Social Media

Menuju ‘Toleransi Politik’ Menjelang Pemilu: Sebuah Refleksi Hari Toleransi Internasional

Hari Toleransi Internasional jatuh setiap tanggal 16 November pada setiap tahunnya. Pada momen refleksi Hari Toleransi Internasional menjadi momentum bersama untuk memperkuat semangat toleransi di tengah-tengah masyarakat dalam bingkai keberagaman. Jaringan GUSDURian di seluruh Indonesia turut merayakan nilai-nilai universal ini dengan mengadakan serangkaian kegiatan yang menekankan pentingnya hidup berdampingan dalam kerukunan. Menurut Friedrich Heiler, pengertian toleransi adalah sikap seseorang yang mengakui adanya pluralitas agama dan menghargai setiap pemeluk agama tersebut. Ia menyatakan, bahwa setiap pemeluk agama mempunyai hak untuk menerima perlakuan yang sama dari semua orang.

Indonesia sebagai negara multikultur dengan banyaknya suku ras, budaya dan bahasa maka untuk berkomunikasi lintas budaya harus berpijak pada komunikasi multikultur. Ketika membuat pesan misalnya, kita harus sadar bahwa pesan di media sosial ini ditujukan kepada orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang beragam. Bertoleransi di media sosial juga ada caranya yakni dengan berupaya menghargai perbedaan pendapat serta tidak membuat dan menyebarkan pesan atau konten yang dapat memicu perselisihan dan konflik SARA. Pengaplikasian toleransi di sekolah misalnya akan menciptakan lingkungan inklusif di mana semua siswa merasa diterima dan dihormati. Sekolah menjadi tempat siswa dari berbagai latar belakang budaya, suku, agama, dan pandangan yang beragam, berkumpul. Toleransi ini penting untuk mengajarkan kepada mereka tentang menghargai sebuah perbedaan.

Gus Dur sebagai Guru Bangsa dan Bapak Toleransi serta Pluralisme Indonesia menjadi sosok yang selalu menjadi inspirasi bagi GUSDURian untuk terus merayakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dalam Hari Toleransi Internasional dengan penuh kebahagiaan dan semangat kebersamaan. Momentum Hari Toleransi adalah kesempatan untuk merayakan keberagaman budaya, agama, dan keyakinan yang ada di tengah masyarakat kita. Semoga semangat toleransi ini terus tumbuh dan menjadi landasan kuat untuk membangun perjuangan serta pengabdian Gus Dur di masa lampau untuk mewujudkan kehidupan yang lebih harmonis.

KH. Abdurrahman Wahid berusaha menempatkan toleransi berlaku dalam tindakan dan pikiran. Sikap toleransi tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan, tetapi persoalan hati dan perilaku. Orang yang bersikap toleran tidak mesti memiliki kekayaan, bahkan semangat toleransi justru sering dimiliki oleh orang yang tidak pintar, tidak kaya, yang biasanya disebut orang-orang terbaik. Gus Dur senantiasa mengatakan bahwa kita harus selalu berpikiran positif terhadap orang lain, yang berbeda dengan kita sekalipun. Hal ini sangat penting dalam membangun komunikasi yang baik untuk mengentaskan dan membicarakan masalah-masalah bersama. Demokrasi dalam hal ini adalah jaminan bagi setiap agama-agama mendapatkan tempat yang sama.

Gus Dur sangat anti terhadap sikap membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain, karena sikap ini justru akan melemahkan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal kita hidup dalam masyarakat yang pluralistik. Nilai-nilai pluralisme akan tetap terjamin dalam alam masyarakat demokratis dan semangat jiwa pluralisme akan menjadikan bangsa ini kaya dan kuat.

Toleransi beragama dalam konteks kehidupan berbangsa menjadi kebutuhan mendasar agar dapat mencapai kehidupan yang harmonis di tengah pluralitas agama. Sejak lama Indonesia dikenal negara yang plural, baik dari segi agama, budaya maupun politik. Hildred Geertz menggambarkan bahwa Indonesia dihuni lebih dari tiga ratus kelompok etnis dengan identitas kebudayaannya masing-masing, ragam bahasa yang mencapai lebih dari dua ratus bahasa, keterwakilan agama-agama besar, serta agama asli yang jumlahnya teramat banyak. Maka dari itu toleransi menjadi kebutuhan mendasar yang harus dibangun agar kehidupan berbangsa tidak mengarah pada disintegrasi. Terkait dengan hal ini, konsep toleransi Abdurrahman Wahid yang mendialogkan antarilmu keislaman, ideologi negara, dan realitas kemajemukan menemukan relevansinya pada tiga gugus kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan toleransi beragama di Indonesia. Lihat saja bagaimana beberapa pemikirannya baik dalam bidang keberagamaan, politik, dan bernegara telah melahirkan pandangan yang berbeda bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang menjadikannya sebagai fondasi pelindung atas berbagai ketidakadilan. Ide pluralisme yang dikembangkannya, persoalan terorisme yang dianggapnya sebagai tindakan kaum radikal yang menyimpang, kelompok Ahmadiyah yang selalu dibelanya saat mendapat persekusi, tentang bolehnya mengucapkan selamat Natal dan perayaan hari besar agama-agama lainnya, dan yang lebih fenomenal adalah pembebasan hak beragama warga Tionghoa dengan meresmikan agama Konghucu sebagai agama yang resmi di Indonesia, semua itu merupakan hasil dari pemikiran Gus Dur yang akhirnya berpengaruh sangat besar di Indonesia.

Pengaruh pemikiran Gus Dur berkaitan dengan toleransi di Indonesia adalah sosok yang cukup dipertimbangkan dalam hal mensosialisasikan ide pluralisme agama. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai salah satu tokoh yang cukup berpengaruh dan tak kalah kontroversialnya berkenaan dengan segala bentuk aksi dan pemikirannya. Ia menjadi pondasi pelindung atas berbagai ketidakadilan setidaknya begitulah anggapan banyak orang yang pernah mengenal sosok Gus Dur atas kiprah dan perjuangannya membela hak minoritas dan berbagai ketimpangan sosial lainnya di negeri ini.

Mendekati tahun politik 2024, maka toleransi yang dapat kita terapkan tidak hanya terkait budaya dan agama saja, namun juga toleransi dalam berpolitik. Toleransi ini lebih mengarah pada bagaimana setiap orang dapat menghargai dan menghormati pendapat politik yang dimiliki oleh orang lain. Dengan toleransi, setiap orang dapat sama-sama menjaga hak politiknya masing-masing. Semoga toleransi tidak hanya dirayakan pada saat peringatan Hari Toleransi Internasional pada tahun 2023 ini saja, namun kapan pun dan di mana pun akan dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya toleransi di tengah-tengah keberagaman masyarakat dan menjadikan langkah gerak kita semakin masif untuk meningkatkan benih-benih perdamaian dan stabilitas di lingkungan kita.

___________________________________________

Referensi:

Faisal Ismail, Islam dan Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Indonesia dalam Susetiawan, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (Yogyakarta: UII Press, 1997)

Greg Barton, (2008). Biografi Gus Dur=The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid/Greg Barton; penerjemah Lie Hua; editor Ahmad Suaedy. LKiS.

Zainul Abas, Tantangan dan Harapan, dalam Kompas No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997, hlm. 16.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *