Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo menggelar Forum 17-an dengan mengusung tema “Gus Dur, Islam dan Demokrasi” berlokasi di Tropical Space, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Jumat (25/08/2023). Forum 17-an merupakan bagian dari Gerakan 17-an yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas Jaringan GUSDURian di berbagai daerah.
Diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Kepala Balitbang Agama Makassar sekaligus Pembina GUSDURian Sulawesi Papua (Sulampapua) Dr. Saprillah Syahrir, Akademisi Universitas Negeri Gorontalo dan Alumnus Religious GUSDURian Dr. Samsi Pomalingo, dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo Dr. Terri Reppi.
Dalam paparannya, Dr. Saprillah Syahrir menuturkan, Gus Dur merupakan simbol dari gerakan demokrasi substansial di tengah demokrasi yang dikuasai oleh otoritarianisme, yaitu Suharto. Dalam upayanya, kata Saprillah, Gus Dur membuat satu lembaga yang bernama Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam).
“Lembaga yang dibangun oleh Gus Dur, menjadi prototyping intelektual muda NU di Indonesia yang kemudian menjadi wajah demokrasi di Indonesia. Sebenarnya kalau kita membincang demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri dari percakapan seberapa kuat kelompok sipil mengimbangi negara,” kata Saprillah saat menjadi narasumber pada diskusi 17-an.
Namun, kata Kepala Balitbang Agama Makassar itu, belakangan ini arah kelompok sipil mulai tidak jelas diakibatkan terlilit dengan kepentingan politik.
Lanjut Saprillah, Gus Dur menginginkan demokrasi sebagai ruang yang lebih substansial melalui tiga hal, yaitu keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan umat.
“Tiga hal ini sebenarnya yang ingin didorong oleh Gus Dur melalui demokrasi. Ini menjadi kata kunci dalam demokrasi yang belum kita temukan. Jadi, demokrasi yang kita pahami saat ini sangat prosedural. Memang kita akan menemukan pemimpin-pemimpin dari berbagai kelompok, tetapi pemimpin yang tampil dalam kontestasi politik belum bisa menerjemahkan apa yang dimaksud dari keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan umat,” ujar Saprillah.
Ia mencontohkan polemik relasi mayoritas dan minoritas di Indonesia, atau antara kelompok jumlah massa yang besar dan kecil. Menurutnya, kelompok minoritas masih berhadapan dengan banyak sekali tantangan, salah satunya dilihat dari persoalan pembangunan rumah ibadah non-Muslim.
“Soal rumah ibadah, masih banyak sekali kelompok minoritas yang tidak bisa mendirikan rumah ibadah secara leluasa. Begitu juga di Gorontalo, ada Perda yang mengatur pendirian rumah ibadah non-Muslim di luar dari Kelurahan Tenda (wilayah di Kota Gorontalo yang banyak bangunan gereja). Artinya ini kan pembatasan hak, dan ini menjadi satu isu penting dalam demokrasi. Menurut saya, ketika teman-teman ingin menguji para pemimpin kita, jika bisa mencapai keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan umat, melalui kelompok minoritas ini,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Samsi Pomalingo menjelaskan, pemikiran Gus Dur terkait demokrasi, Gus Dur menawarkan demokrasi prosedural dan substansial. Saat ini menurut Samsi, demokrasi yang dipraktikan di Indonesia adalah prosedural.
“Gus Dur menginginkan demokrasi lebih pada demokrasi substantif. Kepemimpinan itu harus mempertimbangkan kemaslahatan umat, ini barangkali menjadi basis epistemologis pemikiran Gus Dur terkait apa yang harus dilakukan oleh negara terhadap rakyat,” kata Samsi saat memaparkan pandangannya terkait pandangan Gus Dur terhadap demokrasi.
Kemudian terkait pandangan Gus Dur terhadap Islam, menurut Samsi, Gus Dur memahami Islam sebagai gerakan sosial yang transformatif, yaitu agama yang melindungi kelompok-kelompok minoritas.
“Dalam perspektif Gus Dur, agama tidak sama dengan yang dikritik oleh Marx. Justru agama menjadi kekuatan pembebas yang bisa mengubah keadaan kelompok-kelompok yang dianggap tertindas. Gus Dur menempatkan agama bukan sebagai ideologi, tapi sebagai sebuah kekuatan gerakan untuk membebaskan kelompok-kelompok baik itu dari praktik developmentalisme. Serta agama menjadi nilai sangat penting bagi pemeluknya,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Dr. Terri Reppi menjelaskan bahwa Gus Dur merupakan sosok yang diterima oleh semua kalangan. Di daerahnya, Sulawesi Utara yang mayoritasnya beragama non-Muslim, saat dikunjungi Gus Dur, para pendeta menyambut dengan megahnya dibanding saat kelompok Calvinis mendatangi Sulawesi Utara.
“Gus Dur pernah disambut oleh gereja di GMIM di Minahasa. Sebagai perbandingan, ada Calvinis dari Jerman datang itu tidak semewah Gus Dur saat pendeta menyambutnya. Itu salah satu bukti bahwa Gus Dur diterima di daerah, atau di wilayah dengan jumlah minoritas agama Islam,” kata Terri.
Terri juga menjelaskan upaya Gus Dur dalam pembebasan pers pasca-reformasi. Menurutnya, pers adalah bagian dari demokrasi, sehingga Gus Dur adalah sosok yang terlibat dalam membebaskan pembredelan media pada tahun 1998.
“Dengan membubarkan Departemen Penerangan, Gus Dur melihat bahwa pembungkaman media juga berarti pembungkaman demokrasi, itulah kemudian menurut saya adalah hal yang menarik dari sosok Gus Dur. Meskipun beliau mantan Presiden Republik Indonesia namun beliau adalah individu yang kemudian berbicara terhadap wacana demokrasi secara umum bahkan sebelum beliau menjadi presiden,” kata Terri.
Menurut Terri, Gus Dur merupakan representasi dari kelompok mayoritas, namun ia memandang Islam sebagai gerakan sosial untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas yang ada di Indonesia.