Di Indonesia, sebagian banyak masyarakatnya setuju dengan gagasan dan praktik toleransi. Meskipun, dalam pendefinisian dan implementasinya cukup beragam. Ada yang sebatas menghormati perbedaan. Bahwa toleransi itu cukup dengan tidak saling mengganggu. Berbeda dengan yang sudah pada level menerima dan menghargai perbedaan. Sehingga melakukan pertemuan-pertemuan, dialog, hingga kegiatan bersama.
Sebagian masyarakat Indonesia juga ada, entah sedikit atau banyak, masih memiliki keraguan dan kebingungan dengan gagasan toleransi itu. Alasannya tentu beragam. Salah satu yang akan dibahas dalam tulisan ini, yakni alasan pemahaman tentang dakwah dalam agama Islam (yang selanjutnya ditulis Dakwah Islam).
Dakwah Islam yang menjadi penyebab munculnya keraguan dan kebingungan dengan gagasan toleransi itu ketika Dakwah Islam dipahami hanya memiliki tujuan untuk mengajak semua orang agar memeluk agama Islam. Agama (termasuk Penghayat Kepercayaan) selain Islam itu salah, keliru, dan sebuah kemungkaran. Sehingga, tidak boleh dibiarkan ada dan dipeluk oleh umat manusia. Sedangkan toleransi, menganjurkan untuk menghormati, menerima, dan menghargai perbedaan agama.
Berdasar penjelasan di atas, tentu dapat menimbulkan keraguan dan kebingungan terhadap gagasan dan praktik toleransi. Pertanyaannya, apakah demikian maksud dari Dakwah Islam? Adakah pemaknaan Dakwah Islam yang selaras dengan gagasan dan praktik toleransi?
Menjawab pertanyaan itu, perlu melihat bagaimana Dakwah Islam di masa Rasulullah. Di Madinah misalnya, Rasulullah sukses berdakwah di tengah-tengah keragaman masyarakat. Hasilnya, umat Islam hidup berdampingan dengan penganut agama Nasrani, Yahudi, dan lain-lain.
Menurut KH. Husein Muhammad dalam Prolog Buku Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran, adanya perbedaan agama adalah sebuah keniscayaan. Hal itu berdasarkan Surat Hud Ayat 118, “Andaikata Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Dan (tetapi) mereka senantiasa berbeda”. Lebih-lebih dijelaskan pula dalam Surat Al-Baqarah Ayat 256, “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama”. Sehingga, seseorang mendapatkan kebebasan dalam memilih memeluk agama tertentu.
Oleh karena itu, Dakwah Islam tidaklah untuk mengislamkan semua umat manusia. Dakwah Islam lebih ditekankan kepada komitmen untuk menjalankan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan, kerukunan, kemaslahatan dan perdamaian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana sudah dibahas, sikap menghormati, menerima, dan menghargai perbedaan agama merupakan ajaran agama Islam itu sendiri.
Selanjutnya untuk memperkaya dan memperkuat semangat Toleransi dan Dakwah Islam, penulis akan menjelaskan secara sekilas tentang prinsip toleransi dalam dakwah yang bersumber dari buku Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Álamin karya Zuhairi Misrawi.
Satu ayat yang menjadi rujukannya adalah Ayat 125 Surat Al-Nahl. “Serukanlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, nasihat yang baik dan berdebatlah dengan mereka, dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih tahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Tuhan Maha Mengetahui atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk”. Berdasar ayat itu, terdapat empat etika dalam berdakwah.
Pertama, dakwah dengan hikmah. Dakwah Islam semestinya dilakukan oleh seseorang yang mempunyai ilmu yang mendalam. Dengan memiliki ilmu yang mendalam (di bidang tertentu) akan melahirkan hikmah-hikmah, pemikiran yang kreatif dan inovatif dalam konten dakwah. Sehingga tidak ada konten dakwah yang bernuansa kebencian, intoleransi, hingga kekerasan.
Kedua, dakwah dengan nasihat yang santun (bi al-mau’idat al-hasanah). Menurut Imam Al-Zamakhsyasi, al-mau’idat al-hasanah adalah menyampaikan nasihat atau pesan dengan tujuan memberikan manfaat kepada mereka. Sehingga, tidak akan terjadi dalam dakwah Islam dengan menghina, mengancam, hingga membubarkan.
Ketiga, debat yang konstruktif dan inovatif (wa jadilhum bi allati hiya ahsan). Sebuah debat dengan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan yang terbaik. Dalam ayat di atas, debat harus mempertimbangkan kebaikan. Menurut Imam Al-Zamakhsyasi, debat yang konstruktif dan inovatif memiliki ciri identik dengan apresiasi terhadap pendapat orang lain, lemah-lembut dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak pantas, terutama kata-kata yang bisa memancing tindakan kekerasan. Sehingga, perbedaan pendapat dalam perdebatan merupakan sesuatu yang niscaya. Sikap yang bisa diambil dalam perdebatan yaitu mengakui perbedaan atau menerima pendapat orang lain sebagai kebaikan yang mungkin membawa kemaslahatan.
Keempat, teologi “Tuhan Mahatahu” atas jalan yang sesat dan jalan yang benar. Di sinilah, para pelaku dakwah harus memperhatikan untuk tidak dalam rangka menentukan vonis “Siapa yang sesat”dan “Siapa yang benar”. Dakwah hanyalah cara untuk menyampaikan pemahaman yang dipersepsikan terbaik oleh pihak penyampai.
Menyadari itu semua, pemahaman adanya kontradiksi antara Dakwah Islam dan Toleransi telah terbantahkan. Keraguan dan kebingungan dalam bertoleransi sekaligus berdakwah telah terjawab: Keduanya satu kesatuan sebagai ajaran agama Islam.
Untuk diketahui, perihal adanya keraguan dan kebingungan antara Dakwah Islam dan Toleransi merupakan salah satu pertanyaan dalam Kajian Gus Dur oleh Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan yang membahas tulisan Gus Dur yang berjudul “Toleransi dan Batasnya”, Rabu (29/11/2023). Tulisan ini, berusaha mendokumentasikan dan memberi jawaban dengan lebih mendalam.