Alissa Wahid sebut calon pemimpin harus memastikan keadilan seutuhnya bagi seluruh warga negara. Hal ini disampaikan dalam sesi talkshow pada diskusi publik dan pembacaan maklumat politik ulama perempuan yang diselenggarakan oleh Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bekerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (20/11/2023).
“Ada tiga hal yang perlu kita dorong kepada calon pemimpin kita nanti. Pertama, mereka harus memastikan keadilan seutuhnya atau keadilan hakiki menjadi cara pandang utama. Kedua, mereka harus punya kebijakan yang berpihak pada kelompok yang terpinggirkan. Yaitu kelompok yang dilemahkan oleh sistem seperti disabilitas, masyarakat adat, dan perempuan. Ketiga, memastikan setiap agenda pembangunan membawa perspektif yang adil, termasuk adil gender, dan khas untuk perempuan (afirmasi),” papar Alissa.
Kegiatan yang mengangkat tema “Pemilu Bersih dan Bermartabat untuk Peradaban Berkeadilan” tersebut bertempat di Auditorium FISIP UIN Syarif Hidayatullah. Melalui pertemuan ini, KUPI ingin mengajak berbagai elemen bangsa untuk mengambil peran aktif dalam mengawal demokrasi dan pemilu agar berjalan dengan baik dan berada pada norma yang berlaku.
“Ini adalah bagian dari kontribusi KUPI untuk melakukan pendidikan kewargaan. KUPI ikut memastikan bahwa perjalanan sejarah bangsa kita bergerak ke arah yang kita harapkan,” tambah putri sulung Gus Dur tersebut.
Diskusi publik ini menghadirkan beberapa akademisi, ulama perempuan, dan aktivis perempuan. Di antaranya adalah Badriyah Fayumi (Ketua Majelis Musyawarah KUPI), Asep Saepudin Jahar (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian), Wiwi Siti Sajaroh (Kepala PSGA UI Syarif Hidayatullah), Dzuriyatun Toyibah (Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah), Alimatul Qibtiyah (Komisioner Komnas Perempuan), Gun Gun Heryanto (Dekan FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah (Peneliti PPIM UIN Syarif Hidayatullah).
Pada kesempatan lainnya, Dekan FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto menyebutkan bahwa pemilu bukanlah hajatan para elite. Pemilu adalah milik semua orang. Menurutnya, kualitas demokrasi Indonesia ditentukan salah satunya oleh baik-tidaknya terselenggaranya pemilu.
“Lalu apakah sekarang pemilu kita sudah kondusif? Ya kondusif dengan catatan kritis. Misal, jika kita bicara soal keterlibatan perempuan, kita biasanya terpaku pada DPR, padahal di DPRD sebenarnya masih sangat kurang. Jika kita membicarakan 30 persen keterwakilan perempuan, angka itu sebenarnya belum dikawal secara ketat terutama oleh masyarakat sipil. Nah, di sini peran KUPI, kampus, penyelenggara pemilu ini menjadi penting,” terang pria yang akrab disapa Gun Gun tersebut.
Sejalan dengan itu, Alimatul Qibtiyah selaku Komisioner Komnas Perempuan yang bergabung secara daring juga mengungkapkan bahwa kuota 30 persen keterwakilan perempuan belum terpenuhi dengan baik di berbagai level.
“Ini menjadi satu dari sembilan isu krusial yang penting kita sampaikan kepada pemimpin bangsa ini siapa pun yang nanti terpilih, yaitu tentang advokasi isu kepemimpinan perempuan,” ujar Alimatul Qibtiyah.
Menurutnya, ada beberapa PR bersama terkait isu perempuan ini. Mulai dari isu ruang budaya dan penghapusan kekerasan seksual pada perempuan, perempuan dan persoalan kelembagaan, hingga perempuan yang berkonflik dengan hukum.
“Perempuan menghadapi kerentanan ketika berhadapan dengan hukum, baik saat statusnya sebagai korban atau pelaku,” pungkasnya.
Di sini lain, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Dzuriyatun Toyibah menyampaikan pentingnya peran kelompok muda dalam memperkuat demokrasi Indonesia di masa depan. Dirinya menambahkan, pendidikan yang membebaskan menjadi penting dimiliki oleh para pemuda dalam menentukan calon pemimpin yang memperhatikan demokrasi.
“Kita berharap kelompok muda tetap menjadi pilar yang kita harapkan sebagai agen perubahan. Kelompok muda ini nantinya perlu memperteguh demokrasi kita. Pendidikan yang membebaskan di kampus dapat membuat kelompok muda tidak hanya memilih yang ‘asal muda’. Tapi juga memilih pemimpin dengan mempertimbangkan masa depan demokrasi di Indonesia,” ujar Dzuriyatun.
Sesi talkshow ini dipandu oleh Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah dan diikuti lebih dari 250 peserta, baik secara luring atau daring via streaming Youtube.