Social Media

Gus Dur dan Hossein Nasr

Tidak banyak yang menyadari bahwa Gus Dur adalah salah satu sosok yang berjasa memperkenalkan pemikiran Hossein Nasr ke Indonesia. Hossein Nasr sendiri ialah seorang filsuf muslim kontemporer yang dikenal karena kontribusinya dalam mewacanakan kontinuitas filsafat Islam pasca-Ibnu Rusyd. Sebelum era Nasr dapat dikatakan ada wacana dominan dalam kajian filsafat Islam yang mengimajinasikan bahwa Ibnu Rusyd adalah “filsuf terakhir” Islam di mana setelah itu tidak ada lagi jejak filsafat Islam karena pindah dari bumi Andalusia ke bumi Eropa.

Bagi Nasr wacana semacam itu lekat dengan eurosentrisme karena melihat filsafat Islam sebagai “jembatan emas” yang menghubungkan pemikiran Yunani ke Eropa. Ketika Ibnu Rusyd mampu membawa kembali karya-karya Aristoteles -beserta komentarnya- maka itulah dianggap sebagai “puncak” sekaligus “lonceng kematian” filsafat Islam karena tugasnya sebagai “jembatan” sudah terpenuhi.

Nasr, beserta sejumlah orientalis Barat yang “minor” -saat itu- seperti Corbin dan Massignon yang percaya bahwa filsafat Islam tetap berkembang pasca Ibnu Rusyd dengan munculnya sosok semacam Suhrawardi, Mulla Sadra, dan juga Ibn Arabi. Resistensi akademik itulah yang membuat sosok Nasr beserta sejumlah orientalis semacam Massignon dan Corbin mendapat julukan “revisionisme pertama” yang menggugat kanon penulisan filsafat Islam. Tren “revisionisme” ini terus berlanjut pasca-Nasr dengan munculnya sosok semacam John Wallbridge dan Rescher yang menandai era “revisionisme kedua” di mana mereka memperluas cakupan filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd yang tidak hanya terkonsentrasi di wilayah Persia -sebagaimana menjadi bidang kajian Nasr dan Corbin misalnya- tetapi juga di wilayah dunia Islam lain termasuk di wilayah Arabia. Dengan kata lain Nasr berjasa membuat narasi baru bahwa filsafat Islam tidaklah mati tetapi terus berkembang dengan aneka dinamikanya di berbagai wilayah di dunia Islam hingga hari ini.

Selain dalam bidang filsafat Islam, Nasr juga berjasa mewacanakan ide environmentalisme secara akademik termasuk juga menyadari relevansi agama-agama dunia bagi penyelamatan lingkungan. Sebagai informasi, ketika Nasr mewacanakan ide environmentalisme secara filosofis di tahun 1960-an hanya segelintir pemikir Barat yang juga menyadari vitalnya isu tersebut (misal Rachel Carson & Lyyn White). Selain dalam bidang filsafat Islam dan environmentalisme, Nasr juga dikenal dengan idenya yang “kontroversial” yakni mengenai sains sakral dan juga sains Islam sebagai salah satu manifestasinya. Berbeda dengan sejumlah kalangan muslim dan juga pemikir Barat pada umumnya ketika ia mewacanakan idenya, Nasr menganggap sains modern tidak netral dan reduktif, maka sebagai alternatif ia mewacanakan restorasi sains sakral yang menurutnya tidak reduktif dalam memahami realitas.

Menurut Osman Bakar, salah satu murid terkemuka Nasr, dalam karyanya Tawhid and Science (2008) menyatakan bahwa sang guru konsisten untuk mewacanakan ide sains Islam ini dalam berbagai karyanya. Apa yang dikatakan Osman Bakar tersebut cukup beralasan di mana bahkan ketika usianya menginjak umur 90-an (yakni tahun 2023), Nasr berencana untuk menerbitkan buku terbarunya dengan tema kritik terhadap pandangan yang menganggap sains sebagai suatu yang netral, bahkan lebih jauh dari itu menganggapnya sebagai “juru selamat baru”. Melalui karya terbarunya yang diberi judul What is Metaphysics? kita bisa menemukan konsistensi berpikir dari sang filsuf tersebut.

Menariknya gagasan Nasr khususnya tentang ketidaknetralan sains juga disuarakan oleh banyak filsuf Barat dan Timur. Di India sosok Vandana Shiva dan Ashis Nandy misalnya juga melakukan kritik serupa. Di Barat sosok Thomas Kuhn, Foucault, Edward Said, Mignolo, Wolfgang Smith dan sejumlah pemikir lainnya juga menegaskan problem netralitas pada sains. Begitu pula dengan wacana pengembangan sains alternatif yang non-reduktif misalnya disuarakan oleh Capra dan Whitehead. Dengan kata lain apa yang digelisahkan oleh Nasr juga beresonansi dengan apa yang dirasakan oleh para filsuf dunia baik di Timur dan Barat. Maka tidak mengherankan kini ia dianggap sebagai salah satu filsuf Muslim yang fasih untuk membangun dialog dengan tradisi filsafat lain (baik Barat dan timur) termasuk juga fasih dalam berbicara mengenai aliansi peradaban.

Jasa Gus Dur dalam memperkenalkan gagasan Nasr ke Indonesia dapat dilacak dari penerjemahan salah satu karya Nasr berjudul Ideals and Realities of Islam ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dalam Cita dan Fakta (1981, oleh penerbit LEPPENAS). Meskipun Gus Dur -sejauh pengetahuan penulis- hanya menerjemahkan satu karya Nasr tersebut namun dampaknya dapat dikatakan cukup meluas. Sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur sendiri dalam pengantar karya terjemahannya tersebut bahwa ia mengusung penerjemahan judul-judul lain karya Nasr agar lebih dikenal di tengah publik Indonesia. Dengan kata lain semarak penerjemahan karya Nasr di tahun 80-an misalnya yang dilakukan oleh penerbit Mizan dapat dikatakan juga dipengaruhi oleh hubungan Gus Dur tersebut.

Bahkan kontribusi Gus Dur dalam menyebarkan pemikiran Nasr lewat karya terjemahannya tersebut juga diakui oleh Nasr itu sendiri. Dalam wawancaranya dengan Ramin Jahanbeglo sebagaimana termaktub dalam buku In Search of the Sacred: A Conversation with Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought (2010) ia menegaskan secara eksplisit nama Gus Dur dan karya terjemahannya tersebut sebagai medium bagi masyarakat Indonesia mengenal pemikiran-pemikirannya lebih jauh. Menariknya di kemudian hari Osman Bakar, murid Nasr di Malaysia, mempublikasikan karya dialog Gus Dur dengan Daisaku Ikeda dalam bahasa Melayu (diberi judul Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan) ketika ia menjabat sebagai pimpinan ISTAC. Dengan kata lain jika Gus Dur berjasa menyebarkan pemikiran sang guru (yakni Nasr) ke Indonesia, maka sang murid (Osman Bakar) juga berusaha menyebarkan pikiran Gus Dur ke tanah Melayu. Satu “simbiosis mutualisme” yang menarik untuk dikaji lebih jauh.

Jika Nasr mengapresiasi Gus Dur sebagai salah satu sosok yang berjasa menyebarkan pemikirannya di bumi Indonesia, Gus Dur sebaliknya juga mengapresiasi pemikiran Nasr. Dapat dikatakan apresiasi itulah yang berbuah pada upaya Gus Dur menerjemahkan karya Nasr tersebut. Gus Dur sendiri mengakui dalam kata pengantar karya terjemahannya tersebut bahwa buku tersebut (yang diterjemahkannya) pada dasarnya merupakan karya pengantar kepada agama Islam. Namun bagi Gus Dur, pengantar yang ditulis Nasr tersebut memiliki nilai lebih karena mampu menjelaskan Islam sebagai agama (ideals/cita) dan juga manifestasinya dalam sejarah (fakta/realities) di mana ia sekaligus juga menghasilkan peradaban berbasis ilmu.

Kita bisa katakan bahwa Gus Dur menganggap karya Nasr tersebut penting karena pada tahun-tahun itulah upaya presentasi Islam ke publik Indonesia tidak lagi dalam bahasa “teologis”, tetapi ke dalam bahasa “akademik modern” gencar dilakukan khususnya oleh Nurcholish Madjid. Dapat dikatakan Gus Dur juga berupaya ikut serta dalam upaya mengenalkan Islam dalam bahasa yang lebih “modern” tersebut dengan harapan dapat dimengerti secara lebih mudah oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang umumnya lebih banyak “terpapar” oleh tradisi intelektual Barat dibandingkan dengan tradisi pesantren yang sangat bercorak “teologis” ala kitab kuning.

Jika kita cermati secara lebih mendalam apa yang dikatakan oleh Gus Dur dalam pengantarnya tersebut kita akan menemukan tiga ide pokok, yakni pertama, mengenai penilaiannya terhadap sosok Nasr itu sendiri. Kedua, tentang makna penting buku tersebut di mata Gus Dur. Ketiga, tentang bagaimana Gus Dur memandang karya Nasr secara umum dalam kaitannya dengan upaya Gus Dur membangun tradisi intelektual Islam di Indonesia. Pertama, kita akan menyoroti penilaian Gus Dur terhadap Nasr. Gus Dur menganggap Nasr sebagai sedikit di antara tokoh Muslim yang memiliki keahlian dalam studi Islam. Dari pernyataan Gus Dur tersebut kita bisa tempatkan signifikansi Nasr di mata Gus Dur pertama-tama bukan sebagai filsuf, environmentalis, atau kritikus sains modern, tetapi lebih pada pakar studi Islam.

Bagi Gus Dur, Nasr mampu mengkaji Islam secara “obyektif” ditandai dengan kemampuannya mengatasi hambatan-hambatan ilmiah dan non-ilmiah. Yang dimaksud oleh Gus Dur sebagai hambatan ilmiah sekiranya merujuk pada kemampuan Nasr untuk menampilkan Islam dalam kerangka akademik modern sehingga membuatnya memiliki reputasi yang tinggi dalam dunia akademik global yang dibuktikan dengan posisinya sebagai guru besar tetap dan tamu di tiga benua selama dua dasawarsa. Lebih jauh menurut Gus Dur, Nasr juga mampu mengatasi hambatan non-ilmiah dalam arti ia mampu mempertahankan idealitasnya meskipun dihadapkan pada konteks sosial politik yang rentan berpengaruh pada diri seorang ilmuwan. Misalnya Gus Dur menegaskan bahwa Nasr pernah bekerja di bawah patron Reza Pahlevi sehingga dapat mendirikan institut pengkajian filsafat di Iran dan juga mendapat gelar kebangsawanan dari raja. Namun semua fasilitas itu tidak lantas membuat karyanya bias atau tidak ilmiah dan hanya tunduk pada kekuasaan shah.

Terbukti menurut Gus Dur, ketika ia mesti meninggalkan Iran pasca-revolusi yang dipimpin oleh Khomeini, standar ilmiahnya tetap ia pertahankan ketika ia misalnya tinggal dan mengajar di universitas Amerika Serikat. Dengan kata lain meskipun ia sempat “dekat” dengan kekuasaan dan kemudian “jauh” dari pusat kekuasaan tetapi ia tetap menghadirkan kajian yang bermutu tinggi. Kita bisa kontekstualisasikan sosok Nasr ini dengan tesis Ahmet T. Kuru yang cenderung melihat relasi patronase ulama (dan ilmuwan) dengan kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif. Sosok Nasr misalnya memperlihatkan bahwa fenomena itu tidaklah universal, di mana ilmuwan yang dekat dengan kekuasaan tidak pasti “tunduk” pada kekuasaan sehingga menggadaikan obyektivitas ilmiahnya.

Kita bisa katakan bahwa idealisme semacam ini juga eksis pada banyak cendekiawan lain di dunia Islam. Al-Biruni misalnya meskipun ia berpatron pada Raja Mas’ud (bahkan menulis karya monumentalnya dengan judul Qanun Al-Mas’udi) tetapi ia bukan ilmuwan yang begitu saja mudah “didikte” oleh sang patron dalam riset ilmiahnya. Salah satu buktinya adalah ia mampu menulis kitab Al-Hind (India) yang bukan merupakan bidang kajian yang disukai oleh raja saat itu (raja lebih suka ilmu astronomi). Namun karena Al-Biruni memiliki sikap ilmiah yang tinggi di mana ia ingin mendalami berbagai cabang ilmu astronomi dan juga ilmu lain di India seperti matematika -termasuk juga mengenal masyarakatnya- maka ia memilih untuk melaksanakan riset yang mandiri tanpa bantuan finansial dari kerajaan. Dengan kata lain kita bisa menemukan bahwa etos ilmiah sarjana Muslim semacam al-Biruni tetap hadir meskipun ia berpatron dengan penguasa setempat. Begitu pula dengan sosok Nasr pada hari ini. Maka tidak mengherankan di Iran pasca-revolusi nama Nasr dapat dikatakan juga tetap dihormati oleh para sarjana Iran.

Etos ilmiah semacam inilah yang nampaknya ingin ditekankan pula oleh Gus Dur dengan mempelajari biografi Hossein Nasr. Gus Dur secara terbuka menyatakan bahwa sosok Nasr adalah contoh ilmuwan yang tidak menjual pengetahuan yang dimilikinya demi kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Dari pernyataan tersebut kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa Gus Dur adalah sosok yang sejalan dengan Nasr di mana baginya kebenaran adalah yang utama dan tidak bisa direduksi menjadi sekedar kepentingan pragmatis. Maka ketika hari ini dunia akademik banyak “tercoreng mukanya” akibat kasus kekerasan seksual, plagiasi, korupsi, dan sebagainya itu adalah cermin dari lunturnya etos keilmuan sejati yakni kebenaran.

****

Setelah memberikan penilaian terhadap sosok Nasr, kita bisa beralih kepada pembahasan Gus Dur yang kedua, yakni mengenai isi buku tersebut. Gus Dur melihat bahwa karya tersebut adalah karya pengantar yang berbobot karena ditulis oleh sosok yang dipandangnya mumpuni dalam studi Islam. Sebelum membahas isi buku, Gus Dur memberikan satu klarifikasi menarik terkait dengan pilihan kata yang ia pakai untuk menerjemahkan judul. Gus Dur menilai judul asli Nasr yakni “Ideals and Realities of Islam” dapat menimbulkan kesan yang keliru bagi para pembaca. Menurutnya, istilah “ideals” dan “realities” mengesankan adanya kesenjangan antara yang ideal dan yang riil (das sein dan das sollen). Tetapi kata Gus Dur bukan itu sebenarnya yang dimaksud Nasr. Ia ingin menggarisbawahi bahwa Islam sebagai ide kemudian mampu termaterialisasikan dalam realitas sejarah menjadi satu peradaban ilmu.

Dikarenakan Gus Dur mampu menangkap pesan dari Nasr lewat judulnya tersebut maka kemudian ia mencari judul yang sekiranya tepat dalam bahasa Indonesia. Namun bagi Gus Dur, ia mengakui sulit mencari padanan kata yang sekiranya mampu menangkap makna yang ingin disampaikan Nasr (ia pada mulanya berpikir judul harfiah: Cita dan Kenyataan Islam). Pada titik ini kita bisa temukan bahwa proses penerjemahan bukan proses yang mudah. Kita juga bisa pahami bahwa Gus Dur bukanlah penerjemah yang “seenaknya sendiri” saja, tetapi ia adalah penerjemah yang teliti sehingga ia ingin memastikan semaksimal mungkin tidak mengubah makna dari apa yang dikehendaki sang penulis lewat karya tersebut.

Etos penerjemahan ala Gus Dur ini penting untuk ditiru sebab sekarang banyak karya terjemahan yang bisa dikatakan “asal-asalan” karena yang mungkin dikejar adalah kapan karya tersebut selesai dan bukan kualitasnya. Maka tidak heran banyak kalangan mahasiswa atau bahkan dosen yang mungkin membaca karya terjemahan tidak mengerti atau tambah bingung dengan pesan yang disampaikan oleh sang penulis asing lewat karya terjemahan tersebut.

Gus Dur sendiri secara eksplisit menyebut etos ini dalam bahasanya bahwa karya-karya terjemahan adalah medium penting untuk mentransmisi pengetahuan khususnya ke kalangan publik Indonesia yang tidak bisa berbahasa asing. Transmisi pengetahuan adalah satu keniscayaan proses terjemahan yang tidak bisa “asal-asalan”, apalagi demi mengejar motif ekonomi sehingga terburu-buru ingin dicetak. Apa yang disampaikan Gus Dur tersebut memang penting, khususnya dalam rangka mendorong literasi ilmu di Indonesia. Ketika seseorang membaca dan justru dibingungkan dengan terjemahan yang beredar, maka sama maknanya dengan membuat orang tersebut enggan untuk membaca karya-karya yang penting tersebut.

Gus Dur akhirnya memilih judul Islam dalam Cita dan Fakta sebagai judul yang paling tepat. Alasannya karena yang ingin dikatakan oleh Nasr ialah bahwasanya ideals (gambaran ideal Islam) itu termanifestasikan dalam sejarah dunia secara berkesinambungan pasca-terputusnya wahyu (pasca-era Kenabian Muhammad). Dengan kata lain antara cita dan fakta adalah cerita tentang kontinuitas dan bukan diskontinuitas. Dengan kata lain Islam adalah living tradition (tradisi yang hidup). Di mata Gus Dur istilah “fakta” lebih tepat menangkap maksud Nasr dibanding istilah “kenyataan” yang mengesankan adanya diskontinuitas.

Namun uniknya, Gus Dur buru-buru menyatakan bahwa istilah “fakta” juga bisa mengaburkan makna sesungguhnya yang dikehendaki Nasr. Gus Dur menyebut bahwa istilah “fakta” bisa dikelirukan dengan “fakta” seperti dalam kasus buku informasi wisata (maksud Gus Dur istilah fact and figures). Sekali lagi kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa kadangkala penerjemahan sulit dilakukan karena tidak ada kosakata dalam bahasa tujuan yang sama dengan bahasa asal yang ingin diterjemahkan. Maka untuk mengantisipasi kesalahan pemaknaan, Gus Dur mewanti-wanti dalam pendahuluan bahwa jangan mengelirukan istilah “fakta” dengan “fact and figures” yang biasa muncul dalam buku informasi pariwisata.

Satu perbandingan menarik mengenai upaya meminimalisir kesalahan pemaknaan dalam penerjemahan kosakata asing ini dapat kita temukan dalam karya Al-Attas, yang namanya juga disebut-sebut oleh Gus Dur dalam pengantar tersebut. Al-Attas, seorang filsuf Muslim Malaysia dan sekaligus juga “teman” Nasr, berupaya mempertahankan kata asli dalam bahasa Arab yang memiliki arti filosofis yang khas setelah ia menuliskan terjemahan kata itu dalam bahasa Inggris. Dengan cara itu, menurut Al-Attas, seorang yang mungkin kebingungan akan makna istilah tersebut dapat merujuk pada kosakata asli dalam bahasa Arab (misal istilah wujud yang dalam bahasa Inggris bisa diistilahkan dengan being atau existence atau haqq yang bisa diistilahkan dengan reality ataupun truth dalam bahasa Inggris).

Setelah mengklarifikasi mengenai istilah yang ia pakai untuk menerjemahkan judul, Gus Dur menjelaskan isi buku tersebut yang ia pandang positif mampu menggambarkan dinamika peradaban Islam beserta kaitannya dengan perkembangan tradisi ilmiah yang dapat dikatakan menjadi “soko gurunya”. Namun ada satu poin yang sekiranya menandai ketidaksetujuan Gus Dur terhadap Nasr, yakni metodologi Nasr yang cenderung “sintesis-integratif” dibandingkan dengan “konfliktual” dalam membaca peradaban Islam, termasuk perkembangan aneka tradisi ilmiah yang berkembang di dalamnya seperti fikih dan tasawuf. Nampaknya Gus Dur melihat bahwa pendekatan “konfliktual” berguna bagi kaum Muslim di mana dengannya mampu menggambarkan dinamika secara lebih intens sehingga mampu menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi kaum Muslim.

Namun menariknya Gus Dur tetap menghargai posisi Nasr yang lebih menggunakan pendekatan “integratif” dalam melihat fenomena tersebut meskipun bagi Gus Dur secara personal ia tetap lebih menyukai pendekatan “konflik”. Kita bisa katakan bahwa Nasr sedikit banyak terpengaruh oleh metodologi Mulla Sadra yang dianggap Nasr sebagai salah satu figur terpenting dalam sejarah filsafat Islam pasca-Ibnu Rusyd. Dalam logika Sadrian memang sesuatu yang “dahulu” dianggap bertentangan mampu ia sintesiskan sedemikian rupa menjadi satu keutuhan yang terpadu. Bisa dikatakan pendekatan Nasr yang misalnya tidak “menghadap-hadapkan” fikih dan tasawuf karena Nasr berupaya melihat tradisi ilmiah tersebut dengan pendekatan Sadrian. Sementara Gus Dur dalam hal ini mungkin lebih banyak dipengaruhi pendekatan dialektis yang justru melihat konflik sebagai satu yang penting dalam membaca sejarah.

Gus Dur juga secara lebih tajam mengkritik bahwa Nasr kurang menghadirkan informasi tangan pertama dan lebih banyak mendayagunakan interpretasinya. Nampaknya kritik Gus Dur ini masih sejalan dengan sikapnya yang mengutamakan pendekatan “konflik” daripada “integrasi” sehingga merasa yang mestinya dilakukan Nasr adalah juga menghadirkan teks-teks yang lebih bernuansa “konfrontatif” tersebut. Namun dari sisi metodologis, kita bisa katakan Nasr yang dipengaruhi oleh Mulla Sadra akan menganggap bahwa interpretasi “orisinil” semacam itu sah. Sebagaimana misalnya karya-karya Ibnu Arabi ditafsirkan oleh Mulla Sadra secara khas yang mungkin berbeda dengan para pengkaji Ibnu Arabi sebelumnya.  Dalam pembacaan “orisinil” Sadra, Ibnu Arabi misalnya bisa disintesiskan dengan pemikiran Ibnu Sina ataupun Suhrawardi.

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, meskipun Gus Dur memiliki kritik terhadap metodologi Nasr namun ia tetap merekomendasikan -bahkan menerjemahkan- buku tersebut. Dengan kata lain ia tetap menghargai posisi akademik yang bisa jadi berbeda dengannya. Dalam konteks ini kita bisa tafsirkan bahwa yang dikehendaki Gus Dur adalah kebangkitan tradisi ilmiah itu sendiri. Sehingga dalam tradisi ilmiah boleh saja seseorang tidak setuju dengan posisi akademisi lain namun tetap mengapresiasi pihak lain yang tidak sejalan dengannya. Adanya berbagai pandangan itu justru merupakan tampak “sehatnya” tradisi ilmiah itu sendiri, karena tanpa adanya dinamisme maka sama saja dengan statisme akademik dan kondisi semacam itu tentunya tidak ideal.

Kita bisa katakan bahwa Gus Dur memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan tradisi ilmiah khususnya di tengah umat Islam Indonesia sehingga ia tergerak untuk menerjemahkan karya Nasr yang mungkin sebagiannya tidak ia sepakati. Pada titik inilah kita bisa pahami poin ketika dari elaborasi Gus Dur dalam pengantarnya yakni makna karya-karya Nasr secara umum di matanya. Kita bisa katakan Gus Dur menganggap karya-karya Nasr adalah stimulus untuk memacu tumbuhnya tradisi keilmuan Islam di bumi Indonesia yang kritis, kreatif, dan terbuka. Kritik Gus Dur terhadap sejumlah aspek buku Nasr misalnya hanya bisa timbul ketika ia membaca buku tersebut dan tidak mengabaikannya. Kita bisa katakan harapan Gus Dur adalah karya Nasr tersebut dan judul-judul lainnya juga dapat memicu gairah intelektual khususnya di kalangan Muslim Indonesia entah apakah mereka pada akhirnya setuju dengan posisi Nasr, setuju pada aspek tertentu, atau mengkritisinya dalam aspek tertentu seperti yang dilakukan Gus Dur.

Tidak mengherankan pada penutup kata pengantarnya Gus Dur menyebut terjemahannya tersebut sebagai terjemahan pertama karya Nasr di Indonesia. Ia tidak mengharapkan itu menjadi penerjemahan yang pertama dan yang terakhir, namun mesti dilanjutkan dengan penerjemahan karya-karya Nasr lainnya. Dari pernyataan tersebut kita bisa katakan bahwa Gus Dur amat menghormati pemikiran Nasr sehingga ia merasa karya-karyanya mesti diterjemahkan secara masif agar publik dapat mengenal pemikiran-pemikirannya secara lebih utuh. Apa yang diharapkan Gus Dur tersebut dapat dikatakan telah terlaksana. Kini nama Nasr dapat dikatakan sudah familiar di telinga banyak intelektual Muslim dan non-Muslim di Indonesia. Karya-karya Nasr juga telah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia hingga era kontemporer saat ini.

Menariknya, selain Nasr, Gus Dur menyebut sejumlah pemikir lain yang karyanya juga patut diterjemahkan ke Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa Gus Dur adalah seorang yang berpemikiran terbuka serta menganggap pembacaan terhadap berbagai pemikiran tokoh-tokoh “asing” sebagai suatu yang menyehatkan tradisi ilmiah Islam di Indonesia -tentunya dengan tetap menegakkan sikap kritis-kreatif-. Nama-nama lain yang disebut di antaranya ialah Fazlur Rahman, Arkoun, Muhsin Mahdi, Ali Merad, dan juga Naquib Al-Attas. Terkait nama terakhir yakni Al-Attas sebenarnya juga menunjukkan bahwa Gus Dur memiliki etos ilmiah yang tinggi. Sebagai informasi, Al-Attas sempat dua kali berdialog dengan Nurcholish Madjid di seputar aneka tema keilmuan. Satu poin menarik dari diskusi kedua tokoh tersebut ialah keduanya mengaku belum membaca karya-karya lawan dialognya sehingga jalannya dialog bisa jadi dipenuhi “miskonsepsi” atau setidaknya tidak berjalan optimal.

Seruan Gus Dur untuk menerjemahkan karya-karya Al-Attas ke dalam bahasa Indonesia bisa kita pandang sebagai upaya menumbuhkan literasi akademik yang kuat sehingga dapat diminimalisir seorang setuju atau tidak setuju, mengkritik atau membela pemikiran satu tokoh tertentu tanpa memahami ide yang diwacanakannya secara tepat dan mendalam. Dari seruan tersebut kita bisa belajar dari Gus Dur bahwa pada hakikatnya pembangunan tradisi ilmiah mengisyaratkan pengetahuan yang kokoh akan realitas “sebagaimana adanya” dan bukannya “sebagaimana yang saya yakini” apalagi hanya berbasis informasi yang sepotong-sepotong. Mudahnya tradisi ilmiah mesti menjunjung tinggi kebenaran dan bukannya prejudice ataupun bias terhadap siapa pun.

Sebagai penutup, kita dapat belajar banyak hal dari “perjumpaan” antara Gus Dur dan Nasr lewat sebuah karya yang diterjemahkan oleh sang pemikir Nusantara tersebut. Didorong oleh spirit menegakkan tradisi ilmiah maka meskipun kedua tokoh tersebut bisa jadi berbeda prinsip dalam sejumlah hal (isu metodologi), namun tidak membuat Gus Dur merendahkan pihak lain hanya atas dasar “like” dan “dislike.”  Komitmen kepada pengembangan tradisi ilmiah di tanah air juga membuat Gus Dur membuka diri pada berbagai ide “segar” dan “kritis” dari berbagai belahan dunia lainnya dan tidak menutup diri dengan alasan bahwa itu adalah “karya asing”. Etos ilmiah semacam inilah yang mestinya terus dikembangkan baik oleh kalangan akademisi tanah air ataupun kaum Muslimin secara umum sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang memiliki tradisi ilmiah yang kokoh sebagaimana diimpikan oleh Gus Dur.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *