Nilai-Nilai Keislaman dalam Praktik Kehidupan Orang Mandar

Jika kita menyoal Islam yang dari asal katanya bermakna kedamaian, tentulah realisasinya juga harus merujuk pada makna substansialnya itu. Bukan malah sebaliknya, yang keluar dari koridor makna Islam itu sendiri. Namun, dewasa ini banyak kita jumpai peristiwa-peristiwa yang justru tidak sesuai dengan makna Islam. Misalnya seperti pemenggalan empat orang di Sigi yang dilakukan oleh MIT (Mujahidin Indonesia Timur) tahun 2020 lalu. Tidak hanya peristiwa itu saja, belakangan pun banyak sekali kasus-kasus yang merusak citra Islam.

Aksi radikalisasi-ekstremisme itu seakan tidak pernah absen setiap tahunnya, dan pastinya tidak hanya satu kasus, melainkan ada beberapa deretan kasus. Mungkin saja karena sudah kelewat mesra bergumul dengan doktrinisasi dan dogmatisasi agama, sehingga sifat fanatisme itu mudah saja melanggar kemanusiaan. Sikap-sikap fatalistik tersebut tidak boleh dibiarkan terus menggema karena ia akan terus memakan korban.

Tindakan-tindakan mensosialisasikan Islam rahmatallil ‘alamin dalam segala ranah harus terus digaungkan sebagaimana yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW. Tindakan mencederai citra islam tak boleh dibiarkan terus menerus, akan tetapi juga tak boleh dilawan dengan cara-cara yang mereka lakukan. Karena segala tindakan kekerasan atas nama apa pun tidak boleh dilegitimasi dan ditolerir. Melakukan kekerasan dengan dalih agama sungguh tidak dibenarkan. Bagi saya, yang pantas disebut penista agama sebenarnya ialah orang-orang yang menjual agama atau berdalih atas nama agama dalam kekerasan.

Hari ini, kita melihat Islam yang sudah menyebar ke segala penjuru dunia, termasuk sampai pada tanah Mandar. Proses-proses yang dilewati tentulah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ribuan rintangan yang dihadapi menjadi tingkat kesukaran dalam penyebarannya. Berbeda dengan fase-fase awal Islam yang selalu melalui berbagai macam peperangan hingga fase dinasti yang tidak terlepas dari ekspansi wilayah, proses penyebaran Islam di Mandar dihadapkan pada tantangan agama-agama lokal dan tidak bolehnya memperlihatkan citra buruk seperti pertumpahan darah.

Penyebaran Islam dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Dakwah yang dilakukan harus berhadapan dengan tradisi-budaya orang kampung, di mana tradisi tersebut sudah melekat sangat dalam. Tapi hal itu tidak menjadi penghalang karena ada ribuan cara juga yang bisa dilakukan. Saya teringat dengan salah satu obrolan saya dengan dosen saya, beliau mengatakan, “Islam mudah diterima di tanah Mandar karena orang-orang Mandar itu mempunyai kekuatan keyakinan yang sangat besar, meskipun yang sampai di Mandar itu hanya cerita-cerita Nabi dan mushaf Al-Qur’an, tetapi mereka mudah mengimani itu sebagai ajaran yang benar, meski tidak terlepas juga dari cara ulama penyebar Islam itu berkomunikasi”.

Dari tradisi-budaya lokal tersebutlah yang diislamisasikan. Misal seperti bakar dupa (di mana tradisi ini sama seperti ritual keagamaan dalam Hindu-Buddha) itu tidak sontak dihilangkan saja, melainkan dikawinkan dengan nilai keislaman dengan memasukkan bacaan zikir dan do’a-do’a munajat kepada Tuhan. Banyak kemudian praktik-praktik kehidupan yang desah napasnya bernilai Islam. Selama ini saya menyaksikan sendiri seperti larangan orang tua agar kita tidak makan saat petang (istilah orang tua “da’a immande mua’ mariwiang matei”), ini sebenarnya mengandung perintah untuk mengutamakan shalat Maghrib karena memang bertepatan waktu shalat Maghrib.

Tidak hanya itu ada juga saya temui larangan agar tidak makan dan minum sambil berdiri: “dao mande anna’ pandundu keqde-keqde apa nanandeo kanene” (jangan makan dan minum berdiri karena kamu akan dimakan buaya). Meskipun penekanannya di situ akan dimakan buaya, tetapi itu ternyata berkorelasi dengan hadis Nabi yang melarang orang makan dan minum secara berdiri (HR. Muslim) dan juga berkorelasi dengan dunia kesehatan karena itu bisa menyebabkan gangguan sistem pencernaan, perut kembung, makan berlebihan, hingga tersedak.

Ada juga istilah “dao pattolloi litaq wai loppa’ mua ndani muissang carana” (jangan menumpahkan air panas pada tanah jika tidak tahu caranya). Kenapa seperti itu? Karena begitu dimuliakannya tanah, mengingat manusia itu tercipta dari tanah. Artinya ada perlakuan kemanusiaan terhadap tanah itu sendiri, melihat tanah bukan sebagai benda mati dan objek semata, tapi ia adalah sesuatu yang hidup dan mesti diperlakukan selayaknya sesuatu yang hidup. Tidak hanya terbatas pada hal itu saja, nilai keislaman itu juga dapat kita lihat dalam kehidupan sosial masyarakat seperti bergotong-royong membangun rumah panggung. Nilai keislamannya tentu ada pada tolong menolongnya sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2.

Saya kemudian mencoba menganalisis, jangan-jangan ulama dulu itu tidak mengajarkan Islam dengan memberitahukan bahwa ada hadis yang seperti ini atau ayat yang seperti itu. Jadi kita harus melaksanakan ini, tidak mentok di argumentatif lewat nukilan dalil itu saja. Tapi mereka betul-betul langsung pada praktiknya, pada maksud dari dalil tersebut. Hal ini jadi pendorong asumsi saya karena ketika bertanya pada “orang kampung” apa dalil melakukan perbuatan ini, mereka tidak mengetahuinya, tetapi secara praksis tindakan sehari-hari mereka sudah berdasarkan hadis/sunnah Nabi.

Penggerak Komunitas GUSDURian Majene, Sulawesi Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *