Social Media

Gus Dur dan Angan-Angan Demokrasi Kita

Bagai air zam-zam yang tak henti mengalir, Gus Dur selalu kita bahas pemikiran, sejarah kehidupan, tingkah-polah, sampai selera musiknya. Tentunya, semua elemen Jaringan GUSDURian di seluruh Indonesia menghelat peringatan hari lahir Gus Dur mulai 4 Agustus – 7 September. Acara itu beraneka-ragam tema dan bentuknya. Ada yang menyelenggarakan bioskop rakyat, diskusi refleksi pemikiran Gus Dur, dan lain sebagainya.

Mula-mula, kita mendapati info berupa diskusi tematik Masa Depan Indonesia: Belajar Dari Gus Dur. Acara yang digelar pada Jumat, 4 Agustus 2023 lewat jaringan itu membahas empat tema, yakni Gus Dur dan Keadilan Gender, Gus Dur dan Pribumisasi Islam, Gus Dur dan Keadilan Ekologi, serta Gus Dur dan Demokrasi. Kita mengikuti diskusi sesi terakhir dengan tema Gus Dur dan Demokrasi.

Di sesi itu, yang menjadi narasumber ialah Abdul Gaffar Karim yang difasilitatori oleh Rifqi Fairuz. Narasumber mengungkap pentingnya demokrasi bisa terwujud dengan suara (voice) rakyat yang terbuka, yang kemudian menjadi syarat terciptanya masyarakat madani (civil society).

Gus Dur dan Rapat Akbar

Apa yang diungkapkan Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu menyengat ingatan kita terkait apa yang dilakukan oleh Gus Dur dalam menegakkan tiang demokrasi di Orde Baru yang sulit karena tanah buat menancapkan tiang demokrasi sangat keras. Greg Barton, dalam Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid) terbitan IRCISoD 2020 mengisahkan bahwa Gus Dur adalah sang penggembala rakyat yang menggiring menuju (dan mewujudkan) demokrasi yang terjerembab dalam otoritarianisme.

Saat menjabat sebagai Ketua PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam rangka Milad NU ke-66 pada 1 Maret 1992. Menurut Gus Dur, Rapat Akbar tersebut merupakan bagian kampanye untuk menjauhkan sektarianisme dalam kancah perpolitikan Indonesia dan menghadapi gempuran kuat yang dilakukan Soeharto. Dalam menghelat Rapat Akbar ini, Gus Dur hampir tidak berkonsultasi dengan rekan-rekannya di tubuh NU. Itulah yang menjadi watak khas Gus Dur.

Ketika itu, Gus Dur mengalami tekanan (pressure) dari pemerintahan Orde Baru agar NU menyatakan dukungannya kepada Soeharto untuk masa jabatan presiden berikutnya. Kegiatan-kegiatan Gus Dur yang kontroversial, termasuk mengumpulkan warga NU dalam Rapat Akbar menjadi peristiwa di mana seluruh warga NU berikrar untuk menerima Pancasila.

Hal itu menjadi bukti bahwa NU menyetujui pendekatan yang moderat dan toleran dalam mengikutsertakan Islam dalam ranah masyarakat modern. Kita tahu, bahwa waktu itu, perkumpulan-perkumpulan sangat dilarang karena dianggap akan membahayakan negara, namun—karena kelincahan Gus Dur—Soeharto mengizinkan acara itu berlangsung, terlebih untuk mengadakan dukungan kepada Pancasila, meskipun tidak seluruh warga NU se-Indonesia hadir.

Karena, di Jawa Timur, polisi memutarbalikkan bis-bis yang ditumpangi warga NU. Meski demikian Rapat Akbar NU yang diadakan di Istora Senayan, Jakarta berhasil menghadirkan sekitar 150.000 sampai 200.000 kaum Nahdliyin. Gus Dur menganggap Rapat Akbar itu berhasil di samping Gus Dur agak marah kepada Soeharto, karena ia menyabotase warga NU yang akan menuju ke Rapat Akbar.

Pada gilirannya, Gus Dur menulis surat kepada Soeharto. Surat itu berisi pernyataan bahwa NU merayakan Harlah NU ke-66 tahun, menegaskan komitmen NU terhadap Pancasila dan UUD 1945, dan menyatakan dukungan bagi pemilihan umum yang akan berlangsung dan sidang MPR yang bebas dari keributan. Dari “kelincahan” Gus Dur tadi, ia berhasil mengadakan perkumpulan terbesar di Indonesia sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru dalam 25 tahun terakhir.

Gus Dur dan “Suara Tuhan”

Keberhasilan Gus Dur mengadakan perkumpulan akbar melalui NU menjadi representasi dari suara rakyat. Suara rakyat adalah elemen penting dari demokrasi. Kalau kita merujuk kepada konteks bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai penguasa tertinggi, maka “suara rakyat adalah suara tuhan” (vox populi, vox dei).

Dengan kisah tadi, kita bisa menyebut—atau bahkan memberikan gelar—Gus Dur sebagai “nabi demokrasi”. Karena ia menyampaikan risalah dan nubuwah akan demokrasi sebagai suara Tuhan. Gelar itu, nampaknya tidaklah berlebihan dan pas. Mengingat, selain kelincahan dan keberhasilannya mengadakan perkumpulan akbar NU, Gus Dur juga merupakan aktivis Forum Demokrasi di Orde Baru yang bisa kita anggap sebagai “jahiliyah demokrasi”.

Bagi Gus Dur, demokrasi harus ditegakkan dengan kokoh. Untuk itu, kita membaca kumpulan tulisan Gus Dur yang bertajuk Tuhan Tidak Perlu Dibela (Noktah, 2017). Buku bersampul Gus Dur tertawa-menganga dan bisa membikin gaduh karena judulnya yang nyeleneh itu, memuat puluhan tulisan Gus Dur yang tersebar di media cetak pada dekade 70-an sampai 90-an.

Kita membuka esai berjudul Demokrasi Haruslah Diperjuangkan. Esai yang sebetulnya termuat di Majalah Tempo edisi 12 Agustus 1978 itu berisi harapan dan pantikan semangat untuk memperjuangkan demokrasi.

Bahwa, demokrasi harus ditegakkan seiring dengan munculnya aspirasi-aspirasi dari masyarakat yang sudah sadar akan pentingnya demokrasi. Menurut Gus Dur, kalau seluruh elemen masyarakat tidak sungguh-sungguh mengumandangkan perjuangan untuk menegakkan demokrasi, maka gelombang aspirasi tadi akan terbendung oleh kekuatan anti-demokrasi dari negara. Makanya, kita harus dituntut untuk bersama-sama memperjuangkan perjuangan penegakan demokrasi di negeri ini.

Begitulah. Apakah angan-angan Gus Dur mengenai demokrasi sudah menjadi kenyataan? Mampukah Jaringan GUSDURian seantero Nusantara melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Gus Dur untuk mengakomodir aspirasi masyarakat demi tercapainya cita-cita yang bernama demokrasi?

Penggerak Komunitas GUSDURian Sukoharjo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *