Gandeng Jaga Pemilu dan Perludem, Gardu Pemilu Jaringan GUSDURian Soroti Penurunan Demokrasi akibat Politik Uang dan Netralitas Aparat

Jaringan GUSDURian melalui Gardu Pemilu kembali menggelar Forum Demokrasi pada Senin (22/1/2024) malam. Mengangkat tajuk “Demokrasi di Ujung Tanduk: Netralitas Aparat Negara dan Politik Uang”, acara ini bekerja sama dengan Jaga Pemilu dan Perludem, serta menghadirkan beberapa narasumber dari perwakilan masing-masing lembaga. Di antara para pembicara yang hadir adalah Abdul Gaffar Karim (Dewan Pengarah Gardu Pemilu), Rusdi Marpaung (Jaga Pemilu), Ihsan Maulana (Perludem), dan Marleni Adiya (Tim Gardu Pemilu).

Gardu Pemilu sendiri merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Jaringan GUSDURian sebagai respons atas situasi Pemilu 2024. Gerakan ini memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai pendidikan politik dan demokrasi, pemantauan pemilu di tingkat nasional dan daerah, serta konsolidasi masyarakat sipil untuk mengawal pemilu jujur, adil, damai, dan bermartabat.

Dalam pemaparannya, Abdul Gaffar Karim menyebut bahwa efek politik uang atau money politic sangat luar biasa. Menurutnya, gara-gara politik uang, masyarakat menjadi merasa tidak perlu mengawasi siapa pun yang terpilih.

Money politic adalah dosa yang sangat besar. Karena dia menghilangkan akidahnya demokrasi, yaitu pengawasan oleh rakyat. Dengan money politic, semua urusan menjadi prabayar. Prabayar dalam arti selesai, ‘Yang penting saya sudah terima uang, maka urusan saya dengan kandidat selesai’,” ujarnya.

Padahal idealnya dalam demokrasi tidak begitu, lanjut Gaffar, ketika kita memilih seorang kandidat maka ikatan kita dengannya akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Tugas dia adalah menyejahterakan masyarakat dan kewajiban masyarakat adalah mengawasi kekuasaan yang dititipkan kepadanya.

“Nah, kan pemimpin sekarang gara-gara sudah bayar di depan jadi tidak mau dikritik oleh rakyat. Bahkan sering kali kita dengar politisi yang mengatakan, ‘Kalau mau mengkritik, sertakan solusi’. Dan kita percaya dengan omong kosong itu. Heran kan?” tandas dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada tersebut.

Sejalan dengan itu, Ihsan Maulana menyoroti permasalahan politik uang yang masih terus terjadi dari pemilu ke pemilu. Menurutnya, praktik kotor tersebut masih sangat sulit diberantas karena aspek penegakan hukum tindak pidana politik uang tidak pernah selesai sampai ke akar.

“Kalau kita lihat, misalnya di pemilu sebelumnya, untuk penanganan tindak pidana politik uang itu sampai pada si pemberi. Tetapi tidak sampai pada siapa sebenarnya orang yang menjadi otak dari pelaku tindak pidana politik uang. Dan itu yang menjadi kendala,” ungkap Ihsan.

Selanjutnya terkait netralitas aparat negara, Rusdi Marpaung menerangkan tentang praktik penyalahgunaan wewenang (abuses of power) yang terjadi hari ini. Dirinya menambahkan, penyalahgunaan wewenang merupakan bagian dari kecurangan dalam pemilu yang dapat membahayakan kualitas demokrasi.

Menurut undang-undang, yang merupakan penyalahgunaan wewenang dalam pemilu adalah semua jenis seruan, instruksi, edaran, ajakan, mobilisasi, tindakan, dan kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara ataupun penyelenggara pemilu yang bertujuan atau memiliki implikasi pada pemenangan salah satu kontestan pemilu.

“Kata ‘mobilisasi’ itu sangat penting ya kalau kita lihat. Baik itu mengajak, mendorong, menyediakan mobil, atau semua aktivitas yang memiliki implikasi untuk pemenangan salah satu kontestan. Misalnya seorang lurah. Dia tidak ada urusannya dengan mobilisasi pemilih, tapi dia melakukan itu. Itu juga menjadi satu kecenderungan pelanggaran,” ujarnya.

Rusdi juga menjelaskan, peraturan mengatakan bahwa para pejabat dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah pada pemenangan peserta pemilu, baik sebelum, selama, dan sesudah kampanye.

“Itu yang terjadi sekarang ini ya? Bansos, BLT, ya kan? Saya sebagai Ketua RT, selama setahun ini saja sudah melihat ada tiga atau empat kali pembagian BLT kepada kelompok pra-sejahtera. Padahal secara hukum sudah tertulis jelas, tapi dalam praktiknya ya kita lihat lagi,” papar Rusdi.

Terakhir, Marleni Adiya memberikan pemaparan tentang perkembangan monitoring (pemantauan) dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Tim Gardu Pemilu Jaringan GUSDURian melalui platform gardu.net. Dalam penjelasannya, perempuan yang akrab disapa Leni tersebut menyajikan data bahwa telah ada 43 dugaan pelanggaran yang berhasil di-monitoring tim Gardu Pemilu.

“Jumlah 43 dugaan pelanggaran ini tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, hingga Maluku. Dari seluruh dugaan pelanggaran pemilu itu, ternyata yang paling banyak adalah dugaan pelanggaran integritas penyelenggara pemilu dan netralitas ASN, TNI, dan POLRI, yaitu sebanyak 30 kasus,” ungkap Leni.

Sebagai informasi, Forum Demokrasi ini berlangsung sejak pukul 19.30 sampai 21.00 WIB secara daring via Zoom Meeting. Kegiatan ini juga dijadwalkan akan berlangsung rutin setiap hari Senin sebagai upaya Gardu Pemilu untuk memberikan edukasi politik dan demokrasi kepada publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *