Komunitas GUSDURian UIN Alauddin Makassar kembali mengarusutamakan (mainstreaming) pemikiran Gus Dur di ruang akademik kampus. Pengarusutamaan tersebut diwadahi dalam kegiatan Gus Dur Memorial Lecture dengan tema “Kebudayaan untuk Kemanusiaan: Gagasan Gus Dur tentang Kearifan Tradisi Lokal” yang dilaksanakan di Lt. 4 Rektorat Kampus II UIN Alauddin Makassar pada Selasa (28/11/2023).
Prof. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D selaku Rektor UIN Alauddin Makassar turut hadir pada kegiatan tersebut sebagai keynote speaker. Hadir pula Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian yang menyampaikan welcoming speech. Selain itu, ada beberapa narasumber dari kelompok lintas iman, di antaranya Dr. Syamsurijal Ad’han, M.Si (Pembina Komunitas GUSDURian Makassar), Pendeta Enny Tonapa (Pengurus Pusat Persekutuan Wanita Gereja Toraja), dan Dr. Yonggris Lao, M.M. (Ketua Permabudhi Sulsel) sebagai penanggap pada kegiatan tersebut. Diskusi tersebut dipandu oleh Rifa Madjid (Presenter iNews TV Makassar) selaku moderator.
Dalam sambutannya, Prof. Hamdan mengucapkan terima kasih, khususnya atas kehadiran para narasumber dan tokoh lintas iman. Selain itu, dirinya juga berharap agar aktivis GUSDURian dan para mahasiswa bisa belajar di forum tersebut.
“Kenapa penting untuk mengikuti kegiatan seperti ini? Karena ruang kelas tidak dapat memberikan wadah yang luas bagi mahasiswa, maka dari itu sangat penting adanya ruang-ruang akademik di luar kelas seperti ini,” ujarnya.
Dalam welcoming speech-nya, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian Jay Akhmad menyampaikan bahwa gagasan Gus Dur diharapkan bisa hadir di ruang-ruang akademik, khususnya di kampus. Jay menambahkan, selain itu yang harus diketahui adalah bahwa gagasan-gagasan Gus Dur merupakan gagasan yang multidimensi.
“Beliau (Gus Dur) bukan hanya seorang aktivis, agamawan, dan politisi, tetapi juga merupakan seorang budayawan,” papar Jay.
Terkait gagasan Gus Dur mengenai Kearifan Lokal, Syamsurijal Ad’han mengatakan bahwa semua aktivitas kemanusiaan atau pengalaman kehidupan sehari-hari merupakan kebudayaan dan Gus Dur menyebutnya ‘seni untuk hidup’. Dirinya menambahkan, Gus Dur meyakini bahwa kebudayaan tidak hanya berbentuk dari satu sumber saja, melainkan terbentuk dari berbagai nilai yang saling berkesinambungan, karena budaya terbentuk dari banyaknya budaya.
“Dengan demikian, konsep dari pribumisasi Islam merupakan pembauran tradisi yang ada antara hal yang dianggap normatif ketika masuk dalam kebudayaan masyarakat. Maka dari itu, tidak ada kebudayaan yang benar-benar asli, karena selalu ada perjumpaan antara tradisi lokal dan agama,” terang pria yang akrab disapa Ijal tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya, Dr. Ir. Yonggris Lao, M.M. menyampaikan ucapan terima kasih kepada Gus Dur selaku perwakilan dari komunitas Tionghoa karena telah mencabut Inpres tentang pelarangan orang Tionghoa dalam merayakan kebudayaannya seperti Imlek, Cap Go Meh, bahkan hingga hal-hal yang bersifat ritual dan ibadah. Selain itu, tentunya antara agama dan budaya bisa hidup berdampingan, sehingga tidak berbenturan meskipun di antara keduanya masing-masing memiliki makna.
Terakhir, Pendeta Enny Tonapa, menyampaikan bahwa pendeta-pendeta di Toraja ingin bergabung di GUSDURian. Dirinya mengaku sudah diimplementasikan pemikiran-pemikiran Gus Dur, yaitu orang beriman tidak berarti anti-budaya. Baginya, Gus Dur akan terus menginspirasi dalam program-program gereja Toraja. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa Islam itu sangat damai dan juga ia banyak belajar mengenai Islam dari Prof. St Musdah Mulia.
“Orang Toraja sangat menentang aturan negara yang terlalu jauh mengurusi budaya dalam masyarakat, karena masyarakat Toraja sangat sulit dipisahkan dari budaya. Seperti ritual toma’nene di Toraja yang bisa saja dianggap musyrik. Padahal secara makna, hal tersebut dapat diartikan untuk mensyukuri dan memperlihatkan betapa pentingnya hubungan antaranggota keluarga, terlebih sanak saudara,” ujar Pendeta Enny.
Forum berjalan dengan khidmat, di mana proses dialektika antara narasumber dengan peserta sangat menghidupkan forum pada kegiatan tersebut. Dengan demikian, forum-forum seperti ini akan sangat penting untuk mempertemukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda, sehingga meminimalisir timbulnya ujaran kebencian atau bahkan tindakan diskriminasi.