Seolah menjadi tradisi kontestasi, pemilu selalu saja menghadirkan politik uang (money politic) di kalangan masyarakat. Calon kepala daerah yang ingin maju seolah mempunyai hutang yang harus dibayarkan. Jika tidak membagi uang atau sembako ke masyarakat, ia berpikir akan kalah dan tidak dipandang sebagai calon yang baik dan loyal.
Masyarakat pun seolah menyambut hal ini secara wajar. Ketika calon kepala daerah membagikan uang justru masyarakat dengan senang hati menerimanya. Padahal, jika dipikirkan lagi, uang sekitar 100-300 ribu rupiah itu tidak bisa menjamin masa depan yang akan dipimpin selama lima tahun bagi calon yang akan terpilih melalui politik uang tersebut.
Justru politik uang adalah sumber dari segala korupsi yang akan dilakukan para calon pejabat ketika ia terpilih nanti. Mengapa saya berpendapat politik uang adalah ibu dari segala korupsi? Saya akan jelaskan.
Di desa khususnya, praktik ini masih banyak berlangsung. Bagaimanapun kita mensosialisasikan anti-kampanye uang, tetap saja sulit rasanya. Karena mindset masyarakatnyalah yang mau adanya politik uang itu. Jika tidak, mereka mengira bahwa calon tersebut tidak punya kekuatan untuk dia pilih. Padahal memilih calon itu ya karena berdasarkan kemampuan dia memimpin, track record-nya, dan prestasi serta dampak apa yang akan dia berikan. Bukan karena uang.
Tentu saja seperti yang sudah-sudah calon yang mempraktikkan politik uang ini, setelah terpilih mereka hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk.
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi. Dari penelitian riset penulis, banyaknya keberhasilan dalam pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp5-15 miliar per orang untuk praktik kotor ini.
Politik uang atau yang kadang dikenal dengan ‘Serangan Fajar’ telah dilakukan sejak masa Orde Baru dan tampaknya menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 2019 yang menyebutkan bahwa masyarakat memandang Partai Demokrat sebagai ajang “berbagi rejeki”.
Dalam survei tersebut, 40% responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu namun tidak mempertimbangkan untuk memilihnya. Sedangkan 37% sudah menerima uang dan sedang mempertimbangkan memilih sponsor. Tidak hanya dari sudut pandang sosial, tetapi juga dari sudut pandang politisi, serangan fajar ini dibangun di atas tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap jual beli suara adalah hal biasa dan harus dilakukan untuk mengalahkan lawannya dalam pemilu. Ada dilema tahanan di kalangan calon. Mereka takut lawan akan melancarkan serangan subuh sehingga melakukan hal yang sama.
Dampak Buruk Politik Uang
Politik uang yang diterima oleh masyarakat tentu mempunyai banyak dampak buruk yang seolah sulit untuk dihentikan. Tentu saja praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin dan akan menghasilkan calon koruptor baru yang siap bermain anggaran dana untuk memenuhi segala modal yang telah ia keluarkan sebelumnya. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik.
Dan pada akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis sulit untuk independen dan jujur dalam bertindak, tergantung terhadap corporate yang telah memberikan ia modal besar serta bertanggung jawab mengembalikan modal tersebut dengan korupsi anggaran. Sosok pemimpin yang lahir dari politik uang ini bukanlah sosok yang berkompeten atau berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun dan tentu akan korupsi dengan cara apa pun pula. Mereka bukan sosok pemimpin yang ideal dan jauh dari kata baik.
Dampak yang nyata dirasakan tentu korupsi yang di tubuh internal instansi yang dipimpinnya maupun kepada masyarakat. Di internal, korupsi bisa terjadi dalam bentuk jual beli jabatan atau pada pengadaan barang dan jasa. Sedangkan dampaknya kepada masyarakat, akan terlahir regulasi yang tidak memihak mereka, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk kesejahteraan. Kerugiannya kepada masyarakat pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain. Dia juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Dalam hal ini, masyarakat mengalami kerugian langsung dan tidak langsung.
Jalan Terjal Memutus Belenggu Politik Uang
Di satu sisi kemarin, pernyataan Prabowo Subianto yang mengatakan, “Kalau ada yang bagi uang, terima saja uangnya, itu kan uang rakyat juga, tapi jangan pilih orangnya”. Perkataan ini terdengar lucu. Kita diminta untuk berpendirian teguh menolak politik uang tetapi beliau menyarankan untuk menerimanya.
Tentu dalam hal ini, masyarakat mesti menyadari bahwa mereka telah mempertaruhkan nasib dan masa depan bangsa maju atau tidaknya selama lima tahun dengan menjual suaranya dengan harga yang sangat murah. Hal ini tidak bisa lima tahun hanya diberikan amplop berisi Rp500 ribu untuk memilih orang yang tidak berintegritas. Berarti suara rakyat selama lima tahun hanya dihargai Rp100 ribu per tahunnya, atau Rp275 perak per harinya
Memutus belenggu politik uang harus disadari dari akar rumput itu sendiri. Selain sosialisasi, tentu juga harus berangkat dari kesadaran individu masing-masing. Kalau saja masyarakat tahu bahwa jalan mereka tidak diperbaiki, sekolah tidak dibangun, akses kesehatan buruk, stunting, dan seluruh kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh para pemimpin yang hanya bermodal uang.
Atas fakta tersebut, pendidikan menjadi modal penting dalam melawan korupsi. Itulah sebabnya KPK mencanangkan strategi Trisula, yaitu pendidikan, pencegahan, dan penindakan untuk memberantas korupsi. Dengan pendidikan antikorupsi yang baik, masyarakat yang cerdas akan mampu memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.