebebasan bersifat eksistensial, keberadaan manusia ditentukan oleh ada dan tidaknya kebebasan.

Sikap mengganggu kebebasan manusia hanya dapat dibenarkan apabila sebagai upaya perlindungan (proteksi) diri. Oleh sebab itu, setiap manusia wajib memperhatikan hak (rights) karena manusia sering melakukan tindakan yang bias (pembenaran, justification), prediksi jangka panjang yang tidak tepat, dan akal yang sering ditutupi oleh emosi negatif (rasionalisasi). Hak merupakan dasar bersama untuk memandu setiap keputusan. Hak dasar yang disepakati inilah yang kemudian sekarang dikenal dengan hak asasi manusia (HAM).

Kebebasan akan terjadi apabila terjadi dalam dua sisi, yaitu dalam bentuk melindungi diri (self defense) dan menyerang untuk meruntuhkan (offence). Bentuk hak dalam perlindungan diri (self defense) minimal ada tiga bentuk jaminan, yaitu jaminan hidup (life), jaminan bebas (liberty), dan kebebasan hak milik (property). Sedangkan, sikap meruntuhkan adalah sikap melawan mayoritas (against “tyranny of the majority”) dengan tujuan untuk mendengarkan kaum minoritas. Sehingga, semua pihak mendapatkan hak yang sama untuk bebas berpendapat (freedom of speech). Ketika kebebasan individual atau sosial diganggu oleh pihak lain maka negara harus berperan melakukan intervensi. Intervensi negara dilakukan agar tidak ada perusakan satu pihak dengan pihak lainnya tanpa alasan yang jelas (irasional).

Bagaimanakah kebebasan yang mendamaikan?

Aristoteles (filsuf Yunani, 384 SM-322 SM) menyatakan bahwa rasional merupakan ciri khas manusia. Pendapat agak berbeda dengan Eric Weil (filsuf Prancis-Jerman, 1904-1977) dengan menyatakan bahwa manusia bisa rasional dan bisa irasional. Kehidupan yang didasari atas irasional akan berdampak pada kehidupan yang penuh dengan kekerasan, individual, dan instingtif. Hal ini disebabkan karena sikap yang irasional mendorong manusia bertindak berdasarkan nafsu, egoisme, dan untuk memenuhi kebutuhan pribadi semata.

Maka, kebebasan yang mendamaikan adalah kebebasan atas dasar rasional. Salah satu dari indikator rasional adalah kehidupan yang terbuka untuk melakukan dialog. Dialog dilakukan sebagai bentuk menghindari segala bentuk kekerasan. Kekerasan merupakan segala cara dan sikap yang bertentangan dengan akal sehat, tidak manusiawi, dan tindakan yang anti kebijakan (hikmah). Perdamaian diwujudkan dalam hukum moral yang bersifat universal dan harus ditaati oleh semua orang. Selain itu, kedamaian tidak dapat terwujud dengan keterpaksaan, tetapi harus dengan sikap bijaksana dan pilihan sadar pada setiap individu.

Penulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *